SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Sosok perempuan menawan itu muncul lagi di benak bersamaan dengan teriakan orang-orang.

“Ratriii! Ratriii!”

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Aku terkesiap. Sama ketika sosoknya melintas saat aku menyapu halaman sekitar pendapa.

Tiba-tiba api kian besar. Jilatan lidahnya bergradasi merah kuning jingga menyambar pilar kayu ruang latihan.

“Mas Rangga, cepet selametin Ratri!” teriak Bu Djiwo dari tengah halaman. Sedemikian keras suaranya melengking di antara derak balok pilar yang mulai patah.

Ibarat jagoan menyelamatkan putri, langkah kakiku besar-besar menghampiri Ratri yang memeluk lutut dengan sekujur tubuh gemetar.

Jarak kami tinggal seukuran kotak besar ubin lawasan saja, ketika perempuan yang sosoknya menghantui kesadaran dan ketidaksadaranku setiap hari mengangkat kepalanya Sorot matanya serupa nyala api. Siap membakar bila diriku coba mendekat.

***

Tak lekang dari ingatan, pesan Bu Djiwo ketika mengajakku bekerja di sanggar tarinya.

“Kamu harus tahu diri, Le. Kamu cuma anak kampung yang beruntung. Tenagamu kuat dan kelihatan biasa bekerja. Kamu bisa bantu-bantu membersihkan seluruh area sanggar termasuk mempersiapkan pendapa ketika ada pertunjukan. Namun, perlu kauingat. Jangan coba-coba jatuh cinta kepada penari-penariku. Bercerminlah, apakah kamu cukup tampan bersanding dengan gadis-gadisku yang rupawan?”

Di usia yang belum genap empat belas ketika itu, aku hanya bisa tunduk mendengarkan. Jatuh cinta? Di kampung, aku hanya tahu itu berarti hajatan pernikahan. Didahului pemuda yang pulang merantau lalu melamar salah satu gadis di kampung kami.

Semua pemuda rata-rata pergi bekerja di kota setelah mereka akil balig. Kampung kami demikian tandus. Hanya jagung dan kedelai yang bisa dipanen setiap tiga bulan sekali. Alhasil, hanya para pemilik tanah, lelaki perempuan sepuh, ibu dan anak-anak yang tertinggal di kampung.

Aku berusaha memahami perkataan Bu Djiwo. Diriku tak tampan. Kulitku hitam legam karena sering di bawah sengatan matahari kala membantu Ibu di kebun jagung Pak Warta. Sebagai buruh, uang kami hanya bisa membeli beras dan lauk seadanya. Karenanya tubuhku juga tak tinggi akibat kekurangan gizi.

Bila becermin, aku bingung mengapa tak sedikit pun paras wajah Ibu turun kepadaku. Kata orang-orang, bapakku miskin dan buruk rupa. Mereka bingung mengapa Ibu memilih Bapak, bukannya menjadi istri keempat Pak Warta yang kaya raya.

Demi menuruti perintah Bu Djiwo, aku mengambil sikap menunduk bila rombongan bidadari mulai berdatangan. Yang kulihat hanya aneka corak batik lawas kecokelatan yang berujung telapak kaki putih mulus tanpa cela.

Ini benar seperti khayalanku. Kaki bidadari. Tak pernah kulihat perempuan di kampung dengan telapak kaki bernuansa putih susu. Terbayang selaput permukaan olahan kedelai menjadi tahu, pekerjaan tambahan ibuku.

Sayangnya aku lalai, kenakalan mata membuatku makin dijauhi. Bila dahulu mereka akan menghindar bila melihatku, kini sengaja menghampiri untuk mencerca.

“Dasar genit, ngapain liat-liat kaki kita mulu!”

“Gak tau diri, mbok sadar, lhooo. Muka kayak apa dulu, mau deketin kita-kita!”

“Jauh-jauh sana. Ngaca, Mas. Ngaca!”

Ucapan-ucapan itu awalnya menusuk gendang telinga. Namun, lambat laun cercaan itu bagai alunan cinta yang mereka perdengarkan. Aku merasa, hanya dengan cacian itu, sosokku yang selama ini antara ada dan tiada menjadi diperhatikan.

Tak terkecuali cercaan Ratri, perempuan indah pujaanku.

“Ngaca, Mas? Dikira aku mau? Jijik aku ngeliatmu! Dekil, koyok wedus ora adus. Cuihhh ….”

Kerlip bintang di matanya berganti petir ketika mencaci. Sepotong hatiku hangus tiap kali mendengarnya. Hinaan demi hinaan. Mulai rupa hingga asalku. Namun, cintaku kepadanya mampu menyejukkan luka setiap terbakar. Seperti candu pada cercaannya, aku malah menanti ia memaki.

Bu Djiwo menyaksikan tiap perundungan yang kian menjadi setiap hari, bulan dan tahun, tetapi membiarkannya. Di tahun ketiga, ia malah ambil bagian.

“Mulai hari ini kamu enggak boleh menampakkan diri saat latihan atau pertunjukan. Kamu kudu ngumpet. Pikir sendiri carane, rupamu koyok setan ireng, berani betul godain putri!”

Amarahku menggelegak. Semua hinaan itu memojokkanku ke sudut tergelap hati Rangga sebagai manusia. Kuputar otak untuk tetap bisa menikmati memandang bidadari, tanpa siapa pun menghalangi. Bagaimanapun caranya….

Doaku sebagai yang tersakiti, tak menunggu lama untuk dikabulkan. Kutemukan salah satu cermin di ruang latihan retak sebagian. Ketika kusapu ruangan, sengaja kutekan sedikit cermin itu hingga hancur berantakan. Beberapa pecahannya bahkan melukai kaki dan lenganku.

Runtuhnya cermin membuatku mengetahui rahasia. Ternyata di baliknya bukan tembok, melainkan rangka kayu gudang perlengkapan. Ide jahatku menyeruak. Aku akan sembunyi di situ tanpa diketahui.

Untuk mengganti cermin itu kuangsurkan sebagian gaji bulan kemarin kepada Bu Djiwo. Wajahnya semringah seketika.

“Rangga… bagus benar upayamu, Le. Lelaki kudu begitu. Tapi jangan mikir sakarepmu bisa ketemu para penari, ya. Kowe tetep kudu ngumpet, biar mereka gak keganggu. Ngerti, Le?”

Pujian sekaligus hinaan itu memelesatkan keinginanku memasang cermin baru. Cermin dua arah, di mana aku bisa melihat para penari dari sela rangka kayu gudang perlengkapan.

Hari-hari sesudahnya berangsur damai. Tak ada yang mencaciku, meski aku senantiasa menelanjangi raga mereka. Kunikmati keindahan satu per satu bidadari secara paripurna dari sisi cermin dalam gudang. Lebih-lebih ketika giliran Ratri menari. Napasku sampai tersengal-sengal menahan gejolak kelelakianku yang sarat.



Liukan tubuhnya sempurna. Lentik jari-jemari, serta tolehan kepalanya menggugah pikiran bawah sadarku. Kibasan sampurnya, gerak tangan nyempurit, ngiting, ukel, gerak kaki kenser, langkah kaki saat trisik mendorong sukmaku menjelajahi tubuhnya tanpa harus mendekat.

Tak bosan-bosannya kureguk keindahan walau biasa dicerca, tak bisa bertegur sapa. Berkali-kali adegan Ratri menari terbawa mimpi hingga membuatku terbangun karena pelepasan tak disengaja. Hatiku, ragaku telah terpikat kuat seperti mabuk rasa tanpa bisa kudefinisikan.

Semangatku bersih-bersih di sanggar kian melambung. Aku bangun lebih pagi, halaman bersih, dapur rapi, ubin licin, cermin berkilau. Bu Djiwo merasa senang, hingga jarang mencercaku lagi. Beberapa kali malah kutemukan sepotong getuk tela, pisang rebus, atau sebatang rokok diletakkan dekat gelas kopiku.

Andai saja ia tahu kelakuanku, bagaimana aku menikmati setiap jengkal tubuh mulus tanpa ada yang mencaci. Melihat bulir-bulir peluh mengalir membasahi wajah dan leher nan cantik, mengamati pejaman dan lirikan mata, menatap bibir tersenyum setengah terbuka, membuatku mencandui perintahnya untuk bersembunyi.

***

Aku terpaku melihat Ratri menyuruhku berhenti.

“Ja-jangan coba dekati aku. Lebih baik aku mati daripada ditolong olehmu. A-aku tahu betul, nanti kau berharap aku balas budi? Cih … enggak pernah sudi. Sana … Pergi, sanaaa!”

Melihat wajahnya memerah, napasnya mulai tersengal, tetapi mulutnya seperti ular-menyemburkan bisa-membuatku murka sekaligus sadar bahwa kecantikan paripurnanya hanya topeng pengelabuan hati yang buruk.

Aku maju selangkah lagi, Ratri makin histeris. Dilemparkannya botol minum dan segala benda di dekatnya ke arahku, yang berakibat menyenggol patahan balok yang masih menyala.



Kini kami terkurung api. Wajah Ratri makin pias, tenaganya hilang terkuras. Aku hanya bisa berdiri melihatnya, tanpa bisa mendekati atau membantu. Bahkan ketika kuulurkan tangan, ia bersedekap dan membuang muka.

Tatkala jilatan api mulai menyambar pakaian kami, kubayangkan menuntun tangan indahnya menemui Ibu di kampung. Untuk meyakinkan hatinya aku si buruk rupa juga pernah jatuh cinta.

 

Ivy Sudjana
Ibu dua anak kelahiran Jakarta. Saat ini mendampingi anak-anak bersekolah di Yogyakarta; setelah sebelumnya berkarier sebagai guru di Denpasar, Bali dari 1999. Suka membaca, menulis dan travelling.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya