SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Kau mirip dengan ayahmu, anakku,’’ kata perempuan dari kademangan Widorokandang itu. “Lihat, bahkan tubuh dan cara berjalanmu juga tak beda dengan pangeran pemarah itu. Tapi mengapa istana Mandura selalu bergetar ketika kakimu menginjak ubin marmer yang indah itu. Ooo…, maafkan aku, anakku. Mandura, sepertinya tak akan pernah menginginkanmu. Bahkan ketika aku sudah mengubur selendang dan nyanyian merduku ini.”

Pathet Nem:

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

”Kata mereka, akulah sang penghibur. Sungguh, sampai ajal pun, aku tak bisa menerima itu, anakku. Sebab, kau tahu, aku selalu menjaga kehormatan selendang dan nyanyianku. Ya, sampai sekarang bahkan. Tidakkah mereka mengerti tentang itu?” Dari balik jendela kayu, menjelang senja yang membawa semilir angin, perempuan yang kemudian dikenal sebagai Nyai Sagopi itu terus saja menatapi anaknya yang sedang bermain di pelataran kademangan Widorokandang. Ada dua bocah laki lain di sana. Orang-orang di kademangan lebih mengenalnya sebagai tiga bocah lelaki yang tak terpisahkan.

‘’Sang penghibur? Oh, benarkah itu aku?. ‘’ Angin tiba-tiba bertiup kencang menatap jendela. Meniup rambut Nyai Sagopi hingga tergerai. Dan lihat, betapa perempuan itu masih memiliki pesona yang luar biasa. Rambutnya yang indah, kulitnya yang putih langsat dan wajah itu, ya wajah yang akan membuat siapa pun merasa sedang melihat bidadari turun dari kahyangan. Tapi, mengapa bidadari itu (hanya) ada di kademangan yang terpencil?

“Aku hanyalah perempuan yang tak berdaya oleh kekuasaan, anakku. Tak lebih dari itu.” Kekuasaan? Ya, itulah yang membuat perempuan cantik itu harus rela tinggal di kademangan yang terpencil. Bahkan, di sana, ia juga harus rela menjadi perempuan baru, Nyai Sagopi. Sementara masa lalu perempuan yang dikenal dengan selendang dan nyanyian indah itu, telah hilang. Atau harus hilang. Bahkan siapa sesungguhnya nama asli perempuan itu, tak ada yang tahu dan tak ada yang berani mencari tahu.

“Mengapa mereka memaksaku tinggal di Widorokandang, anakku? Karena ini adalah tanah terlupakan. Tanah yang menurut mereka pantas untuk mengubur batu nisan dari cinta terlarang yang katanya buah jalan sesatku itu.” Setelah peristiwa di panti putra pada suatu tengah malam, Nyai Sagopi adalah noda bagi Mandura. Ia dipandang pantas mendapatkan dosa. Bahkan dosa yang sangat mungkin tak akan terampuni bagi kerajaan. Lalu semua yang dimiliki perempuan itu harus hilang. Sebelum kemudian, masa lalunya harus mati.

“Sungguh, itu dosa yang sangat tidak beralasan bagiku. Ingatlah itu anakku, karena -entah lewat apa aku harus menceritakannya- kau berhak tahu. Ya, kau berhak tahu……..,kelak kapan pun itu.”

Pathet Sanga:

”Malam itu gerimis membawa serta hawa dingin yang terasa menusuk kulit. Tapi kau tahu, anakku, aku bahkan tak hirau. Lalu selendangku, dan tentu juga nyanyianku, seperti membuatku gila. Aku terlalu bersemangat oleh irama gendhing-gendhing para niyaga itu. Ya, gendhing-gendhing kesukaanku. Dan entah mengapa, malam itu, aku begitu ingin membuat istana Mandura bergairah oleh irama indah dari selendang dan nyanyianku.”

Perempuan dari kademangan Widorokandang itu masih belum beranjak dari jendela rumahnya. Sementara angin senja mulai datang dan seperti tahu tentang mahluk indah di kademangan yang sunyi. Mengembus manja menyemilirkan tubuh perempuan itu, kemudian menguraikan rambutnya hingga menari-nari. Sungguh, benar-benar bidadari.

“Aku bersumpah, sedikitpun aku tak bermaksud menjadi sang penghibur malam itu. Aku hanya ingin menari dan bernyanyi, anakku. Seperti halnya kepada gerimis malam yang dingin ketika itu, aku juga tak hirau kepada siapa saja yang ada di hadapanku. Ya, aku hanya ingin menari dan menari sembari bernyanyi dan terus bernyanyi. Hanya itu saja maksudku.”

Tapi betapa pun Nyai Sagopi tentu tak akan pernah lupa dengan beberapa pasang mata yang seperti mencengkeram habis jiwanya di malam itu. Beberapa pasang mata yang terus tak ingin lepas darinya. Bukan mata biasa, karena mata itu ada di antara deretan kursi gading tempat para pangeran Mandura. Ya, sampai kapan pun, ia tak akan pernah bisa melupakan itu.

“Aku sudah berusaha menghilangkan semangatku menari, anakku. Nyanyianku pun juga tak lagi terasa merdu bagiku. Tapi sorot mata itu….., sorot mata itu seperti masih saja mencengkeramku.”

Oooo, Sagopi, apakah kau lupa siapa dirimu di malam itu. Bisa apa kau ketika kekuasaan sudah menginginkanmu? Bisa apa ketika kemudian ada isyarat engkau harus ke tilamsari di panti putra usai menari? Jangan lupa Sagopi, kau hanyalah seorang juru beksa, yang tentu tak akan berdaya melawan orang-orang yang duduk di kursi gading itu.

Dan kau tahu Sagopi, bukankah itu pula yang akhirnya terjadi. Ingatkah, saat kakimu yang tak berdaya itu akhirnya melangkah ke panti putra. Tempat yang kemudian memberimu dosa itu. Tempat yang mestinya tak membolehkanmu berada di sana. Bahkan, meski bukan kau sendiri yang menghendaki sekalipun. Lupakah kau tentang itu, Sagopi? Lupakah kau, bahwa nafas-nafas yang sedang memburu itu adalah pemilik kuasamu?

“Hmmmmm…..itulah dosa yang aku dapatkan dari istana Mandura, anakku. Andai kau bisa mengerti, pantaskah aku mendapatkan dosa itu….?” Pathet Manyura: ”Mereka, para punggawa dari Mandura itu, mestinya juga harus menjengukmu, anakku. Aku sangat tahu itu. Tapi mereka tak pernah menghiraukanmu. Ah, mungkin mereka juga bagian dari orang-orang yang tak akan pernah menginginkanmu, anakku.”

Sekian tahun setelah peristiwa tak terlupakan di panti putra, Sagopi harus kembali menjadi perempuan yang tak berdaya oleh kekuasaan. Ia, mau atau tidak, harus menerima titipan sinandhi dari kerajaan Mandura. Dua bocah lelaki dan seorang bocah perempuan. Merekalah putra pemilik kekuasaan itu, kekuasaan yang sebelumnya telah memaksanya berada di tanah terlupakan.

“Tidak adakah tempat lain? Mengapa anak-anak itu harus dititipkan di Widorokandang? Oh anakku, berilah selalu doa untuk ibumu ini. Berilah terus senyum-mu agar kekuatan terus mengalir di setiap tetes darahku.”

Senja telah berganti malam. Kademangan, dengan hanya sedikit yang tahu, sedang kedatangan tamu orang-orang kerajaan. Tamu rahasia dengan tentu pertemuan yang rahasia pula.

Sementara kali yang kesekian, Sagopi harus mengantar minuman untuk orang-orang kerajaan yang datang ke kademangan. Dan selalu saja hatinya bergetar. Kakinya terasa begitu berat ketika mendekati meja di tengah pendapa. Mengingatkan malam kelamnya di panti putra sekian tahun silam.

“Inikah Mandura yang agung itu? Begitu agungnya hingga mereka para penggawa kerajaan itu harus sembunyi-sembunyi hanya untuk datang ke sebuah kademangan? Oh, sungguh aneh dan lucu, anakku. Dan kau ternyata lebih beruntung…, kau tak perlu sembunyi anakku…. karena kau tak perlu dicemaskan oleh apa pun.”

Perempuan dari kademangan dengan rambut panjang dan kulit langsat itu benar. Semua memang karena kecemasan Mandura.

“Andai tak ada bau busuk yang harus disembunyikan, pasti ketiga anak ini tak perlu menjadi titipan sinandhi. Dan para penggawa itu juga tak perlu sembunyi-sembunyi seperti maling di rumahnya sendiri. Ya, kau memang lebih beruntung anakku. Karena kau tak perlu mengalami nasib seperti tiga anak yang telah kau anggap saudaramu. Tiga bocah yang…..ah akupun juga sudah menganggap mereka seperti darah dagingku sendiri anakku..”

Kau kembali tak berdaya Sagopi!! Ha ha ha….. Mengapa tidak segera kau tepis perasaanmu itu? Bukankah ini saat yang tepat untuk berhitung tentang dendammu? Ha ha ha…., sepertinya kau tak berani Sagopi. Kau kembali tak berdaya…….ya… tak berdaya…….



“Tidak! Mereka kira, aku akan kalah di tanah terlupakan ini, anakku. Tapi yakinlah tidak. Jika mereka ingin mahkota ayahmu tak boleh ternoda oleh selendang dan nyanyianku, baiklah tak mengapa kita di sini. Ini bukan tanah yang salah bagi kita. Ya, Widorokandang memang tak semegah istana Mandura. Tapi setidaknya di sini tak ada bau busuk yang harus disembunyikan anakku.”

Kademangan segera terlelap oleh malam yang kian larut. Esok pagi, di kota praja, semburat merah surya kian memerah karena bercampur kobar api amarah. Mandura geger. Rahasia titipan sinandhi terbongkar. Nyai Sagopi benar tentang bau busuk itu. Dan ia pun yakin, api amarah itu akan segera sampai ke kademangan. Tanah pembuangannya.

“Ke sinilah kau wahai anak para penguasa. Aku bersumpah akan melindungi kalian di tanah terlupakan ini. Kemariah wahai anak para penguasa…..dan segera berlindung dalam dekapan selendang dan nyanyian-ku ini……”

Arga Solo, Juli 2021
Wisnu Kisawa adalah penulis adalah jurnalis budaya di Solo.

Catatan:
Dalam cerita wayang kulit purwa, Nyai Demang Sagopi tak begitu banyak dikisahkan. Ia hanya menjadi tokoh pelengkap dalam lakon-lakon seperti Kangsa Adu Jago dan Udawa Waris. Nyai Demang Sagopi adalah ibu dari Udawa, Larasati, dan Adimanggala dan dijadikan sebagai perempuan triman (hadiah) dari kerajaan Mandura untuk Demang Sagopa (Antyagopa) di Widorokandang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya