SOLOPOS.COM - Joko Priyono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Kalau Anda pernah membaca sebuah kumpulan cerita garapan penulis Italo Calvino yang berjudul Adam, One Afternoon, mungkin akan terpukau. Buku ini dipublikasikan kali pertama pada 1957. Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Divapress pada 2020.

Cerita demi cerita terkemas menarik. Calvino mewarnai aneka babak cerita dengan pengetahuan tentang flora, fauna, dan lingkungan sekitar. Cerita itu menegaskan bahwa fiksi mampu menjadi sarana yang mangkus dan sangkil terhadap publik dalam memijah ilmu pengetahuan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Hal penting yang menjadi daya tawar itu berupa pemerian narasi cerita dengan menggunakan hal ihwal alam sekitar. Artinya, pembaca diajak paham bahwa banyak kisah ilmu pengetahuan di sekitarnya. Buku itu kemudian membawa kita bertanya bagaimana realitas penyampaian ilmu pengetahuan di Indonesia?

Sampai abad XXI, kita terkadang masih menjumpai anggapan yang pernah dikemukakan oleh fisikawan dan novelis C.P. Snow (1959) tentang terkutubnya sains dan kebudayaan sebagai dua hal yang berseberangan.

Masalah yang masih menggejala itu perlu tilikan secara mendalam. Kajian perlu itu di tingkat pendidikan di rumah maupun di lembaga pendidikan formal. Perlu mendudukkan kembali keterkaitan antara sains dan kebudayaan.

Kewarganegaraan

Penting kiranya menilik pernyataan seorang ahli astronomi dan filsuf perempuan, Karlina Supelli. Pada momentum Diversity Award 2016, ia menyampaikan ceramah ilmiah dengan judul Bertindak Masuk Akal.

Pada kesempatan itu, ia mengungkapkan perlunya visi pendidikan kita dikonstruksi ulang dengan pengarusutamaan implikasi etis keilmuan. Itu berhubungan dengan bagaimana tiap individu berani menyangsikan kebenaran objektif dalam realitasnya.

Menurut Karlina Supelli, pelajaran kewarganegaraan tak terlepas dari pelajaran fisika, pelajaran matematika, pelajaran biologi, pelajaran sastra, dan sebagainya. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa dalam memahami keberadaan diri sebagai warga negara, seiring perkembangan zaman, perlu menaruh perhatian untuk dalam memahami proses ilmiah.

Tak lain itu adalah kritik mendasar bahwa terkadang kehidupan dalam berwarganegara dipenuhi dengan hal yang tak masuk akal. Dahulu pernah ada masa ketika perkara sains dan teknologi mendekam di rumah saat upaya besar-besaran penyediaan ensiklopedi, buku pengasuhan anak, hingga cerita dengan berdasarkan flora maupun fauna.

Para keluarga diajak bergairah untuk mengoleksi daftar bacaan di rak perpustakaan mereka. Kalau dibandingkan dengan zaman kini, mungkin harus dikatakan tentang kenyataan berbeda. Perkembangan teknologi digital setidaknya mengisahkan satu hal yang mesti diterima,

Hal itu adalah kecepatan akses informasi dan pengetahuan terkadang tak seimbang dengan kemampuan bernalar ilmiah pada diri manusia. Alih-alih teknologi digital itu mengidealkan situasi bernalar, yang terjadi malah sebaliknya.

Kita masih disibukkan dengan kehidupan serba tak bernalar. Teknologi digital kini terlampau panjang menjalar, sementara manusia hanya menjadikannya sebagai obat pelipur lara. Dalam kebudayaan yang akan terjadi mungkin sebilah keris hanya akan ternarasikan dengan hal-hal yang berbau mistis.

Keris tak ditinjau dari aktivitas sains di baliknya, seperti struktur logam yang digunakan atau teknik penyepuhan. Mungkin jamu akan selalu dicap sebagai minuman tradisional, padahal secara tidak langsung para penyaji punya keahlian dalam bidang kimia—menentukan, mengolah, dan mengombinasikan bahan-bahan berkhasiat bagi tubuh.

Etnosains dan Pendidikan

Salah satu studi penting dalam menjembatani sains dan kebudayaan adalah etnosains. Metode itu tidak lain merupakan langkah atau cara mengelaborasi pembelajaran keilmuan sains kealaman dengan kebudayaan di lingkungan sekitarnya.

Kebudayaan yang dimaksud bisa berwujud aplikasi dari konsep ilmu yang teralami pada peristiwa sehari-hari. Membangun sains melalui etnosains memungkinkan peserta didik memperlihatkan kedalaman pemikiran, penjiwaan terhadap konsep atau prinsip yang dipelajari, serta imajinasi kreatif dalam mengekspresikan pemahaman (Woro Sumarni, 2018).

Etnosains kemudian dapat kita pahami sebagai jalan tengah menjembatani kesulitan yang muncul dalam pengajaran. Penggunaan narasi di lingkungan sekitar yang tak dialami peserta didik tentu sangat menyulitkan. Dengan demikian, kebudayaan tak hanya diberi makna yang sempit seperti seni pertunjukan maupun pameran saja.

Kebudayaan sengguhnya sangat luas. Sains perlu melibatkan sisi ilmiah peristiwa-peristiwa kebudayaan sehari-hari sebagai konsep menarik ke telinga para peserta didik. Itu kemudian menegaskan bahwa peristiwa kebudayaan yang setiap hari dilakukan dan dirasakan ternyata hal ilmiah yang membangkitkan ketakjuban.

Di dunia ini tidak serta-merta semuanya perlu dirasionalkan maupun diilmiahkan dengan sains. Sains juga memiliki titik perbatasan. Selama suatu hal memancing untuk ditelusuri secara ilmiah tidak ada salahnya.

Justru ketika lahir hipotesis maupun pembuktian yang membuat kita sadar pentingnya ilmu pengetahuan sebagai sarana dalam membuka tabir kehidupan—yang mungkin sebelumnya kita hanya yakin berdasarkan ”konon” dan ”katanya”.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 September 2022. Penulis adalah fisikawan partikelir dan penulis buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya