SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok/JIBI/Solopos/Antara)

Peredaran rokok ilegal diprediksi makin subur seiring kenaikan cukai.

Solopos.com, MALANG — Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau berpeluang menaikkan peredaran rokok ilegal. Pasalnya, disparitas harga rokok ilegal dan legal perusahaan rokok (PR) produsen sigaret kretek mesin (SKM) golongan 2B semakin melebar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua Dewan Penasihat Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Andriono Bing Pratikno mengatakan tarif cukai untuk perusahaan rokok produsen SKM golongan IIB naik menjadi Rp35/batang menjadi Rp370/batang. Aturan ini berlaku efektif per 1 Januari 2018.

“Berarti kenaikannya sebesar 10,45%, lebih tinggi dari rerata kenaikan cukai yang sebesar 10,04%,” ujarnya di Malang, Jumat (27/10/2017).

Dengan kenaikan sebesar itu, lanjut dia, maka disparitas harga antara PR produsen SKM golongan 2B dengan rokok ilegal makin melebar. Padahal, yang berhadapan dengan rokok ilegal justru perusahaan rokok produsen SKM golongan 2B. Rokok ilegal kebanyakan berupa SKM karena konsumen lebih senang dengan rokok jenis itu.

“Kami yang berhadapan dengan rokok ilegal karena harga rokok yang terendah untuk SKM ya PR golongan 2B,” ucapnya.

Karena itulah, dia memprediksi, peredaran rokok ilegal tahun depan diperkirakan akan lebih tinggi daripada angka di 2016 yang mencapai 12% dari total produksi yang sebesar 350 miliar batang. Meski pemerintah bertekad untuk memberantas peredaran rokok ilegal, kata Andriono, praktiknya sulit karena pemainnya sudah canggih.

Dengan demikian, instrumen penaikan tarif cukai sulit untuk mengurangi konsumsi rokok. Jika harga rokok tinggi, maka konsumen yang merokok karena mempertimbangkan harga, justru beralih ke produk yang lebih murah, bahkan sampai ke rokok ilegal.

Sekretaris Formasi Suhardjo menambahkan dampak yang pasti dengan naiknya harga rokok justru mematikan PR kecil karena tidak mampu bersaing dengan PR di golongan di atasnya dan rokok ilegal.

Dengan penaikan tarif cukai yang lebih rendah untuk PR produsen SKM golongan 2A, maka mereka hampir dipastikan melakukan strategi tidak menaikkan harga rokok. “Meski secara ketentuan tidak dibolehkan, mereka bisa berdalih melakukan kegiatan promosi,” katanya.

Mengacu PMK tersebut, kata Andriono, maka penaikan cukai untuk PR golongan 2A hanya Rp20/batang menjadi Rp385/batang sehingga jarak harga antara PR golongan 2B menjadi tidak terlalu lebar, semakin mendekat. Dari aspek keadilan, penaikan cukai untuk SKM golongan II juga tidak adil. PR yang lebih besar justru menikmati kenaikan yang lebih rendah, sedangkan yang lebih kecil justru membayar cukai yang lebih besar.

“Arahnya memang simplikasi tarif,” katanya. Namun dalam kebijakan tersebut mestinya PR kecil justru tidak menjadi korban. Bagaimana pun PR kecil berperan dalam menyerap tenaga kerja yang tidak kecil.

Dengan simplikasi tariff cukai, dia memperkirakan, pemerintah ingin pula terjadi pula simplikasi PR. Dengan tanpa kebijakan tarif cukai yang berujung pada makin tidak berdayanya PR kecil, sebenarnya sudah ada proses simplikasi PR. “Pada 2011, jumlah PR itu masih 2.540 perusahaan, namun pada 2016 sudah jauh berkurang menjadi hanya 600 PR saja,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya