SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Siapa sangka, ranjang warisan kakek untuk Bapak yang diletakkan di kamar adikku bisa mengundang malapetaka. Kejadian ini telah berlalu lama; hari ketika kuota internet belum menjadi kebutuhan pokok, libur pergantian semester bisa sampai satu bulan utuh, dan profesi guru mulai digandrungi calon pelamar.

Hari yang basah itu, rasanya seperti baru kemarin. Malam yang gelap, lampu yang padam, dan kisah tentang kehilangan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Aku berani bilang; tidak peduli betapa modern seseorang, kepercayaan pada hal gaib akan tetap ia miliki. Kegaiban yang beraneka wujud dapat diproyeksi manusia pada berbagai nama. Ialah Tuhan, malaikat, demit, hingga segala jenis santet. Manusia terlalu tidak percaya diri hanya dengan mengandalkan dirinya sebagai makhluk kasatmata.

Kekuatan gaib nyaris selalu dianggap lebih ajaib. “Tangan lain” selalu dianggap lebih berhasil menangani permasalahan hidup dibanding kedua tangan manusia. Sekali lagi, tidak peduli betapa modern seseorang.

Ibuku hanya percaya pada tuhan ketika berusaha lolos ujian CPNS. Tentu saja, setelah gagal tujuh kali. Menjadi guru honorer di sekolah dasar selama tiga belas tahun dirasa cukup sebagai tirakat prihatin ibuku untuk merayu belas kasih tuhan.

Meski nyatanya, ibuku juga berpikir bahwa cara kerja modern tidak hanya tergantung pada keputusan tuhan, tetapi juga orang dalam. Entah melalui lobi dengan sekian dana sogokan maupun ikatan persaudaraan.

Tidak ketinggalan, sangat mungkin jalur mantra dan guna-guna juga digunakan. Upaya-upaya yang sama tidak transparannya dengan kegaiban garis nasib seseorang. Dan kisah ini adalah kisah di masa lampau; tentang Ibuku yang jujur, tetapi bernasib sial.

Harus kuakui, aku diberkati penglihatan yang tidak banyak dimiliki orang-orang. Mata batinku mampu menembus kenyataan yang tersembunyi di balik suatu kejadian. Seperti tengah malam kala itu. Adikku terbangun, ia merengek kesakitan sembari meremas perutnya. Ia sempat mampu berteriak hingga kami terbangun dibuatnya; aku, Ibu, dan Bapak.

“Ndhuk, kamu kenapa?” suara Ibu terdengar khawatir, sedangkan adikku tak mampu menjawab.

Adikku melingkarkan tubuhnya. Lama-lama ia menangis. Bapakku yang jadi modin sudah barang tentu pandai berdoa. Ibuku buru-buru mengantar botol berisi air hangat untuk menyeka perut adikku. Menyeka air hangat di bagian tubuh yang sakit, konon dapat mengurangi atau bahkan ampuh menghilangkan rasa sakit. Sembari itu, Bapak berdoa semampunya.

Kami sama-sama tidak tahu seberasa sakit yang dirasakan adikku. Ia cuma mampu menggeleng saat kami bermaksud mengantarnya ke rumah pak mantri.

Aku pun yakin, ia sendiri tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi. Lain dariku, ia belum pernah kesakitan seperti itu. Ia juga nyaris tidak pernah sakit kecuali hanya bersin-bersin karena alergi asap pabrik pengecoran logam.

Bapak mengulurkan tangan ke perut adikku sembari merapal doa. Tak disangka, Bapak terpental, tangan Bapak terasa seperti terbakar.

Kami bersipandang, terkejut dengan kejadian. Sedangkan adikku meringis kesakitan. Karena kebingungan dan kehabisan akal, kami bersiap diri untuk menggotong adikku ke rumah pak mantri.

Ada yang janggal. Tiba-tiba sakit itu hilang. Adikku yang semula sampai meronta, tiba-tiba melamun kosong sampai beberapa detik hingga ia mulai bisa bicara, “Perutku tidak sakit lagi.”

Kami terbengong melihat reaksinya. Ibu segera meraih teh panas dan menyuapkan ke adikku. Malam yang mengkhawatirkan itu berakhir.

Adikku tiba-tiba kesakitan, tiba-tiba pula sakitnya menghilang. Kami mulai kembali tidur. Kecuali Bapak. Tampaknya Bapak masih terlalu khawatir dan merasa ada yang tidak beres. Ibuku memaksa mata terpejam sebab esok hari harus mengajar.

Beberapa waktu lalu, Ibuku sudah bukan lagi guru honorer. Pengumuman hasil tes CPNS membuat keluarga kami euphoria sebelum kejadian malam itu, ketika adikku tiba-tiba diserang sakit yang sama-sama belum kami tahu penyebabnya.

Pagi harinya, Bapak mengantar adikku ke pak mantri. Adikku mengaku tidak makan sembarangan, ia tidak keracunan, ia bahkan tidak pernah terlambat makan karena orang tua kami selalu protektif perihal asupan makanan.

Pak mantri menekan-nekan beberapa titik bagian perut. Ekspresi adikku datar, ia tidak merasa ada yang sakit.

“Semuanya baik. Tidak ada masalah,” kata pak mantri yang membuat adik dan bapakku keheranan. Memang, sejak kejadian semalam sampai pagi itu, serangan sakit tidak terjadi lagi. Akhirnya, adikku hanya diberi vitamin dan antibiotik oleh pak mantri.

Hari itu Bapak izin kerja untuk menemani adikku yang rupanya sudah baik-baik saja, berpuasa sunah, dan lebih banyak berdoa. Sampai tengah malam, kejadian seperti sebelumnya kembali terulang. Adikku kembali kesakitan. Situasi rumah kembali kebingungan.

Tiba-tiba, ponsel Bapak berdering. Sebuah panggilan dari sepupuku, keponakan Ibu. Sesuatu pasti terjadi sebab tidak mungkin selarut itu sepupuku menelepon sekadar demi bertanya kabar kami.

Ibu bercerita keadaan kami, adikku yang dua malam kesakitan di jam yang sama, di suasana yang sama; gerimis dan berangin.

“Ada yang mengganggu Sekar, Bulik. Kiriman dari arah barat.”

Santet! Pasti santet, pikirku. Seperti yang kubilang, aku bisa mengetahui sesuatu yang orang lain tidak tahu. Bakat ini persis seperti yang dimiliki sepupuku karena kami keturunan dari seorang kakek yang sama, kakek kami yang juga memiliki kemampuan serupa.

Namun, alih-alih berkat, bakat ini lebih sering membuatku sekarat. Aku terlalu sering menangis ketakutan, kesakitan, hingga bolak-balik rumah sakit karena mata batinku yang terbuka membuatku mampu melihat sosok mengerikan.

Ibu dan bapakku yang iba membawaku ke orang pintar. Mata batinku ditutup. Meski begitu, aku masih mampu mendeteksi hal-hal tak kasatmata. Hanya, tidak sejelas dan semengerikan sebelum mata batinku ditutup.

Malam itu, kami memutuskan untuk tidak lagi membawa adikku ke pak mantri. Ini bukan sesuatu yang bisa ditangani tenaga medis.

***

Kami terkesiap. Suara bohlam yang sepertinya putus mengejutkan kami yang tengah berkumpul sembari menonton TV. Bapak lekas menggambil bohlam dan mengganti yang baru sebelum malam menjelang.

“Apa ini?” wajah Bapak keheranan memandangi bohlam. Aku segera mendekat lantaran penasaran. Kami berdua kehilangan kata-kata.

Aneh sekali. Bagaimana mungkin bunga kantil bisa ada di dalam bohlam? Tapi ini sungguh terjadi; teror yang membuat bulu kuduk kami merinding di sela-sela kekhawatiran pada adikku. Tangan jahil siapa yang bermain-main dengan keluarga kami.



Kedatangan sepupuku memecah aura mistis sore itu. Oh bukan, ia justru datang untuk mempertegas suasana. Bapak lekas menunjukkan bohlam yang membuat kami kehabisan kata-kata untuk sekadar memaki.

“Kiriman lagi,” sepupuku sontak tahu.

“Siapa yang jahat begini?” Ibu sudah sangat penasaran dengan kejahatan kriminal yang polisi pun akan kesulitan untuk mengusut.

“Ada yang iri karena Bulik lolos tes tanpa sogokan,” sepupuku menjelaskan.

“Siapa dia? Tega sekali sampai sejauh ini!” Ibu mulai naik darah.

“Dia yang mengajak menyogok, tapi Bulik tolak. Dia yang kena tipu. Dia yang gagal lolos,” sepupuku menerangkan.

“Darsih, temanku?” suara Ibu bergetar, napasnya tidak stabil.

“Ya.”

Ibu bergeming, merasa tidak percaya. Setahuku, Bulik Darsih adalah teman baik Ibu sejak menimba ilmu di SPG, Sekolah Pendidikan Guru. Bagaimana bisa?



Betapa perasaan iri dan serakah mampu mengubah seorang baik seperti Bulik Darsih. Sebegitu sulitkah menerima keberhasilan teman karib sampai harus mengirim tenung? Mengapa manusia begitu bergantung pada mata pencaharian yang dianggap mapan oleh masyarakat?

“Mulai sekarang, ranjang kasur jangan dipakai lagi,” sepupuku melanjutkan.

“Memang kenapa?” Bapak penasaran.

“Ia merambat di kolong ranjang, tepat di bawah Sekar,” jawaban sepupuku membuat kami terbelalak. Begitu rupanya.

“Tadi malam Sekar kambuh lagi. Saat aku baca doa sambil kutaruh tangan di perut Sekar, rasanya seperti terbakar,” Bapak menjelaskan situasi.

“Rasa terbakar yang Paklik rasakan belum ada apa-apanya dibanding yang dirasakan Sekar,” sepupuku memandangi Sekar. Tergurat ekspresi kasihan. Air muka Ibu bertambah miris.

Berkali-kali Ibu mengelus rambut Sekar yang meski sore itu tampak tidak menderita, tetapi Ibu tahu bahwa anak bungsunya telah sangat kesakitan pada dua malam terakhir.

“Ranjang lekas dibongkar saja, Paklik. Nanti sehabis Isya, biar saya tangani.”

***



Belakangan, orang mulai akrab dengan istilah ASN daripada jabatan PNS seperti ibuku. Program pemerintah berganti seiring waktu, seiring takhta siapa yang berkuasa. Namun, siapa sangka, ada kisah yang dialami sebuah keluarga ketika pemerintah menggalakkan program kesejahteraan guru.

Malam yang gelap kala itu tidak hujan. Kami berkumpul di ruang tengah. Lampu-lampu sengaja dipadamkan, kecuali bohlam bercahaya oranye tepat di atas adikku merebah. Pintu-pintu sengaja ditutup, kecuali satu pintu selurus dengan posisi adikku merebah.

Ritual malam itu dimulai. Sepupuku mulai memejam mata.

Aku bisa merasakan energi yang besar mengalir di sela-sela udara, embusan napas, denging nyamuk yang beterbangan lalu hinggap dan mulai menyesap.

Aku bisa merasakan bahasa batin, percakapan gaib, dan serangan yang sengit. Lampu berkedip-kedip membuat hati kami menciut dan takut. Bapak diam. Aku yakin, batinnya sedang merapal doa.

Demikian pula ibuku yang tidak hanya dikhianati, tetapi juga disakiti. Aku pun bisa merasakan adikku yang kosong, jiwanya yang terasa kering.

Menit berlalu dan aku melihat sepupuku ambruk, sedang adikku kejang. Ada apa? Kami bertiga ketakutan.

Kakiku yang tiba-tiba kaku nyaris berhasil berdiri sebelum sesuatu terasa menabrak tubuhku. Aku kembali terduduk. Bayangan hitam yang terpantul cahaya oranye itu tertangkap olehku. Mataku menyelidik. Itu bukan hanya bayangan! Aku bisa melihat tubuh berjubah hitam keluar lewat pintu.

Teriakan Ibu mengejutkanku. Suasana terasa sesak. Ibu mulai meraung-raung. Tubuh Bapak tampak lemas, sedang sepupuku mulai bangkit. Aku bergegas menyalakan lampu.



Ketika seseorang mencabut akar, sebuah pohon rawan mati. Hama di tubuh adikku telah menjalar sampai ke jantung. Memang benar, hama itu telah terusir, tetapi ia terlanjur memakan jiwa.

Pembunuhan semacam itu, kepada siapa kami bahkan bisa melapor? Malam yang banjir air mata kala itu terasa seperti akhir, sedangkan bekas lukanya kami bawa sepanjang waktu.

Klaten, 12 Maret 2022

Imamah Fikriyati Azizah
Tinggal di Klaten. Pengelola Rumah Baca Pustaka Lebah di Ngawonggo, Klaten.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya