SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Asap-asap mulai mengepul dari atas wajan panas di depan Asri. Aroma tumisan bawang putih, bawang merah dan cabai mulai menyeruak. Asri mulai menutupi hidungnya. Meskipun begitu aroma masakan tumis itu tambah membandel dan nekat untuk menerobos sela-sela jari Asri yang memcoba memblokir hidungnya dengan aroma masakan itu.

Dan sayangnya sia-sia, Asri tetap muntah. Asri langsung ngacir ke ke kamar mandi yang letaknya tiga langkah dari tempat dia memasak. Langsung saja Ia tinggalkan tumisan bumbu yang harusnya nanti menjadi oseng wortel.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Eh, Piye ta Bune. Kok malah ditinggal.” Seru suami Asri kalang kabut memegang sotil di atas wajan.

Asri tak menjawab dan hanya mengeluarkan suara “Hueeek….!” Yang terdengar jelas dari kamar mandi. Paasalnya kamar mandinya hanya berjarak tiga langkah kesamping kiri dari tempat kompor.

Lelaki muda yang hampir berusia 30-an itu memang lugu. Sama lugunya dengan Asri. Bahkan ketika istrinya hamil tujuh minggu, Bagiyo masih saja lugu berkata kepada Asri dengan nada yang tidak ada lembut-lembutnya sama sekali. Namun Asri juga tak pernah marah, seringkali setiap omongan suaminya itu juga dijawab dan dengan nada lugu.

Keluarga muda ini meski belum genap tiga bulan menikah memang tidak ada romantis-romantisnya. Romatisnya adalah ketika Asri memasak, Bagiyo membantu cuci piring. Ketika Bagiyo mengerjakan laporan Asri menemaninya dengan membuatkan secangkir kopi sambil nonton sinetron Ikatan Batin di TV.

Tidak ada kata so sweet Ayah-Bunda, Mama-Papa, Mimi-Pipi, dan lain sebagainya. Hanya beberapa minggu ini Bagiyo yang sering memanggil Asri dengan sebutan ‘Dik’ kini naik level menjadi ‘Bune’ karena telah mengandung 7 minggu. Begitu juga Asri yang biasanya memanggil Bagiyo ‘Mas’ berubah menjadi ‘Pakne’ karena bakal menjadi ayah dari anak yang ia kandung.

Oseng yang tadi dibuat dengan penuh drama mual antara Asri dan Bagiyo kini selesai juga. Nasi juga sudah tanak. Sudah ada dua baskom sedang ayam goreng dan telur iris. Meski ayamnya tidak besar tapi kemampuan Asri dalam memasak memnjadikan seperangkat nasi lauk-pauk tersebut terasa nikmat.

Sayangnya dapur yang hanya tiga kali satu meter cukup sesak untuk mereka berdua membugkus makanan-makanan untuk keperluan nanti sore menjelang berbuka puasa.

“Hmmmm. Sedep ya Bune,” kata Bagiyo menatap ayam goreng penuh dengan gairah.

“Heh Pakne gimana ta, kan sedang puasa. Lagi pula kita kan sudah niatkan acara ini. Ini penting banget lho Pak. Jangan sembrono. Ibu bela-belain masak meskipun mual-mual. Karena ini penting!”

“Iya Bune, meskipun kita jarang makan ayam. Ndak papa kita dahulukan orang lain. Karena ini sangat penting juga bagi Bapak, Bune.”

“lha iya, yo wis ndak usah celandakan tangannya ngaduk-aduk baskom ayam!”

“hehehe iya iya Bune.”

Mereka melanjutkan membungkus makanan tersebut dalam kertas pembungkus nasi. Mulai dari nasi, menuangkan oseng di tepi nasi, menaburkan telur iris di sisi lain, kemudian yang terakhir adalah menindihkan ayam goreng yang gurih di atasnya. Akhirnya, dibungkus dan dirapatkan dengan tali karet gelang agar tidak mudah ambyar.

Hari itu Sabtu, Bagiyo libur kerja karena di kantornya hanya menganut 5 hari kerja. Seminggu lebih bagiyo dan Asri menanti momen ini. Pada liburan suaminya kali ini Asri dan Bagiyo memutuskan untuk berkeliling kota membagikan makanan untuk buka puasa gratis bagi orang-orang yang membutuhkan.

Sistemnya cukup sederhana, Bagiyo yang mengatur acaranya bahwa ia dan istrinya hendak berkeliling kota mengenakan motor matic mereka satu-satunya. Acara itu adalah acara yang lumayan sakral bagi mereka. Mau dengan keadaan apa pun harus dilaksanakan. Harus Ditunaikan! Agaknya ada sesuatu yang mendesak mereka. Sesuatu yang mengejar namun tak menggubris waktu kapan Bagiyo dan Asri siap dikejar.

Desiran angin kota ikut berpusar mengitari patung ikon tokoh mitologis mengendara pedati dengan berderet kuda di depannya. Kota yang tak terlalu sepi juga tak terlalu ramai. Angin kering khas musim pancaroba membelai topi usang pria-pria tua yang kumuh, juga perempuan-perempuan tua yang menggedong kresek, atau anak-anak yang memegang botol bekas yoghurt yang diisi pasir kemudian disulapnya menjadi maracas.

Entah dari mana saja mereka. Yang jelas Ramadan kali ini makin bertambah saja. Terlebih menjelang buka puasa seperti ini, mereka seperti tahu waktu yang tepat untuk muncul di hadapan para warga yang melintas.

Alun-alun kota adalah tempat berkumpulnya manusia, tempat sempurna untuk muncul meminta belas kasih. Bagiyo enggan repot-repot menganalisis faktor kemiskinan mana yang membuat mereka seperti ini. Identitas personal apa yang mereka punya sebelumnya hingga berakhir menjadi seorang peminta-minta di alun-alun kota.

Perdebatan itu sangatlah amat usang untuk dipikirkan. Ada yang pro bahwa mereka hanya korban dari kejamnya sistem kehidupan dan dampak kapitalis. Ada yang berpendapat lain bahwa mereka yang tidak mampu menggaris takdir layak bagi diri mereka sendiri atau dengan kata sarkas adalah malas. Bagi Bagiyo ia hanya tahu bahwa hari itu ia harus menjalankan misinya berbagi.

Lama melamun, Bagiyo Sadar istrinya menghilang. Lalu terdengar suara ribut-ribut di balik patung. Tenyata kekhawatiran Bagiyo benar. Asri terlihat ribut dengan perempuan muda di sebelah patung.

“Sampeyan yang nggak tahu aturan Mbak! Saya anteng di sini memberikan nasi bungkus. Sampeyan dorong-dorong saya sampai jatuh! Nganyelne sampeyan!” kata Asri memaki perempuan muda yang tinggi nan cantik itu.

“Ibuk yang gangguin saya lagi bikin konten!” Perempuan muda itu berkata dengan nada tinggi sambil mematikan kamera.

“Bikin konten bikin aja. Saya Cuma mau memberi Mbah ini bukaan puasa! Nggak perlu dorong-dorong dong!” Asri membalas dengan nada yang lebih tinggi.
“Saya juga!” jawab perempuan muda itu ketus.

“Ya sudah terus masalahnya apa!” Asri melotot mengangkat pandangan matanya dan berkacak pinggang.

“Masalahnya saya nggak mau muka ibuk ada di konten saya! Saya ingin Cuma saya yang terlihat berderma di alun-alun ini. Lagian Ibu ini orang baru ya? Ini kan wilayah saya! Ibu bikin saja konten di wilayah lain! Jangan di wilayah ini! Awas ya Buk.” Perempuan muda itu sampai harus menunduk untuk menunjuk-nujuk hidung Asri.

“Aku ndak bikin konten! Aku menjalankan misi berbagi! Kamu itu, malah ngasih orang cuma buat gimmick! Hati-hati Ndhuk dislentik Tuhan baru tahu rasa!”

“Ibu jangan sok menasihati saya ya! Saya pun ada maksud. Mengajari orang-orang di luar sana mulai berbuat baik!” jawab perempuan muda itu dengan irama mengelak.

“Mengajari berbuat baik apa pamer bahwa diri kamu yang paling baik?” Nada Asri makin menantang. “Dulu memberi, tangan kiri saja tidak boleh tahu. Sekarang koar-koar. Mau memberi jika hanya ada yang melihat! Pikiran orang sudah pada terbalik. Berbuat baik itu tak butuh pemirsa. Tapi hanya butuh Rida-Nya.” Nada Asri masih bertahan tinggi.

“Ibu ini lagaknya ceramah seperti ustazah! Jilbaban saja tidak. ceramah fasih apalagi sampai pakai nada tinggi. Sugguh tak pantas. Yang boleh ceramah itu yang soleha. Bukan yang brondolan nggak jilbaban macam awakmu!”

“We lha dala! Keterlaluan ya kamu!” Asri hampir menamparkan sandal jepitnya di pipi mulus perempuan muda yang penuh dengan make up itu. Belum sampai pertikaian itu meledak Bagiyo mencoba melerai.

“Sudah Bune. Sudah kasihan anak.” Kata Bagiyo sambil melerai dan mendekap istrinya menjauh dari kerumunan.



“Biarkan dia tahu tata krama Pak. Biar Ibu yang kasih pelajaran dia,” Asri tetap ngotot hampir melepaskan dekapan Bagiyo dan mendatangi perempuan muda itu tapi gagal.

“Sudah Bune. Sudah,” Kata Bagiyo degan nada rendah berhasil menyejukkan hati Asri. Bagiyo memeluk istrinya yang mulai terisak-isak dalam dekapannya. Mendudukkan Asri di bawah patung sambil mengusap air mata istrinya yang berlinang.

Bagiyo tahu benar hormon kehamilan telah memengaruhi emisonal Asri. Itulah yang membuat Asri tak bisa menahan amarahnya.

“Biarlah saja jengkel-jengkel begini. Yang penting bungkusannya habis,” kata Asri sambil menyeka air mata dan masih agak terisak.

“Alhamdulillah misi kita hari ini berhasil Bune. Tinggal tunggu kabar saja.”

Drettt dreeettt….telepon genggam dalam saku celana kiri Bagiyo bergetar.

“Halo. Njih Pak,” Bagiyo menerima telepon dari seseorang di seberang sana.

“Astagfirullah Pak! Njih Pak. Kula jemput besok. Napa mboten saget diundur menika Pak?” (Asragfirullah Pak! Saya jemput besok. Apa tidak bisa diundur hal itu Pak?) Bagiyo tersentak mendengar kabar dari seseorang di seberang telepon.

Telapak bagiyo mulai berkeringat. Lengan, betis, dan punggungnya mulai lemas. Seperti tidak bertulang. Bagiyo tertunduk lesu menutup telepon dengan menopang kening. Melihat suaminya yang mendadak murung hampir setengah pingsan itu, Asri langsung menghentikan isak tangis. Raut dan perasaanya ikut gusar. Kabar buruk macam apa yang membuat suaminya bersedih hati.



“Siapa Pakne?”

“Kakungnya Utun, Bune.” (Utun: sebutan jawa bagi janin yang masih dalam kandungan)

“Katanya diberi waktu sampai hari besok saja untuk berkemas. Rumah yang di desa jadi disita oleh bank.”

“Astagfirullah. Kok bisa gini ta Pakne!!!” Asri ikut merasa panik. Tangannya langsung mengaduk tas kresek mengecek catatan yang telah dibuatnya seminggu ini.

“Seharusnya tidak sampai disita Pakne. Aku sudah dibekali amalan oleh Kiai Bewok untuk membuat 100 nasi bungkus. Kata Kiai Bewok, nanti 100 bungkus itu dari langit akan dikalikan 700.000 balasan. Kan seharusnya kita mendapat Rp70 juta Pak. Seharusnya bisa balik modal sedekah. Utang Kakung kan hanya Rp50 juta. Harusnya sisa. Begitu kata Kiai Bewok. Tempo hari aku sudah memastikan dengan Kiai Bewok. Dengan cara membagi 100 nasi bungkus kepada fakir miskin maka utang Bapak sudah bisa lunas. Tapi kok malah begini ya Pakne!!!” Kata Asri sambil mengempaskan kertas catatan miliknya. Muka Asri memerah panik bahkan hampir menangis lagi.

Bagiyo merenung agak lama sampai dahinya berkerut. Menatap rerumputan alun-lun kota.

“Jadi? Terus gimana Pakne?” Asri bertanya sambil mengguncang pundak suaminya.

“Jadi, Ramadan besok kita ganti kiai saja Bune. Bagaimana?” kata Bagiyo dengan mata lebih terang karena merasa menemukan titik permasalahannya.

“Sepertinya Kiai Bewok kurang manjur seperti dulu doanya,” kata Bagiyo dengan lugu menganalisis.



“Kita ganti kiai desa sebelah. Katanya doanya paling manjur sekecamatan,” tambah Bagiyo.

“Baiklah Pakne. Semoga kiai lain bisa lebih manjur ya Pakne.”

Senja itu kian menyelimut kota. Mereka berhenti saling menatap. Tangan Bagiyo merangkul istrinya. Mengajak Asri menyusur keluar dari rerumputan alun-alun kota. Bukan untuk pulang ke rumah. Asri tahu benar suaminya akan tepat mengajak dirinya ke suatu tempat. Bagiyo menunjuk masjid besar di sebelah alun-alun kota.

Sepasang suami istri yang sangat lugu itu begitu mengerti bahwa di sana selalu menyedikan buka bersama secara cuma-cuma mengingat beras dan lauk-pauk di rumah telah ludes untuk misi berbagi mereka hari itu.

 

Dinari Oktaria
Guru Bahasa Indonesia di MTsN 7 Klaten
Tinggal di Prampalan RT 020/ RW 005, Krikilan, Masaran, Sragen



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya