SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo Tempo Doeloe

Heri Priyatmoko, Kolumnis Solo Tempo Doeloe

Jangan meremehkan sebuah jalan. Berani sumpah, dari sepenggal jalan itulah segala aktivitas dimulai. Dan, dari situ juga kita dapat menonton geliatnya kehidupan. Lewat jalan itu pulalah manusia mengalami kota yang sejati, menghirup hawanya, mengarungi relung, rongga dan lorong-lorongnya. Jalan menjadi sumber inspirasi bagi pemakainya, karena berpeluang menawarkan perlawanan puitis terhadap ruang paksaan yang lekat oleh hegemoni kekuasaan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tanpa melihat jalan, saya yakin sastrawan kelahiran Solo, Sapardi Djoko Damono tidak akan menelurkan sajak apik dengan beberapa larik bait: Jalan tidak pernah berdusta/apakah ia harus membujur ke selatan atau utara/apakah ia harus berkelok atau lurus saja/apakah ia siap menerimamu/berjalan menyusurinya.

Menarik bahwa belum lama ini SOLOPOS beberapa kali menurunkan berita ihwal jalan utama di Kota Solo yang hendak diusulkan masuk daftar cagar budaya (DCB), yaitu jalan dr Radjiman. Sepotong jalan yang membentang dari Pasar Klewer sampai kampung batik Laweyan tersebut diamini sebagai cikal bakal lahirnya Kota Bengawan dalam konteks periode kerajaan.

Memang, di dalan, lurung, ratan, ataupun margi ageng yang berukuran kurang lebih 10 kilometer ini menyimpan riwayat historis perpindahan ibukota kerajaan dari Kartasura ke Desa Sala yang digelar begitu semarak. Bermula pada 17 Februari 1745. Dalam iring-iringan boyong kedhaton, semua abdi dalem istana Kartasura turut menyertainya. Rombongan langsung dipimpin Paku Buwana II dengan nitih (naik) Kereta Kyai Garuda bersama permaisuri. Suasana makin ramai dengan kehadiran para bupati pesisir dan lima unit pasukan kompeni di bawah kendali Mayor van Hohendorff yang menunggang kuda. Selama perjalanan, niyaga ditugasi menabuh gamelan agar situasi boyongan bertambah regeng.

Selepas Sinuhun bersama pengikutnya sampai di daerah tujuan, beliau bersabda bahwa “mulai hari ini aku menyatakan untuk mengubah nama dan status Desa Sala menjadi ibukota kerajaan dengan nama Surakarta Hadiningrat”. Sebuah titah yang tak terbantah.

Jalan merupakan ruang strategis yang dimanfaatkan raja untuk memproduksi simbol kekuasaan yang abstrak. Seperti halnya jalan dr Radjiman tempo doeloe. Jalan tersebut dipahami sebagai poros pemujaan terhadap Gunung Merapi yang ditafsirkan sebagai arah kiblat. Pilihan jatuh bukan malah kepada Gunung Lawu yang sohor dengan pertapaan Pringgodani dan bercokolnya Candi Sukuh-Cetho. Terasa wajar bila keangkeran Merapi menjadi alasan utama mengapa keluarga pewaris kerajaan Mataram Islam memilih gunung yang baru saja memutahkan laharnya itu. Kala itu orang percaya, bahkan hingga sekarang, Sultan Muhadi merupakan raja lelembut yang membawahi Merapi, dengan dibantu Kyai Simbar Data, Kyai Sapuangin, Kyai Sapu Jagad, dan Kyai Rajakwesi. Dalam folklor, mereka dianggap sebagai penjaga ketentraman tanah Jawa.

 

Jalan Slamet Riyadi

 

Jalan yang melintasi pertokoan Coyudan tersebut secara profan sekalipun “terpaksa” semestinya diingat oleh sebagian besar wong Solo sebagai identitas dan dasar peletak sejarah Surakarta. Pasalnya, sampai detik ini masih tercatat sebagai jalan yang terpadat, selain jalan Slamet Riyadi tentunya. Namun sayang, poros yang seharusnya menempel ke dalam mental map penduduk kota ini terlanjur tergerus usai adanya pergeseran orientasi pembangunan kota, yakni bermula dari munculnya Jalan Slamet Riyadi yang notabene adalah sungai yang diurug. Dalam kaitan ini, toewan kulit putih dituding sebagai biang keladi. Kutho raja yang berkonsentrasi di njero beteng Baluwarti digeser menjadi kutho kolonial yang berpusat di Benteng Vastenburg. Mega proyek morfologi kota kolonial menuai sukses. Pasalnya, kota menawarkan berbagai fasilitas modern yang bersifat fungsional praktis, tidak irasional simbolis macam bangunan di kompleks keraton.

Kemudian, jalan yang dulu bernama Poerwosariweg itu dibangun guna memperlancar komunikasi politik dengan junjungan tuan residen yang berada di Semarang dan juga digunakan latihan baris-berbaris prajurit pribumi berseragam Eropa Legiun Mangkunegaran yang berdiri pada permulaan abad XIX. Pelan tapi pasti, simpul ekonomi mengalami pelebaran. Awalnya, jantung kegiatan ekonomi berdetak di bibir jalan dr Radjiman dan Pasar Gedhe, lalu beralih ke tepian jalan Slamet Riyadi yang mulai dirindangi pertokoan orang Tionghoa dan Eropa. Giliran pejabat Belanda yang memainkan peran di medan jalan. Mereka meneguhkan hegemoni Barat dengan menggelar pawai meriah bloemencorso saban Belanda merayakan hari kemerdekaan. Tapi, dasar sial, wong cilik hanya menjadi penonton sembari hatinya terkagum-kagum berkat kemegahan acara, tanpa nalar kritis.

Selanjutnya, petinggi kolonial menciptakan nama jalan baru demi kepentingan administrasi kewilayahan. Laporan serah terima Residen Surakarta van Wijk tahun 1914 mencatat beberapa nama yang ada di sekitar benteng dan kantor residen yang kini menjadi balaikota itu. Antara lain, (1) Lojiwurung (2) Residentielaan, mulai jembatan Gladag sampai ujung Purbayan; (3) Krapyak; (4) Kebalen, dari jembatan Kusumoyudan hingga Gereja Katholik Purbayan; (5) Societeitsweg dari pertigaan Hotel Slier yang dibumihanguskan tahun 1949 sampai Societiet Harmonie; (6) Achterstraat; (7) Schoolstraat; (8) Heerenstraat; (9) Bloemstraat; (10) Koestraat, berukuran pendek 80 meter dimulai belakang bekas rumah asisten residen sampai Voorstraats; (11) Voorstraats, dari jembatan Pasar Kliwon menuju Societiet Harmonie; (12) Cantinestraat, dari jembatan Gladag hingga depan bekas rumah asisten residen.

Waktu terus bergulir. Pascakemerdekaan, semangat antipenjajah kian membuncah. Politik pelupaan dijalankan oleh rezim antikolonial yang berkuasa dengan cara menghapus dan menggantikan nama-nama jalan yang lebih dahulu tertera. Lambat laun, tidak sedikit nama jalan terhapus dalam memori ingatan.

Meminjam ungkapan orang Prancis, “sebuah negeri tidak dapat membangun masa depan tanpa mengenal masa lalunya”. Karena itulah, dalam menyolek kota, penting kiranya Pemkot Solo memahami akar sejarah jalan dan peranannya di masa silam, terutama jalan dr Rajiman dan jalan Slamet Riyadi. Masuk akal juga dua potong jalan itu diperjuangkan menjadi cagar budaya. Pasalnya, jalan merupakan monumen yang nilainya serupa dengan tugu atau gapura untuk memeringati sesuatu yang dianggap bermakna bagi masyarakat.

Ya, cerita tentang jalan tak pernah usang dan berujung. Apalagi ia acap dilewati oleh manusia, si pembuat cerita..

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya