SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Apakah menelan sperma bisa menyebabkan hamil? Karmin tidak tahu pasti. Bisa jadi.

Apalagi pernah ada orang penting di Jakarta yang mengatakan kolam renang bisa menghamili perempuan. Ketika dulu berangkat ke Jakarta, istrinya sedang menstruasi. Karmin ingat betul hal itu. Namun, tiga bulan kemudian tiba-tiba Pariyem mengabarkan dirinya hamil.

Promosi Tanggap Bencana Banjir, BRI Peduli Beri Bantuan bagi Warga Terdampak di Demak

“Harus tes DNA!” kata temannya sesama tukang jahit di rumah konveksi milik orang Pekalongan itu ketika Karmin menyampaikan kerisauannya.

Temannya yang lulusan SMA itu lalu menjelaskan apa itu tes DNA. Walaupun mula-mula bingung, akhirnya Karmin agak bisa sedikit memahami. Salah satu yang ditangkapnya DNA mirip tanda tangan. Semua bayi ditandatangani bapaknya dan tidak dapat dipalsukan. Namun, bayinya harus lahir dulu.

Pemeriksaan tanda tangan itu tidak bisa dilakukan saat masih di dalam kandungan. Lalu, karena khawatir nanti bisa merusak tanda tangan entah milik siapa itu, selama istrinya hamil Karmin tidak mau menggaulinya meskipun sempat pulang kampung dua kali.

Ketika bayi itu lahir, Karmin masih di Jakarta. Bayi laki-laki berbobot empat kilogram itu diberi nama Kliwon oleh ibunya karena lahir pas pasaran Kliwon.

Ekspedisi Mudik 2024

Karmin baru pulang sebulan kemudian dan yang pertama kali dia omongkan ke Pariyem adalah soal tes DNA itu. Dia curiga istrinya telah selingkuh.

Pariyem berkulit putih mulus dan berwajah manis. Meskipun keringatnya agak bau, Karmin yakin para lelaki hidung belang tak akan menolak jika disodori tubuhnya. Apalagi di dunia ini tidak mungkin ada Siti Mariam lagi. Ibundanya Nabi Isa itu, lho. Kecuali sperma yang tertelan memang bisa menyebabkan istrinya hamil.

“Kliwon harus dites DNA-nya,” kata Karmin waktu itu.

Pariyem menoleh ke Karmin. “Kamu benar-benar tak percaya ini anakmu?” tanyanya.

Karmin menggeleng, lalu diliriknya bayi yang sedang asyik ngenyot puting susu ibunya itu. “Aku ingin dites DNA untuk membuktikan bapaknya bukan aku,” katanya.

“Sok-sokan!” gerundel Pariyem. “Mau niru artis?”

“Demi kebenaran, meniru juga tidak apa-apa.”

“Terus, kalau nanti terbukti Kliwon bukan anakmu, kamu mau apa?” tanya Pariyem ketus.

Karmin diam tak berkutik. Tak tahu jawabannya.

***

Begitu Covid-19 melanda, sang majikan konveksi mengurangi jumlah karyawannya. Karmin kena PHK, lalu pulang kampung, dan kerja serabutan. Kondisi ekonominya berantakan, istrinya tambah kurang ajar. Setiap ada persoalan, larinya selalu ke masalah keuangan.

Ujung-ujungnya membanding-bandingkan Karmin dengan orang lain. Bahkan dengan Pak Trimo, sang kepala desa yang memang sudah kaya sejak di perut ibunya itu.

Seorang istri boleh saja menegur suaminya jika memang salah. Begitu menurut Karmin. Tapi mbokyao jangan kasar-kasar. Bagaimanapun suami adalah kepala rumah tangga. Meskipun sedang nganggur, mestinya tetap dihormati, dan bukannya dimaki-maki. Apalagi rumah ini rumahnya, warisan orang tuanya, bukan harta gono-gini. Apa haknya main bentak-bentakan seperti serdadu kompeni?

Dia masih bisa mencintai istrinya asalkan kelakuannya masih dapat dimaafkan. Memaki-makinya tidak apa-apa dan masih bisa diampuni asalkan jangan setiap hari. Membentak-bentaknya juga masih bisa dimaafkan asalkan jangan di depan para tetangga.

Bisa jadi dirinya memang perlu dibentak agar sadar dari kesalahannya. Namun untuk perihal selingkuh, apalagi sampai membagi kelaminnya ke laki-laki lain, tak ada maaf bagimu. Umurnya masih empat puluh tahun. Rasa-rasanya tidak terlalu sulit mendapatkan perawan lagi.

Ketika Karmin masih di Jakarta, keinginan untuk memeriksakan DNA si Kliwon itu datang dan pergi sesuai suasana hatinya. Namun, setelah di rumah dan setiap hari mendapat dampratan istrinya serta menyaksikan bocah gemuk yang hidungnya selalu umbelen dan kulitnya sering kudisan itu terus-menerus membuat ulah, dorongan itu datang lagi, dan begitu kuatnya. Bahkan lebih kuat daripada amukan air bah.

Sudah lama benar Karmin menyimpan kejengkelannya terhadap Kliwon. Anak setan itu pernah memasukkan remote televisi ke dalam bak mandi hingga korsleting dan tak bisa dipakai lagi. Pernah juga mengencingi HP-nya. Untungnya cepat ketahuan dan si HP jadul itu pun terselamatkan.

Pernah pula sok kreatif dan inovatif. Menjadikan bungkus rokok itu sebagai perahu-perahunan. Memasukkannya ke ember yang berisi air. Tentu saja rokok itu hancur berantakan. Padahal itu rokok utangan dan baru diisapnya sebatang.

Dan yang paling membuatnya senewen ini, bocah empat tahun itu hampir selalu terbangun setiap kali dirinya ingin melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami.

Karmin sudah mengambil keputusan. Kalau nanti terbukti Kliwon bukan anaknya, Pariyem akan diceraikannya. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kesetiaan seorang istri harga mati. Buat apa kerja mati-matian demi istri yang hatinya sudah terbagi dan anak yang bisa jadi bukan anaknya itu?

Walaupun kabarnya biaya melakukan tes DNA mahal, dia akan mencari caranya. Kalau perlu mengiris ladangnya. Uang bisa dicari. Harga dirinya tak bisa dibeli.

Sore itu Pariyem pulang membawa Pak Trimo, sang kepala desa. Walaupun agak bingung, Karmin segera menemuinya di ruang tamu. Rupanya Pariyem sudah mengadukan perihal tes DNA itu kepada sang kepala desa.

“Tadi Dik, eh, Mbak Par sudah cerita semuanya ke saya,” ucap Pak Trimo lalu melirik Pariyem yang sedang tersipu-sipu.

“Kebetulan saya punya saudara dokter yang biasa melakukan tes DNA. Siapa tahu bisa membantu.”

Karmin tertegun. Dahinya berkerut, “Biayanya bagaimana, ya?” tanyanya.

“Soal biaya, Mas Karmin tak usah khawatir!” ucap Pak Trimo, lalu tertawa. “Nanti kita usahakan.”

“Alhamdulillah! Terima kasih banyak, Pak,” jawab Karmin, wajahnya tampak semringah. “Saya dan Kliwon harus ke rumah saudaranya Pak Kepala Desa itu atau..?”



“Tidak perlu, Mas Karmin,” sahut Pak Trimo, memotong ucapan Karmin. Diambilnya dua gelas plastik bekas air mineral dari dalam tas kerjanya lalu diletakkannya di atas meja.

“Bisa lewat air kencing, kok. Cara ini lebih murah. Tak perlu ke Amerika.”

“Air kencing siapa, Pak?” tanya Karmin agak kebingungan.

“Tentu saja air kencing Mas Karmin dan anak yang akan dites DNA-nya itu,” jawab Pak Trimo sambil tersenyum bijaksana.

Karmin melongo. Tak mengira semudah itu. Dikiranya harus lewat operasi atau semacamnya. Di saat Karmin sedang terbengong-bengong, Pariyem segera mengambil inisiatif.

Dua gelas plastik di atas meja itu diambilnya, ditariknya tangan Karmin ke kamar mandi, lalu jongkok di hadapan lakinya itu, dan segera memerosotkan celana kolor merah tanpa kancut itu. Seketika Karmin kaget.

“Hus, ngawur! Masih ada Pak Trimo itu, lho!” bentaknya.

Pariyem keluar dari kamar mandi sambil tersipu-sipu. Dia ke halaman. Dipanggilnya Kliwon yang sedang main mobil-mobilan dan menyuruhnya kencing saat itu juga.

Karmin dan Pariyem tiba hampir bebarengan di ruang depan dan sama-sama membawa air kencing. Pak Trimo menyuruh Pariyem menutup gelas plastik agar air kencing yang pesing itu tidak tumpah. Gegas, Pariyem melaksanakan perintah itu.



Diambilnya plastik bekas bungkus ikan asin dari dapur, menyobeknya menjadi dua bagian, menutup mulut gelas plastik itu, lalu mengikatnya dengan karet gelang.

Setelah urusan air kencing beres, PakTrimo pun pamitan. Gelas plastik berisi air kencing itu dia masukkan ke dalam tas kerjanya. Karmin dan Pariyem mengantar tamunya itu sampai halaman. Pak Trimo menoleh ke arah Karmin sebelum menjalankan motornya.

“Kalau nanti hasil uji laboratoriumnya sudah keluar, mungkin besok atau lusa, saya antar ke sini,” katanya.

“Terima kasih, Pak,” kata Karmin sambil membungkuk-bungkukkan badannya. “Maaf telah merepotkan.”

“Ah, tidak repot, kok. Biasa saja,” jawab Pak Trimo.

Setelah Pak Trimo hilang dari pandangan, Karmin masuk rumah, duduk di kursi, lalu merokok, dan membuang abunya ke lantai. Namun kali ini Pariyem diam saja. Dia justru segera ke dapur. Membuatkan kopi untuk suaminya dan itu yang pertama kalinya dalam bulan ini.

Pada saat yang sama, setelah berjarak satu kilometer dari rumah Karmin, Pak Trimo yang kabarnya tahun depan ingin mencalonkan lagi itu menghentikan sepeda motornya. Dirogohnya tas kerjanya. Dua gelas plastik berisi air kencing itu diambilnya, lalu dilemparkannya jauh-jauh ke tengah sawah seperti sedang membuang bangkai tikus.

Dua hari kemudian Pariyem memasuki rumah sambil berlari-lari. Tangannya memegang amplop. Didatanginya Karmin yang mau mandi.

“Dari Pak Trimo, Mas,” katanya.



Karmin membenahi handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya. Diterimanya amplop cokelat itu dengan perasaan ragu. Bahkan, tangannya terlihat sedikit gemetar.

Dia takut kecurigaannya terbukti. Kalau hasil tes DNA ini nantinya menyebutkan Kliwon bukan anaknya, berarti Pariyem memang pernah selingkuh dan akan diceraikannya.

Sesaat Karmin menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan-lahan dan hal itu diulangnya sampai tiga kali. Setelah itu, barulah amplop itu dibukanya. Hati-hati lembaran kertas berstempel itu dikeluarkannya, lalu dibacanya.

Bibir Karmin melebar, bahkan lebar sekali. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Tanpa membuang senyum di bibirnya, diangsurkannya lembaran kertas itu.

Pariyem menyambutnya dengan antusias, lalu gegas membacanya, dan sengaja mengeraskan suaranya, dan sengaja dipilihnya bagian yang ditebalkan saja:
“Dengan ini menerangkan bahwa Kliwon benar-benar anak Karmin.Tertanda dokter Setio Susilo.”

Seperti halnya Karmin, Pariyem pun tak kalah bahagianya. Sorot matanya tampak berkobar-kobar seperti api neraka.

Perumahan Andara, 25 Mei 2022
Dewanto Amin Sadono, tinggal di Pekalongan. Cerpen-cerpennya memenangkan beberapa lomba dan diterbitkan dalam beberapa kumpulan cerpen juara. Novel terbarunya Ikan-Ikan dan Kunang-Kunang di Kedung Mayit.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya