SOLOPOS.COM - Angkringan pikulan menjadi salah satu koleksi Museum Sejarah Angkringan di Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Klaten. Foto diambil Rabu (3/11/2021). (Solopos.com/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN – Cikal bakal warung hik atau dikenal dengan nama angkringan sudah ada sejak era sebelum kemerdekaan. Orang-orang di Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Klaten diyakini sebagai pencetus warung yang kini merambah ke berbagai daerah di Indonesia tersebut.

Dari generasi ke generasi, warga Ngerangan aktif berjualan angkringan yang mulai dirintis sejak 1930-an. Tak hanya di Pulau Jawa, persebaran warga Ngerangan membuka usaha angkringan hingga ke luar Jawa.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Wakiman Warno Suwito, 75, menjadi salah satu saksi hidup perjalanan angkringan. Pada 1970, Warno ikut berjualan hik atau angkringan ke Kota Solo mengikuti jejak Karso Djukut, warga di kampungnya Dukuh Sawit yang disebut-sebut menjadi pioner merintis usaha yang kini dikenal dengan nama hik atau angkringan.

Baca Juga: Swadaya, Warga Ngerangan Klaten Dirikan Museum Sejarah Angkringan

Saat awal berjualan, Warno masih mengalami cara berjualan dengan cara dipikul. Pada kotak pikulan bagian depan digunakan untuk menaruh barang dagangan salah satunya nasi kucing serta perkakas. Pada pikulan bagian belakang digunakan untuk membawa cerek wadah minuman.

Warno mulai berjualan dari pukul 17.30 WIB hingga pukul 01.00 WIB dengan berjalan kaki sejauh 4 km mengelilingi wilayah di Kota Solo seperti Sondakan, Premulung, Sriwaru, Pasar Jongke, dari titik semula di Kerten, Laweyan. Konsumennya adalah buruh tempat produksi batik.

Lantaran jalan belum beraspal, Warno dan penjaja angkringan lainnya memilih bertelanjang kaki alias nyeker agar tak mudah terpeleset. Teplok menjadi penerang selama perjalanan.

Baca Juga: Ngerangan dan Sejarah Cikal Bakal Warung Hik atau Angkringan

Di sepanjang perjalanan, Warno dan pedagang lainnya kerap menyerukan kata-kata untuk mengundang konsumen berdatangan. “Lho gelo, hiiikk…turrr!!! anget-anget,” kenang Warno saat ditemui Solopos.com di rumahnya Dukuh Sawit, Desa Ngerangan, Rabu (3/11/2021).

Kalimat itu pula lah yang kemudian menjadi ciri khas sekaligus menjadikan usaha tersebut dikenal warga Kota Solo saat itu dengan nama hik.

Selama di Kota Solo, Warno bersama 20-an warga Ngerangan lainnya yang merantau berjualan hik atau angkringan menginap di tempat yang disediakan oleh Karso Djukut. Tempat menginap itu berupa bekas kandang kerbau.

Baca Juga: 6 Pelaku Curanmor di Klaten Diringkus, 1 Tersangka Masih di Bawah Umur

“Saat masih mikul itu ada sekitar 27-28 orang. Menginapnya di bekas kandang kerbau. Jadi kami tidur di bawah peneduh, sementara pikulan ada di depannya,” jelas Warno.

Warno lantas pindah jualan ke Kota Jogja pada 1982. Saat itu, hik atau angkringan tak lagi dijajakan dengan cara dipikul melainkan dengan didorong menggunakan gerobak. Seiring perkembangan, hik atau angkringan dijajakan menggunakan gerobak yang menetap di satu lokasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya