SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Wulan mengunci pintu kamar. Ia tengkurap menindih bantal di ranjang. Ketika ia menoleh ke kiri dan mendapati sebuah boneka ungu di atas meja, lekas-lekas ia beralih menoleh ke kanan. Iatatap jendela dengan sehelai retakan di kaca.

Tatapannya yang hampa itu mengguratkan pilu di sore yang kelabu. Alam seperti paham atas perasaan Wulan, karena tak lama, hujan berjatuhan. Deras. Sederas tangis Wulan yang menyebabkan bantalnya tertumpahi air mata.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Beberapa menit lalu, Wulan kedatangan seorang tamu. Tamu tersebut mengaku disuruh orang tua Pras mengantarkan punjungan. Punjungan itu sekaligus mengiringi kabar bahwa lusa Pras akan menikah. Seketika, Wulan terperangah.

Setelah sekian detik tercenung di hadapan orang yang menyangga punjungan itu, Wulan pun menerimanya. Orang itu lantas pergi tanpa dibekali ucapan terima kasih. Entah karena belum sempat, atau karena Wulan memang sengaja tidak mengucapkannya.

Kini, pikiran Wulan tak lepas dari bayang-bayang Pras. Dua tahun lalu, sebelum Pras berangkat pergi merantau, Wulan mendapat penjelasan bahwa Pras tak betah di rumah sebab ingin dijodohkan orang tuanya. Pras menolak, dan penolakan itu berujung pada sebuah pernyataan bahwa orang tua Pras tak ingin bertanggung jawab atas seluruh keperluannya, termasuk urusan pernikahan. Meski yakin bahwa hal itu hanya gertakan belaka, Pras memilih untuk merantau saja.

“Aku ingin membuktikan kalau aku sanggup mencari kebutuhanku sendiri. Termasuk kebutuhanku untuk menikah denganmu,” terang Pras pada Wulan dengan pandangan yang tajam. Wulan bergeming.

Ketika tiba waktu keberangkatan Pras, Wulan mengantarkannya ke Stasiun Balapan. Di sana, Pras berjanji akan pulang dengan perasaan yang sama. Ia akan pulang jika tabungannya sudah terkumpul. Dengan tabungan tersebut Pras bakal menikahi Wulan. Meski diam, mata Wulan seakan mengamini janji kekasihnya itu.

Pada saat kereta jurusan Gambir datang, dua kecupan Pras mendarat hangat di punggung tangan juga di kening Wulan.

“Hati-hati. Jangan lupa berkabar.” Mulut Wulan akhirnya berkata demikian.

Pras beranjak dan memasuki gerbong. Sementara Wulan masih berdiri di tempat yang sama. Tak ada pergerakan berarti yang dilakukan Wulan, kecuali mata kepalanya yang mengikuti laju kereta hingga ekornya hilang tak kurang lima menit kemudian.

Lamunan Wulan buyar. Ketukan pintu dari luar kamar menyadarkan Wulan bahwa angan tinggal angan. Bapaknya membujuk Wulan agar keluar. Ia disuruh makan karena nyatanya waktu sudah memasuki malam.

“Nanti,” jawab Wulan. Tak lagi ada suara. Bapaknya tampak memahami apa yang tengah dirasakan putrinya itu.

Hujan membersamai Wulan menghadapi malam. Kenangan bersama Pras tiba-tiba hadir lagi dalam putaran otaknya. Biasanya malam-malam begini mereka menghabiskan waktu bertelepon hingga berjam-jam. Melampiaskan rindu di tengah kesibukan masing-masing. Pras akan bercerita tentang apa saja yang ia alami seharian. Mengaduh jika lelah. Mengajak gembira jika ada sesuatu yang membuatnya senang.

Hal tersebut terakhir mereka lakukan tiga bulan lalu, dan setelahnya Pras sekejap hilang tiada kabar. Saban waktu Wulan mencoba menghubunginya namun tak pernah berhasil. Satu-satunya kabar terbaru yang Wulan terima adalah kabar pernikahan Pras yang akan terselenggara lusa.

Mengingat kembali, membuat napas Wulan tampak berat. Beberapa kali ia mengerang. Seperti berusaha mengatur ritme jantungnya yang bergedup tak beraturan.

Bapaknya kembali memanggil. Wulan memilih berperan seolah ketiduran. Kemudian pandangan mata Wulan tertuju pada boneka. Boneka tersebut tak lain pemberian Pras, persis sepekan sebelum berangkat merantau.

Wulan bangkit, menghampiri boneka ungu itu. Tangan Wulan menampiknya dari meja. Boneka pun jatuh. Segera Wulan memungutnya kembali. Lantas ia berjalan menuju jendela, dan melemparnya keluar.Wulan menghela napas sambal memejam. Ia sedikit lega. Setidaknya, satu kenangan berhasil sirna dari pelupuk matanya. Setelah itu Wulan kembali tengkurap bertindih bantal yang kini sudah mengering. Berjarak sekian menit, ia terlelap dalam hening.

Pagi berselimut kabut menyapa dari balik kaca jendela. Wulan mengintip dengan memicing-micingkan mata. Berusaha membuka lebar karena di bawah matanya bergelayut beban. Sembab. Wulan mulai bangun dan keluar kamar. Ia mendapati bapaknya sedang duduk di depan televisi.

“Duduk sini, Ndhuk.” Wulan menunduk dan mendekat.

Bapaknya memandang Wulan teduh. “Semua sudah tergariskan. Lebih baik hari ini sakit karena mengetahui bahwa Pras memang bukan jodohmu, daripada berujung sesal di kemudian hari.”

“Tapi kenapa…”

“Kenapa apanya, Ndhuk?” potong bapak. “Besok Pras menikah. Ia akan menjumpai kebahagiaannya. Belajarlah rela atas kehendak yang sudah pasti.”

Wulan semakin menunduk. Ia berupaya menyembunyikan wajah yang kusam serta matanya yang sembab itu. Namun bapaknya telanjur tahu apa yang terjadi.

Bapaknya lantas menyuruh Wulanpergi ke Sendang Siwani. Mendengar itu, Wulan kontan mengernyit. Rasa heran Wulan melebihi rasa sakit pada bola matanya. Perintah itu belum juga Wulan pahami maksudnya.

“Untuk apa ke sana?”

Bapak menjelaskan sesuatu pada Wulan. Katanya, Sendang Siwani adalah salah satu dari tujuh sumber mata air yang airnya diambil oleh setiap calon pengantin.

“Calon pengantin akan mandi menggunakan air sendang sebelum melangsungkan ijab kabul. Itu syarat adat untuk melaksanakan ikatan yang suci.”

Atas penjelasan itu, lagi-lagi Wulan mengernyit. “Lantas apa hubungannya denganku, Pak? Aku bukan calon pengantin.”

“Pras pasti juga mengambil air sendang Siwani itu, Ndhuk. Ia akan meraih kemenangannya besok. Hari ini, basuhlah wajahmu di sana. Dan besok, datanglah ke pesta pernikahan Pras dengan hati yang legawa.”

Meski ragu, Wulan akhirnya melakukan anjuran bapaknya. Ia tahu, Sendang Siwani itu—yang persis di bawah pohon beringin—bersebelahan dengan sebuah nisan petilasan Raden Mas Said. Yang ia tak tahu adalah perihal kisah bagaimana Raden Mas Said sampai datang di sendang tersebut.

Setibanya di bibir sendang, ketika nyaris membasuh wajahnya, Wulan menemukan takir berisi ragam kembang. Kembang itu tampak belum layu. Maka Wulan yakin, itu adalah peninggalan Pras. Laki-laki yang pernah berjanji memulangkan cinta untuknya. Pernah pula berjanji akan mengikis rindu sepulang dari tanah rantau.

Wulan yang urung membasuh wajah mengambil beberapa langkah mundur, duduk di tepi sendang. Ia merangkul kedua lututnya yang disilangkan di depan dada. Mendengarkan burung saling berbalas kicauan. Memandangi akar beringin yang muncul di permukaan bumi. Sesekali menatap air sendang yang tenang. Dan kalua jeli, Wulan pasti berhasil menangkap bunyi gemericik air yang berasal dari lubang sumber.

Barulah beberapa saat kemudian, Wulan mendekat ke air. Ia memejam. Menyatukan kedua telapak tangan dan mulai membenamkannya di air. Perlahan ia angkat tangannya yang berisi air tak seberapa itu. Lantas membasuhkannya ke kepala dari depan sampai belakang, dari wajah sampai rambutnya. Berulang-ulang. Sampai ia terbatuk kecil karena air sedikit tertelan.



Sambil meratakan basah ke seluruh bagian kepala, Wulan bergumam sendiri, mengakui kesegaran air Sendang Siwani. Kendati tak bercermin, Wulan merasakan wajahnya telah membaik. Sembab di matanya seakan luntur. Tak sebatas itu, bahkan ia merasa kalau hatinya tak sekacau sebelumnya. Maka, ketika perubahan demi perubahan nyata ia rasakan, Wulan bergegas pulang.

Setibanya di rumah, Wulan langsung menemui bapaknya. Ia menceritakan perihal apa yang terjadi pada dirinya. Bapaknya menanggapi dengan senyum yang teduh, lalu bertanya, “Kamu tahu kisah kedatangan Raden Mas Said di sendang itu, Ndhuk?” Wulan menggeleng.

Bapaknya menerangkan, sendang itu dulu digunakan Raden Mas Said bersemadi setelah mengalami kekalahan dari tentara Belanda. Dalam persemadiannya, Raden Mas Said melihat dua ekor kerbau berkelahi. Salah satu kerbau akhirnya tumbang. Kerbau yang tumbang itu tertatih berjalan menuju air sendang, lalu meminumnya. Seusai minum, kerbau itu berkelahi lagi, lantas memperoleh kemenangan.

Menyaksikan peristiwa gaib itu, Raden Mas Said seakan mendapat petunjuk. Ia dan bala prajurit meniru apa yang dilakukan kerbau. Setelah meminum air sendang, seketika keberanian Raden Mas Said bertambah berlipat-lipat. Ia pun menyusun siasat pembalasan pada tentara Belanda, dan pada akhirnya ia meraih kemenangan.

“Kamu juga telah menang, Ndhuk.”

Senyum Wulan mengembang. Ia memeluk bapaknya erat. Air mata Kembali jatuh. Air mata keyakinan dalam dirinya atas apa yang diucapkan bapaknya baru saja.

Keesokan hari, seperti perintah bapaknya waktu itu, Wulan datang di pesta pernikahan Pras. Dari kejauhan, terdengar bunyi lantang sound system yang mengartikan kemegahan. Wulan masuk ke area kajang. Sembari duduk, Wulan memandangi Pras dan istrinya yang berada di kursi pelaminan.

“Benar kata Bapak, aku telah menang,” gumam Wulan.

Wulan beranjak dari tempat tamu, menghampiri Pras dan istrinya. Ketika mengetahui kehadiran Wulan, wajah Pras mendadak berubah. Pada saat berjabat tangan, Wulan justru melihat mata Pras berkaca-kaca. Mungkin lebih dari sepuluh degupan jantung, Pras tak kunjung melepas tangan Wulan. Dalam ketidakpahaman itu, batin Wulan seolah bertanya-tanya, bukankah hari ini Pras meraih kemenangan juga?



 

Indarka P.P, lahir di Wonogiri (Jawa Tengah). Alumni Fakultas Syariah, IAIN Surakarta. Saat ini bermukim di telatah Kartasura dan bergiat di Komunitas Kamar Kata.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya