SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Aku tinggal di gorong-gorong yang sebelumnya dihuni oleh kakekku, dan dulunya didiami oleh buyutku. Mereka semua maling, sama seperti aku, dan sebagaimana ibu, ayah, adik, tante dan pamanku, dan bisa diteruskan sepanjang yang kuingat.

Seandainya kelak aku beristri dan beranak pinak, niscaya anak-anakku menjadi maling juga nantinya. Dengan cara itulah kehidupan kami berlangsung.

Promosi BRI Kantor Cabang Sukoharjo Salurkan CSR Senilai Lebih dari Rp1 Miliar

Aku dilahirkan oleh pasangan maling. Ketika aku kecil, bila malam tiba, aku melesat ke utara, memasuki suatu pekarangan rumah incaranku. Seringkali pintu-pintu tertutup rapat, jendela terlipat, tapi aku tahu betul harus menerobos melalui mana.

Kendati bulan dan bintang tampak indah bergantungan di langit, namun aku suka kegelapan. Oleh sebab itu, aku suka memasuki lorong tanpa cahaya, sekalipun dialiri air keruh dan beraroma busuk. Di lorong itu, aku mengendap-endap; hanya dengus napasku yang terdengar, bahkan derap kakiku tidak.

Perjalananku di suatu lorong kerap berujung pada kamar mandi rumah incaranku. Ketika itulah aku mulai melancarkan aksi; menggasak segala yang dapat kugasak. Aku tak pernah peduli kepada korbanku, apakah seorang miskin atau kaya. Sepanjang mereka punya sesuatu yang menggoda, aku akan mencurinya. Semata-mata kulakukan itu untuk bertahan hidup.

Aku pernah mencuri di rumah seorang ulama. Malam itu, diam-diam aku merapat ke dinding kamar anaknya. Ternyata ulama itu sedang duduk di ranjang di bawah lampu putih menyala, tengah melancarkan nasihat kepada anaknya yang terbaring.

Katanya, “Berbaktilah kepada ibumu karena surga berada di telapak kakinya. Ingatlah pesan untuk mendahulukan ibu, ibu, ibu, setelah itu barulah ayah.”

Ada secercah sinar di raut muka ulama itu. Ada damai yang menular kepadaku saat memandangnya. Darinya, aku belajar menyayangi ibu. Maka ketika mengandung adik, aku sering berbagi hasil curian kepada ibu, tidur di sampingnya karena sedikit banyak, aku pun mengharap surga.

Itu harapan yang muskil, mengingat profesiku sebagai maling. Karena itu aku bertanya kepada ibu.

“Kenapa kita terus mencuri, Bu?”

“Itu telah menjadi garis nasib kita, Nak.”

“Tapi aku ingin masuk surga, Bu.”

“Mungkin kelak ada surga untuk kita, Nak. Bukankah Tuhan yang menyulam garis nasib kita?”

“Aku tak tahu, Bu. Tapi terkadang, aku ingin menjadi sesuatu yang lain. Tukang bangunan misalnya. Akan kubangun rumah megah untukmu, Ibu.”

“Itu mustahil, Nak. Tangan kita terlalu ringkih untuk mengangkat sekop, meramu semen dan pasir. Bermimpilah yang lain,” katanya.

Begitulah ibu. Ia terlalu pasrah kepada nasib.

Ketika beranjak dewasa, ayah mendidikku untuk beraksi di pagi, atau pun siang hari. Katanya, “Perut lapar tak kenal waktu!”

Itu betul. Aku kerap tersiksa karena lapar. Berulang-ulang perutku menyanyikan lagu-lagu pemberontakan, buru-buru minta diisi oleh si empunya. Sedangkan hasil colongan ayah dan ibu hanya cukup untuk perut mereka sendiri. Maka, aku mengikuti ayah di siang bolong, menerobos ke rumah yang aku tak tahu betul siapa penghuninya.

Saat itu matahari belum tinggi benar. Sinarnya nyaman memijat punggungku yang lebat berbulu. Yang kami tak tahu, ternyata seorang perempuan ketika kami muncul, sedang memandikan anaknya di kamar mandi. Mereka kaget. Kami pun tak kalah kaget. Mereka terbirit-birit ke kamar, menutup pintu rapat-rapat, menguncinya.

Detak jantungku melaju bagai kereta, membuat kakiku membeku. Dan ternyata ayah menghilang. Ke mana tua bangka itu, pikirku. Aku gemetaran karena seorang diri di rumah itu. Aku tak mau tertangkap, lantas digebuki dan merenggang nyawa. Tapi tak lama, ayah muncul lagi sambil gesit berlari di sudut di antara lantai dan dinding.

“Cepat pergi!” teriaknya. Ada kepanikan pada getar suaranya.

Raut muka ayah tampak ketakutan. Ia seketika lenyap. Lagi-lagi, aku kehilangan jejaknya. Lantas, derap langkah kaki mengusik kupingku. Seorang lelaki dewasa berwajah geram muncul dengan telanjang dada, mengenggam sebongkah kayu. Mataku membelalak seketika.

“Kurang ajar!” bentaknya, sambil mengayunkan kayu.

Sontak aku menghindar, kayu itu menghantam lantai di sampingku. Tanpa ba-bi-bu, aku melarikan diri, menghilang dari pandangan lelaki pemarah itu. Di suatu sudut yang gelap, ternyata ayah sedang menantiku.

Katanya, “Kamu terlalu gegabah!”

“Maafkan aku, Ayah!”

“Jangan meminta maaf kepadaku. Minta maaf kepada dirimu sendiri. Kalau tertangkap, kamu sendiri yang menanggung deritanya!”

Saat itu aku sadar bahwa kendati keluarga, aku harus mandiri dan tak boleh ceroboh. Sebab bila aku tertangkap, entah basah atau pun kering, ayah tak mungkin menyelamatkanku. Bukan berarti ia ayah yang buruk, tetapi seperti itulah dogma yang kami anut, yaitu jangan pernah kembali kepada yang tertinggal. Dogma itu telah diwariskan secara turun-temurun.

Kami bahkan tak mengenal tradisi penguburan. Bila ada yang mati, mustahil kami berduyun-duyun menuju tanah pemakaman, berderai air mata, merapal doa-doa di samping rimbun pohon kamboja sambil menatap batu nisan. Tak mungkin. Kami meninggalkan yang mati tanpa meratap lama-lama. Yang mati biarlah mati. Yang hidup harus terus berjuang. Kalimat kerennya, life must go on.

***

Setelah adikku lahir, ia tumbuh sebagai sosok yang keras kepala. Ia gemar membantah ayah ibu. Ia bahkan membantahku. Kelak, kematiannya ialah awal dari sebuah bencana karena ibu menghampiri jasadnya.

Kampung yang menjadi sasaran keluargaku dihuni oleh orang-orang beringas berdarah dingin. Mereka tak segan-segan menghancurkan keluargaku, mencabut nyawaku. Bahkan gorong-gorong tempat kami tinggal, pernah ditimbuni kayu-kayu, dibakar, dan mereka terbahak-bahak ketika api membumbung tinggi, asap gulung gemulung ke angkasa. Mereka tak tahu bahwa kami lolos. Betapa orang-orang itu sinting. Betul-betul sinting.

Suatu saat orang-orang itu di lapangan menggelar kerja bakti. Beragam makanan lezat tertata di meja di bawah pohon mangga. Dari kejauhan, adikku berkata, “Aku ngiler. Akan kucuri makanan itu!” Kupikir ia bercanda. Karena itu di sampingnya, aku terkekeh-kekeh. Tapi ternyata itu bukan suatu canda, karena adikku setelah itu nekat melesat untuk mencuri makanan lezat. Ia berlari cepat, merapat ke pohon mangga, dan seseorang melihatnya.



Sontak orang itu berteriak-teriak. Adikku dikeroyok. Tengkuknya dihantam oleh kayu. Tubuhnya yang kurus, kerdil diinjak-injak hingga darah muncrat dari mulutnya. Ia mati dengan lidah terjulur. Aku dari kejauhan hanya menganga-nganga dan membelalakkan mata.

Jalan di hadapanku ketika pulang ke rumah, tampak lebih panjang dan lebar ketimbang biasanya. Hawa dingin menyergap tengkukku, langkahku kian berat, seakan-akan sedang membopong batu kali.

Di hadapanku dan ayah, ibu menjerit-jerit tatkala kabar buruk itu hinggap ke telinganya, berguling-guling di tanah seraya meruntuhkan air mata.

“Kenapa kamu tidak mencegahnya?” tanya Ayah kepadaku. Aku hanya diam sambil menundukkan kepala. “Ia bahkan belum pernah kuajarkan beraksi di saat langit terang,” lanjutnya, sambil geleng-geleng. Ada sesal yang tersirat pada suaranya.

Sekonyong-konyong ibu bangkit dan menyambar. “Ia harus dimakamkan!”

Raut muka ayah berubah. Ia terkejut. Aku pun sama. Memakamkan adikku, apakah itu mungkin? Kataku dalam hati, sembari memicingkan mata ke ibu.

“Jangan mengada-ada,” kata ayah dengan suara datar.

“Aku serius. Ia anakku. Darah dagingku!” Teriakkan ibu terdengar parau. Tangannya gemetaran, mulutnya juga. Ia tak henti-henti tersedu-sedu.

Brak! Ayah menggebrak meja. “Itu melenceng dari tradisi!” Giliran ayah berteriak. “Kita bahkan tak mengenal prosesi pemakaman!”



“Kita bisa meniru cara mereka!”

“Maksudmu, cara orang-orang beringas itu? Sedari dulu, mereka memburu leluhur kita dengan senapan angin, sebongkah kayu, batu-batu, menjebak leluhur kita dan membenamkannya di air sabun! Dan sekarang kamu hendak meniru tradisi mereka? Itu penghinaan!” teriak ayah. “Kamu berkirim doa saja!”

“Kita bahkan tak tahu cara berdoa!” teriak ibu. Ia terus ngeyel. Tiba-tiba, “Plak!” Ibu terpelanting karena ayah menempelengnya.

“Cukup, hentikan omong kosongmu!” bentak ayah.

Ayah berbalik badan, lantas meninggalkanku dan ibu yang tersungkur di sudut gorong-gorong. Aku sedih melihat mereka bertikai. Aku sedih melihat ibu tersedu-sedu sepanjang waktu.

“Aku ambilkan air, Bu,” kataku. Ia tak menjawab. Saat aku kembali dengan membawa air, ibu lenyap.

Awalnya, aku berteriak pelan. Tapi tak ada yang menyahut. Tiba-tiba aku merasa dadaku bergoncang, kepalaku diliputi kecemasan. Mulailah aku kian kemari berlari mencari ibuku. Tapi ia seolah-olah ditelan bumi.

“Ada apa?” tanya ayah, yang muncul dari balik dinding gelap.

“Apakah ibu bersamamu, Ayah?”



“Tidak,” balasnya, dengan wajah terheran-heran.

Sial, pikirku. Tanpa ba-bi-bu, aku memutar badan, menyusuri gorong-gorong untuk mencapai jalan. Hari masih siang. Kulihat di luar, secercah sinar matahari tampak masih menerangi jalan-jalan kampung. Tiba di ujung gorong-gorong, aku melompat ke jalan dan terkejut kemudian karena ibu telah merapat pada pot tanaman yang tak jauh dari pohon mangga.

Orang-orang beramai-ramai duduk di bangku di bawah pohon mangga. Mereka terbahak-bahak sembari mengganyang makanan yang tersebar di meja. Kulihat jasad adikku masih tergeletak di tempat yang sama.

“Apa yang kamu lakukan?” teriakku kepada ibu.

Ia menoleh kepadaku, melambaikan tangan, dan tersenyum. Ia sepertinya berniat menyusul jasad adikku, menyeretnya, lantas memakamkannya.

“Jangan nekat, Ibu!” teriakku. Darahku mendidih, terutama saat ibu melempar cium jauh kepadaku. Apa artinya itu?

Ia lantas berlari ke arah orang-orang itu. Seseorang melihatnya. Sontak ia berteriak, “Ada tikus!”

Ibu dikeroyok. Ia dilempar batu, digebuk dengan sapu lidi, dicangkul hingga tubuhnya terbelah-belah. Mataku berlinang melihatnya. Tetapi aku mustahil meratap lama-lama. Maka, aku kembali melompat ke gorong-gorong. Dengan berat hati, aku berkata kepada diri sendiri: life must go on.

 



Baron Yudo Negoro
Penulis seorang buruh di Semarang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya