SOLOPOS.COM - Mariyana Ricky PD (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Cikal bakal Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) yang kini sedang direvitalisasi menjadi Solo Safari semula adalah kebun binatang di Taman Sriwedari yang dibangun pada 1901 dengan sebutan Kebon Raja atau Bon Raja.

Kebun binatang pindahan dari Taman Sriwedari tersebut dibangun kembali setelah Lebaran 2022 dan kini menampakkan wajah baru dengan investasi dari Taman Safari Indonesia. Kebun Binatang Sriwedari atau Bon Raja Sriwedari didirikan Sri Susuhunan Paku Buwono X pada 20 Dal 1381 atau 17 Juli 1901.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bon Raja Sriwedari menjadi kebun binatang tertua di Indonesia. Pada awalnya Taman Sriwedari adalah tempat hiburan bagi keluarga Raja Kasunanan Surakarta yang berisi koleksi satwa dan kemudian berkembang sebagai tempat rekreasi untuk masyarakat umum.

Satwa di kebun binatang itu dipindah ke Taman Jurug pada 1983 sebagai dampak perluasan Stadion Sriwedari sekaligus memfokuskan kawasan itu khusus untuk destinasi wisata hiburan. Taman Jurug semula hanya taman rekreasi dan hiburan keluarga dengan mengandalkan lanskap alam dan sarana permainan anak-anak.

Untuk mengelola Taman Jurug dibentuk Yayasan Bina Satwa Taruna dan nama Taman Jurug diganti menjadi Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ).  Setelah mengalami beberapa pergantian pengelola, pada 1997 PT Solo Citra Perkasa menjadi investor yang mengelola TSTJ.

Pemerintah Kota Solo mengambil alih pengelolaan TSTJ pada 2000. Pemerintah Kota Solo lantas membentuk tim pengelolaan sementara dengan unsur dari beberapa organisasi perangkat daerah. Sistem pengelolaan ini berjalan hingga 2002.

Pada 2006 pengelolaan TSTJ diserahkan kepada Unit Pengelola TSTJ. Setelah itu TSTJ beralih menjadi badan usaha milik daerah (BUMD). Taman ini menjadi cagar budaya sejak 2013. Menurut Paku Buwono XII dan Mutholiin dalam Karaton Surakarta: A Look into the Court of Surakarta Hadiningrat (2005),  Sriwedari disebut Kebon Raja atau masyarakat biasa menyebut Bon Raja.

Pada kondisi aslinya, Sriwedari merupakan taman kota yang dibangun di lahan di daerah bernama Kadipolo. Pembangunan taman itu sebagai tempat rekreasi dan peristirahatan keluarga kerajaan. Taman Sriwedari merupakan taman di luar keraton. Berbeda dengan ruang terbuka alun-alun yang biasanya terdapat di dalam lingkungan keratin.

N.D. Swastika, I. Aliyah, dan G. Yudana dalam Kajian Perkembangan Ruang Publik Bersejarah di Pusat Kota (Studi Kasus: Taman Sriwedari sebagai Kebun Raja di Kota Surakarta) (2022) menyebut Patih Sosrodiningrat IV punya gagasan membangun sebuah taman.

Spirit yang Memudar

Sebidang tanah di Kadipolo dipilih untuk dijadikan taman, yaitu Taman Sriwedari. Pada 5 Desember 1887, tanah tersebut dibeli dari orang Belanda, Johannes Busselaar. Tanah itu kini menjadi Museum Radya Pustaka.

Taman pada kondisi aslinya melingkupi lahan seluas 10 hektare di selatan Groote Postweg, jalan pos utama bernama Poerwosari Weg yang kini adalah Jl. Slamet Riyadi. Di sebelah timur adalah Jl. Museum dan di sebelah barat lahan kosong yang pada beberapa masa kemudian menjadi Stadion Sriwedari.

Pada awal pembangunan, Taman Sriwedari adalah lahan terbuka yang memiliki jalan-jalan bercabang. Kelengkapan sebagai taman kota atau fasilitas di Taman Sriwedari juga terlihat dari persil bangunan, antara lain, Museum Radya Pustaka, Rumah Sakit Jiwa Mangunjayan, dan Segaran.

Sedangkan suasana di Taman Sriwedari pada awal dibangun sebagai taman kota secara terperinci digambarkan dalam Babad Taman Sriwedari. Bagian depan Taman Sriwedari berbentuk persegi empat, dikelilingi pagar tajam dengan kawat berduri.

Di dalamnya dilengkapi flora berupa vegetasi pohon-pohon bertajuk serta fauna berupa hewan- hewan koleksi keraton. Bentuk Taman Sriwedari pada awal pembangunan memiliki konsep yang tidak lepas dari fungsi hiburan dan relaksasi.

Salah satu daya tarik Taman Sriwedari pada saat itu adalah kebun binatang yang dibangun pada 1905. Satwa-satwa di kebun binatang tersebut adalah koleksi keraton dari dalam maupun dari luar lingkungan keraton.

Pada sketsa Taman Sriwedari menurut Babad Taman Sriwedari, kebun binatang tersebut menempati lahan di sebelah selatan (ke arah barat) dan di bagian sisi timur dari taman. Paku Buwono X memelihara beberapa jenis hewan, antara lain, adalah hewan hasil buruan, seperti rusa, gajah, dan buaya.

Pada awal 2020, Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta, K.G.P.H. Dipokusumo, mengatakan pamor Taman Sriwedari mulai surut sejak 1980-an. Kebun binatang di Taman Sriwedari dipindah ke Taman Jurug.

Pemindahan tersebut berdasarakan kebijakan Wali Kota Solo Hartomo yang akan mengembangkan kawasan Sriwedari untuk tempat hiburan saja. Setelah itu, Taman Sriwedari menjadi taman hiburan rakyat dan spirit awal sebagai taman kota memudar.

Saat ini, Taman Sriwedari sebagian telah beralih fungsi. Di lokasi itu dibangun masjid, kendati masih menyisakan Gedung Wayang Orang (GWO). Sementara lahan sisanya segera direvitalisasi menyusul Putusan Mahkamah Agung pada 15 Agustus 2022 lalu yang memenangkan Pemerintah Kota Solo dalam konflik bertahun-tahun atas kepemilikan lahan itu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Desember 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya