SOLOPOS.COM - Patung sosok Mangkunegoro VI di Kompleks Astana Oetara, Nusukan, Banjarsari, Solo, Minggu (13/2/2022) siang. (Solopos/Kurniawan)

HUT hari jadi kota solo ke-277

Solopos.com, SOLO — KGPAA Mangkunagoro VI mewarisi takhta Kadipaten Mangkunegaran Solo yang tengah dalam ancaman kebangkrutan pada 1896. Kendati demikian, Mangkunagoro VI yang bernama asli GRM Suyitno mampu membawa kadipaten itu bangkit dengan berbagai kebijakannya di bidang ekonomi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Lahir pada 13 Maret 1857, GRM Suyitno dinobatkan menjadi KGPAA Mangkunagoro VI pada 21 November 1896. Ia menggantikan kakaknya, KGPAA Mangkunegoro V, yang wafat karena sakit pada 2 Oktober 1896

Website resmi Pura Mangkunegaran Solo, puromangkunegaran.com dalam artikel tentang Mangkunagoro VI menuliskan saat itu kondisi keuangan Mangkunegaran sedang jatuh akibat kesalahan dalam pengelolaan bisnisnya. Ditambah lagi, gula sebagai salah satu komoditas utama Mangkunegaran harganya di pasaran dunia juga jatuh.

Baca Juga: Mangkunagoro VI, Sosok Pembaharu yang Dekat dengan Warga Tionghoa

Parahnya lagi, Mangkunegaran terjerat utang kepada kerajaan Belanda. Namun, Mangkunagoro VI berhasil membalikkan situasi. Pura Mangkunegaran yang tadinya terbelenggu utang berbalik menjadi surplus pendapatan.

mangkunagoro VI solo mangkunegaran
KGPAA Mangkunagoro VI. (puromangkunegaran.com)

Keberhasilan itu tak lepas dari manajemen dan kebijakan perekonomian yang dibuat oleh penguasa tersebut. Terhitung mulai 1 Juni 1899, semua kepengurusan perusahaan-perusahaan Mangkunegaran Solo di bawah kendali langsung Mangkunagoro VI.

Ia memisahkan antara keuangan perusahaan dan keuangan kerajaan. Keberhasilan memulihkan perekonomian dan keuangan salah satunya dengan menjalankan prinsip-prinsip manajemen Jawa yang diajarkan ayahnya, Mangkunagoro IV, yaitu keteraturan dalam hidup, keteraturan berusaha, dan keteraturan dalam bekerja.

Baca Juga: Napak Tilas MN VI: Radya Pustaka Solo, Thiong Ting, dan Astana Oetara

Model Dana Cadangan

Mangkunagoro VI menggunakan sistem keuangan dengan model dana cadangan atau tabungan untuk masa depan kadipaten. Saat turun takhta pada 1916, Mangkunagoro VI meninggalkan tabungan 10 juta gulden untuk Mangkunegaran Solo.

Mangkunagoro VI juga membangun kembali kekuatan Legiun Mangkunegaran dengan pendanaan yang memadai sehingga kekuatan korps menjadi kuat kembali. Ia menyediakan Nayu sebagai tempat latihan bagi Legiun Mangkunegaran.

Kisah keberhasilan Mangkunagoro VI mengangkat Mangkunegaran dari kebangkrutan juga diceritakan dalam buku Mangkunegoro VI Sang Reformis yang dibikin tim penulis dari History Inc. Dalam buku biografi yang terbit pada November 2021 lalu itu dituliskan Mangkunagoro VI merupakan sosok yang modern dan berpikiran terbuka.

Baca Juga: Keunikan Astana Oetara Solo, Lokasi Makam MN VI yang Didesain Soekarno

Mangkunagoro VI juga tetap mempraktikkan nilai-nilai kebijaksanaan luhur dan agung yang ia emban dari adipati pendahulunya. Ia mereformasi protokol kerajaan yang rumit dan berbelit-belit yang dianggapnya tidak lagi sesuai dengan kemajuan zaman.

Dalam upaya membangkitkan Mangkunegaran Solo dari ancaman kebangkrutan, Mangkunagoro VI membuat sejumlah gebrakan, di antaranya:

1. Dalam bidang ekonomi yakni mengencangkan ikat pinggang, memangkas biaya yang tidak perlu, mengoptimalikan industri agro, pabrik dan lahan-lahan milik Kadipaten. Selain itu juga melakukan perbaikan dan pembangunan infrastruktur dan membuka pasar perdagangan dengan masyarakat Tionghoa.

2. Dalam bidang sosial kemasyarakatan yakni memperhatikan pentingnya pendidikan dengan mendirikan sekolah dengan kurikulum Eropa dan sekolah khusus perempuan. MN VI mempraktikkan kebebasan untuk memeluk agama bahkan di wilayah kedaton dan menyederhanakan adat dan tradisi yang bertele-tele.

Baca Juga: Tak Hanya Pendopo Terbesar, Pura Mangkunegaran Punya Perpus Tertua

Menyederhanakan Birokrasi

3. Menyederhanakan protokol istana dan birokrasi yang ruwet di Praja Mangkunegaran, di antaranya membubarkan badan-badan yang tidak efektif, mengangkat pejabatnya berdasarkan merit-system, termasuk melakukan reorganisasi di Legiun Mangkunegaran dan Kepolisian, dan lainnya.

Dengan berbagai kebijakan itu, Mangkunagoro VI berhasil mengatasi krisis keuangan sebelum akhirnya mengundurkan diri sebagai adipati Mangkunegaran Solo pada 11 Januari 1916. Ia kemudian membawa keluarganya ke Surabaya pada 14 Januari 1916.

Mereka menempuh perjalanan menggunakan kereta api dan melanjutkan hidup sebagai entrepreneur. Pindah ke Surabaya juga bagian dalam perjuangan melawan kolonialisme dengan cara keluar dari lingkaran feodal. Ia mendukung perjuangan anaknya, Suyono, yang saat itu terlibat dalam berbagai pergerakan nasional

Baca Juga: Pendopo Pura Mangkunegaran Solo Terbesar di Indonesia, Segini Ukurannya

Suyitno wafat pada 25 Juni 1928 di usia 71 tahun, beberapa pekan setelah melakukan operasi di Darmo Ziekenhuis (kini RS Darmo Surabaya). Jenazahnya diberangkatkan menuju Solo dan disemayamkan di Rumah Duka Thiong Ting lalu dibawa Pasarean Astana Oetara di Desa Manayu (Nayu), Nusukan, Banjarsari, Solo.

Suyitno memiliki dua orang anak yakni seorang putra bernama BRM Suyono Handayaningrat dan seorang putri bernama BRAy Soewasti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya