SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Aziz tak henti melirik jarum jam di tangannya. Satu jam sudah, kekasihnya belum tiba. Aziz berniat pulang, Latifah tiba-tiba datang. Langit menurunkan gerimis, Latifah memulai ceritanya dengan tangis. Kepada Aziz, Latifah katakan, dirinya masuk dalam jebakan, sehingga perempuan itu melakukan perselingkuhan.

Mendengar pengakuan kekasihnya, Aziz berusaha sabar, ia hadapi dengan tegar. Aziz memuji kejujuran Latifah, meskipun dadanya berlubang. Tak tahu harus bilang apa, Aziz diam saja. Dari mulut Latifah terus mencair kata-kata, semua diceritakan tanpa jeda. Gemuruh batin Aziz tak tenang, bayangan buruk berkelebat menghuni benaknya. Sia-sia sudah harapan, rencana ingin sampai ke pelaminan, tapi hubungan sudah berantakan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Siapa nama lelaki itu?” Aziz bertanya, lirih suaranya.

“Faisal,” jawab Latifah.

Latifah berkata lagi, “Aku tetap mencintaimu, tapi aku tak berdaya. Entah apa yang terjadi denganku, perasaanku juga menaruh cinta pada Faisal.”

“Tinggal kau pilih, aku atau Faisal? Kau tak bisa mencintai dua lelaki sekaligus.” Aziz memberi pilihan. Latifah tercengang, Aziz mulai garang.

“Aku memilihmu. Tapi aku juga tak bisa meninggalkan Faisal. Aku seperti dijerat olehnya.”

Latifah melanjutkan kalimatnya, “Aku sudah pernah tidur dengan Faisal.”

Mendengar pengakuan itu, Aziz tercenung. Mendadak jantungnya seperti hendak lepas dari tangkainya. Matanya mulai basah, perasaannya kian resah. Aziz menolak tangan Latifah yang coba memegang lengannya. Aziz menelan kecewa, hatinya teramat luka. Pandangan Aziz berubah sinis, Latifah menangis.

Serak suara Aziz, “Jadi itulah alasan kenapa kau tak sanggup meninggalkan Faisal. Kau akan mengandung anak Faisal?”

“Aku tidak akan hamil. Aku mencintaimu”

“Bagaimana mungkin?”

“Faisal pakai pengaman. Semua itu terjadi di luar kendaliku. Faisal seperti memantraiku, semacam pelet ia masukkan ke dalam tubuhku. Sungguh, percayalah padaku.”

Aziz bimbang, pikirannya melayang. Ia tidak pernah menyangka, Latifah melukai hatinya dengan sangat tega. Sejatinya Aziz masih cinta, tapi apa mau dikata, perbuatan Latifah di luar batas wajar perselingkuhan. Bila sudah berhubungan badan, sulit bagi Aziz menerima kenyataan. Kekasihnya sudah dipeluk orang duluan, Latifah tidak lagi perawan. Aziz meradang, wajahnya berang. Tapi memang demikian yang Tuhan gariskan, cintanya dengan Latifah harus berantakan. Aziz pun menerima itu semua sebagai suratan.

Latifah memang seorang gadis yang terlahir dengan kecantikan luar biasa, bibir ranumnya selalu terlihat basah. Tujuh tahun berlalu hubungan Aziz dengan Latifah, suka duka dijalani bersama. Baru sekarang perselingkuhan Latifah tak bisa ia terima, tidak seperti perselingkuhan sebelumnya. Tiga tahun lalu Latifah juga selingkuh, namun Aziz mempertahankan perempuan itu dengan kukuh.

Setelah bersusah payah, Aziz tak kenal lelah. Latifah jatuh kembali ke dalam pelukannya, sadar perempuan itu bahwa betapa Aziz sangat setia, mecintainya segenap jiwa. Latifah merasa jadi perempuan hebat, sebab Aziz memperjuangkan dirinya. Tapi perselingkuhannya dengan Faisal  sekarang membuat Aziz  marah, di depan Latifah ia bersumpah. Kepada perempuan itu ia berkata, suatu saat pasti Latifah akan kena karma.

“Kalau kau sudah tahu bagaimana rasanya disakiti, baru kau tak akan berbuat seperti ini lagi,” kata Aziz seperti mengutuk.

“Apa kau tidak percaya kalau Faisal mengguna-gunaiku? Aku seperti di bawah kendalinya.” Latifah coba meyakinkan Aziz.

Aziz semakin sakit hati, Latifah angkat kaki. Perempuan itu meninggalkan Aziz seorang diri, membiarkan lelaki itu menelan perih. Aziz memandang bangku taman, duduk sepasang kekasih saling bersenda gurau. Puluhan burung merpati berputar di atas taman, Aziz merasa kesepian. Pengakuan kekasihnya barusan sama halnya memutus hubungan. Tangis Aziz tertahan, malu bila dilihat orang, terlebih pantang bagi seorang lelaki menangisi perempuan yang merobek hatinya.

Aziz hendak pergi, tapi ia dengar sepasang kekasih berbicara lirih, Aziz masih bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Berdiri Aziz, pura-pura meregang otot, lalu duduk kembali. Aziz tahu, sepasang kekasih yang duduk di bangku taman yang tak jauh darinya sesekali melirik Aziz, mungkin khawatir Aziz mendengar jelas suara mereka.

“Itu lelaki baru saja ditinggalkan kekasihnya,” kata si gadis kepada kekasihnya.

“Kenapa?”

“Kekasihnya selingkuh.”

“Padahal dia lelaki yang cukup tampan,” kata si pria kepada gadisnya. Gadis itu pun mengamati raut muka Aziz, dan betul saja Aziz memang terbilang lelaki tampan. Cepat gadis itu mengalihkan pandangan, cemas bila Aziz menangkap pandangannya.

Gadis itu bicara, terdengar bijak ucapannya, “Cinta bukan soal ketampanan, tetapi kesetiaan.”

Aziz tak berminat lagi mendengar pembicaraan sepasang kekasih itu. Ia pergi, gontai berjalan. Sesampainya di rumah, Aziz merebahkan badan, pikirannya tak keruan. Wajah Latifah membayang, padahal Aziz sudah berusaha buang. Tujuh tahun membangun hubungan, tentu saja tak mudah melupakan, apalagi dulu sama-sama berjanji bahwa pasti keduanya akan ke pelaminan.

***

Sepekan berlalu, Aziz masih merasa pilu. Cintanya kepada Latifah belum hilang, susah payah ia cari cara agar wajah Latifah tak selalu terbayang. Ditemani secangkir teh di beranda rumah, Aziz  mengakui dirinya lemah. Lemah karena cintanya pada Latifah tetap bertahan, ia tetap menginginkan Latifah kembali ke dalam pelukan. Aziz sendiri tidak tahu, apakah ini yang disebut cinta sejati, cinta mati, atau cinta yang mengibuli.

Karena Latifah, Aziz hampir gila, maka perempuan itu harus ia dapatkan lagi segera. Terakhir Aziz mendengar suara Latifah melalui telepon seluler, berkata Latifah bahwa cintanya pada Aziz kian pudar, itu terjadi karena pelet dari Faisal kian banyak bersarang dalam tubuhnya. Aziz resah, pikirannya gelisah.

Sore harinya, Aziz datang ke rumah Pak Salamet, dukun yang kesaktiannya terbukti adanya. Ia mengeluhkan segala persoalan kepada lelaki tua itu. Tertawa terbahak-bahak Pak Salamet, sampai bahunya terguncang, lalu ia bilang itu soal gampang.

“Ambil darah dari jari manismu, tiga tetes saja. Entah bagaimana caranya, darah itu harus bisa masuk ke dalam tubuh perempuan yang kau cintai,” enteng sekali Pak Salamet mengucapkannya.

Pak Salamet memang mahsyur karena kepandaiannya menyelesaikan persoalan cinta yang dihadapi pasiennya. Aziz selipkan amplop berisi uang, bersalaman pada Pak Salamet. Aziz pulang, wajahnya riang. Tiba di rumahnya, Aziz langsung mengerjakan, sesuai perintah Pak Salamet dilakukan. Ia tusuk jari manisnya, mengucur darah. Tiga tetes ia ambil, dicampur ke dalam gula.

Satu hari kemudian, Aziz berhasil mengajak Latifah makan. Di sebuah rumah makan, sederhana tempatnya. Heran Latifah melihat tingkah pola Aziz. Latifah masih ingat bagaimana ia pernah berkata bahwa ia tidak bisa hidup dengan tukang selingkuh, apalagi sampai berhubungan intim seperti dirinya. Aziz melihat sikap Latifah berubah, seakan muak melihat dirinya. Batin Aziz bicara, benarkah Faisal menguna-guna Latifah? Ataukah keduanya memang suka sama suka?



Sebelum minuman datang, es teh manis yang dipesan. Aziz pamit ke belakang, bilang mau ke kamar kecil. Aziz menyelinap ke dapur, meminta pelayan memasukkan gula bercampur darah dari jari manisnya itu ke dalam minuman pesanan Latifah. Pelayan itu mengangguk, meski ia tak disogok.

Wajah Latifah datar, pesanan sudah diantar. Aziz datang, mempersilakan Latifah makan. Begitu Latifah minum es teh manis tersebut, Aziz manggut-manggut. Latifah sempat bertanya kepada Aziz, kenapa di dalam gelas minumannya seperti ada warna merah, seolah itu darah. Aziz gelagapan, cepat ia beri jawaban. Aziz menjelaskan, mungkin itu teh terbaik sehingga ada merahnya. Latifah diam, Aziz masih deg-degan.

Setelah Latifah pulang, Aziz bingung, bertanya ke dalam hatinya, kenapa dirinya segila itu pada Latifah? Ia mau Latifah kembali menjadi kekasihnya bahkan tetap ingin menikah dengannya, sampai ia lakukan guna-guna padanya. Aziz pergi ke kasir, membayar dan pulang ke rumah dengan harapan itu guna-guna segera bereaksi.

Hari demi hari berjalan, tak ada tanda-tanda Latifah jatuh cinta lagi kepada Aziz. Sebulan berlalu, Aziz menduga Pak Salamet telah mengajarinya ajaran guna-guna yang palsu. Aziz kepikiran Latifah, ia sudah putus asa. Hingga akhirnya, Aziz sendiri sudah menemukan perempuan lain. Tak terpikir lagi nama Latifah. Jiwanya sudah terisi, hari-hari Aziz pun seperti puisi. Selalu ia rasakan keindanhan bersama kekasihnya yang baru.

Setelah tiga bulan, Aziz baru mendapat telepon dari Latifah. Ia mengajak Aziz menikah segera. Aziz menolak marah, ia sudah tak cinta. Latifah mengancam bunuh diri, Aziz tak peduli. Latifah menangis, Aziz balas sinis. Aziz baru ingat jika ia pernah mengguna-guna Latifah dengan tiga tetes darah dari jari manisnya. Apakah guna-guna itu baru bereaksi? Atau itu karma bagi Latifah? Aziz sendiri tidak tahu.

“Perasaanku sekarang sama seperti saat Faisal mengguna-gunaiku. Apa kau mengguna-gunaiku? Atau memang ini perasaanku yang dari sejak dulu?” Pertanyaan Latifah dari seberang tak menemukan jawaban. Aziz menutup telepon selulernya. Tiba-tiba Aziz merasa bersalah, perasaannya gundah.

Pulau Garam, Desember 2020

 

Zainul Muttaqin lahir di Garincang, Batang-Batang Laok, Sumenep. Kini bertempat tinggal di Pamekasan Madura. Menyelesaikan studi Tadris Bahasa Inggris di IAIN Madura. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Buku kumpulan cerpennya; Celurit Hujan Panas (GPU, Januari 2019).







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya