SOLOPOS.COM - Setyaningsih (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO –– Tindakan sepele pemain sepak bola Ronaldo menggeser botol Coca-Cola saat acara jumpa pers menjadi kekuasaan besar yang membuat saham korporasi raksasa itu anjlok. Tindakan Ronaldo itu dianggap tidak menghormati Coca-Cola sebagai salah satu sponsor Euro 2020.

Ada tumpukan pesan tentang gaya hidup sehat sampai kemungkinan sikap humanis yang disampaikan Ronaldo. Kehebohan dari tindakan kecil oleh orang besar ini menunjukkan pengaruh korporasi raksasa mengubah atau membentuk tatanan dunia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pada Oktober 2001 mengemuka foto Mahatma Gandhi bersama roda pemintal yang bergantung di sebuah gubuk setinggi empat puluh kaki, beratap ilalang, yang tepat berdiri di samping pabrik Coke alias Hindustan Coca-Cola di Kerala, India.

Gandhi menjadi simbol untuk mengusir kekuatan Amerika Serikat yang merusak alam bumi India. Saat itu kepala suku Adivasi, penduduk asli India, bernama Veloor Swaminathan, memimpin perlawanan atas kelimpahan masalah yang disebabkan minuman ringan bersoda ini: limbah, pengisapan air tanah, pencemaran tanah pertanian, peracunan hewan ternak.

Para dewa di Sungai Ganga konon mabuk ampas Coke. Dalam buku The Coke Machine (2011), Michael Blanding menulis beberapa tahun sejak kembali ke India pada tahun 1993, Coke sempat menuai keberuntungan lewat strategi iklan yang jitu.

Di perkotaan, iklan Coke mengampayekan gaya hidup Amerika Serikat lewat slogan “Life as It Should Be” (Hidup Sebagaimana Mestinya). Di perdesaan, slogan “Coke Mean Cold” (Coke Berarti Dingin) terdengar sederhana tapi ampuh meredakan kegerahan daerah-daerah terpencil nan panas di India.

Dua pencipta sejarah awal Coke pada 1886, John Pemberton dan Asa Candler, yang sangat ambisius, pasti tidak membayangkan Coca-Cola telah berlari terlampau jauh dari sekadar minuman obat sakit kepala menjadi simbol kedigdayaan Amerika Serikat.

Tentu saja Coca-Cola Company tidak ingin selalu dianggap sebagai korporasi perusak lingkungan dengan perlahan-lahan tampil sebagai penanggung jawab masalah sosial dunia lewat pembangunan pusat pendidikan, pembuatan tandon air di wilayah-wilayah terpencil, bantuan kemanusiaan, sampai sponsor kerja seni kreatif.

Saya membaca pengumuman di Majalah Tempo (19 Januari 1985) tentang Irama Asia Record dan Coca-Cola yang mempersembahkan kaset berisi lagu Aku Melangkah Lagi yang dilantunkan penyanyi Vina Panduwinata dan sembilan lagu dari finalis lain di Festival Lagu Populer Nasional XII 1984.

Kegandrungan pada lagu pop bisa dinikmati sekaligus dengan minum Coca-Cola. Daripada sponsor rokok yang lebih rentan menuai protes, Coca-Cola menang tampil dalam nuansa positif memajukan industri musik Indonesia.

Iklan Coca-Cola memasuki jagat musik dangdut sebagai kolaborator beriklan. Majalah periklanan Cakram (September 2004) mengabarkan iklan Coca-Cola versi dangdut menjadi iklan paling efektif pada  sepanjang Juli-Agustus 2004 versi MRI Ad Monitor.

Lagu Lirikan Matamu yang dinyanyikan A. Rafiq mengantarkan Coca-Cola botol edisi genggaman tangan tampil genit, merakyat, dan Indonesia banget. Amerika Serikat dan Coca-Cola mampir di warung-wrung kelontong di pinggir jalan di kampung-kampung yang bising.

”Dangdutisasi” Coca-Cola mengalihkan kesan bergoyang yang identik dengan mabuk minuman keras. Mendem Coca-Cola tidak akan menimbulkan masalah yang berbahaya bagi penikmat dangdut dari kalangan menengah ke bawah.

Peremukan Produksi

Coca-Cola bukan sekadar sebuah minuman bersoda atau merek terkenal, tapi sebuah kelumrahan hidup. Di Indonesia, botol atau kaleng Coca-Cola tersebar di warung-waarung makanan di pinggiran, bar, restoran cepat saji, toko kelontong, etalase supermarket, kantin sekolah, pedagang asongan minuman, kedai kaki lima, dan akhirnya meja keluarga.

Iklan Coca-Cola bertahap menampilkan semangat kaum muda sampai memitoskan kehidupan berkeluarga yang liris dramatis. Manajemen Coca-Cola sangat sadar bahwa peristiwa bersantap selalu melibatkan massa yang besar.

Indonesia sudah memasuki era keluargaan yang diwakili oleh adegan menuang Coca-Cola family size dalam gelas-gelas di rumah berisi es batu. Cesss…! ”Coca-Colanisasi” kehidupan lewat konsumsi minuman ringan terbaca dalam novel pop Indonesia berlatar 1970-an.

Para konsumen aneka produk Coke adalah anak-anak muda yang membelot dari ikatan emosional keluarga, tatanan kultural, dan doktrin agama. Kaum muda Indonesia bukan lagi kaum ingusan peminum susu, tapi penenggak minuman ringan bersoda sebagai pelengkap gaya hidup perkotaan.

Saya menemukan itu di novel Sok Nyentrik (1977) garapan Eddy D. Iskandar. Di novel ini ada adegan obrolan dua remaja gaul siswa SMA di Jakarta dan seorang penyair. Obrolan terjadi di warung Dewi Indah. Di sinilah teh tubruk bisa bersanding dengan bir dan Sprite dingin.

Tutup botol Coca-Cola bagi generasi 1980-1990-an di perdesaan atau pinggiran kota malah jadi korban pemukulan sadis. Tutup botol Coca-Cola dipukul sampai gepeng pipih. Dari tutup minuman berkarbonasi pembawa budaya Amerika Serikat itu anak-anak membuat mainan yang juga jadi alat musik rakyat jelata berupa icik-icik atau kecrek.

Terkadang botol-botol Coca-Cola yang bentuknya seksi dijadikan tempat minyak jlantah atau minyak tanah oleh ibu rumah tangga. Remuk sudah imajinasi kejayaan produksi Coca-Cola dan gaya hidup Amerika Serikat.

Orang desa dengan lugu dan manusiawi membuat Coca-Cola jadi perkakas rendahan. Coca-Cola di Indonesia menambah cara dan apa yang kita minum sebagai sebuah perayaan. Korporasi yang besar pun tidak lupa menjejakkan kaki dalam penyelamatan lingkungan.

Korporasi telah mengajak pelbagai organisasi mengganti seluruh air yang dijual lewat program akses air bersih, restorasi wilayah resapan air, dan pengolahan air limbah pabrik. Ini mungkin terdengar seperti penebusan moral dan sosial setelah mendirikan pabrik budaya populer lewat minuman dalam kemasan di seluruh dunia.

Coca-Cola Foundation yang didirikan pada 1984 menjadi sejarah penting pengabdian korporasi kepada konsumen dan penyediaan program amal yang gagah menuju masa depan. Hal ini memang bukan lagi cara baru membayar utang budi, tapi selalu menciptakan kesan korporasi bertanggung jawab secara sosial dalam berindustri. Gerah? Minum water saja!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya