SOLOPOS.COM - Kondisi di dalam Benteng bekas Keraton Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Minggu (23/2/2020). (Solopos/Indah Septiyaning Wardani)

Solopos.com, SOLO — Perpindahan istana sebagai pusat pemerintahan merupakan hal yang umum terjadi sejak zaman keemasan berbagai kerajaan di Indonesia. Salah satunya adalah perpindahan istana Mataram dari Keraton Kartasura ke Solo/Surakarta.

Dalam catatan sejarah, Keraton Mataram Islam telah empat kali pindah. Kerajaan yang didirikan Panembahan Senopati itu awalnya berada di Kotagede, DIY. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, keraton dipindah ke Kerto. Selanjutnya, keraton kembali dipindah ke Pleret setelah kegagalan penyerangan Sultan Agung ke Batavia pada 1628-1629.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dikutip dari situs cagarbudaya.kemendikbud.go.id, Selasa (1/2/2022), pada masa Amangkurat II, pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah Wanakerta yang kemudian disebut dengan Kartasura. Perpindahan keraton ini dipicu oleh beberapa pemberontakan yang membuat keraton hancur. Keraton di Plered hancur karena serangan pasukan yang dipimpin oleh Trunajaya. Akibat dari peristiwa itu pusat keraton Mataram di Plered kemudian dipindahkan ke Kartasura oleh Amangkurat II.

Baca juga: Asyik, Wisatawan Kini Bisa Keliling Keraton Solo Naik Skuter Listrik

Setelah Amangkurat II wafat, ia digantikan oleh puteranya, yaitu Susuhunan Mas atau Amangkurat III (memerintah tahun 1703-1708). Pada masa pemerintahannya terjadi konflik suksesi antara Amangkurat III dan pamannya yaitu Pangeran Puger. Konflik dimenangkan oleh Pangeran Puger yang merupakan adik Amangkurat II.

Setelah naik tahta Mataram ia bergelar Pakubuwono I (PB I, memerintah tahun 1703-1719). Pengganti PB I adalah puteranya yang bergelar Amangkurat IV atau Susuhunan Prabu (memerintah tahun 1719-1727). Pengganti Amangkurat IV adalah puteranya yang bergelar Pakubuwono II (PB II).

Baca juga: Asal Usul Keraton Solo, dari Kartasura Rusak Jadi Surakarta

Geger Pecinan

Pada masa pemerintahan Pakubuwono II sekitar tahun 1727-1749, Kerajaan Mataram dilanda kerusuhan. Saat itu terjadi peristiwa Geger Pecinan, yaitu pemberontakan etnis Tionghoa dan pribumi melawan pemerintah Belanda. Dalam situasi genting ini, Pakubuwono II awalnya berpihak kepada etnis Tionghoa dan warga pribumi.

Akan tetapi, kekalahan pasukan mereka melawan serdadu Belanda pada awal 1742 membuat Pakubuwono II membelot. Dia pun kembali bersekutu dengan Belanda yang menyebabkan masyarakat China dan rakyat Mataram kecewa.

Kelompok yang kecewa itu kemudian menyerang istana Mataram di Keraton Kartasura yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Pasukan ini berhasil menguasai istana pada 30 Juni 1742.

Baca juga: Asal Usul Kota Solo dari Geger Pecinan

Dalam situasi genting ini Pakubuwono II sebagai raja berhasil melarikan diri bersama putra mahkota didampingi Kapten Belanda bernama Johan Andries van Hogendorff menuju Ponorogo, Jawa Timur. Penguasaan Mas Garendi atas istana Mataram di Kartasura tidak berlangsung lama. Sebab, pihak lain yaitu Cakraningrat IV berhasil merebut istana Kartasura. Akan tetapi, setelah Cakraningrat berhasil dibujuk Belanda, keadaan menjadi aman.

Pada November 1742, Pakubuwono II dapat kembali ke Keraton Kartasura dan menduduki kembali takhtanya. Namun akibat penyerangan sebelumnyam Keraton Kartasura rusak berat. Dalam kepercayaannya, keraton yang sudah rusak dan jatuh ke tangan pihak lain tidak boleh dibangun kembali karena akan sudah kehilangan dimensi sakralitas.

Baca juga: Begini Sejarah Pecinan Semarang Terkait Sunan Kuning dan Pemberontakan Etnis Tionghoa

Keraton Solo Lahir

Alhasil, Pakubuwono II mempunyai ide untuk membangun dan memindahkan istana Mataram. Pakubuwono II berdiskusi dengan kerabat keraton untuk mencari lokasi baru sebagai pusat pemerintahan Mataram.

Saat itu ada tiga opsi lokasi, yaitu Desa Kadipolo (sekarang Taman Sriwedari), Desa Sala (sekarang Keraton Surakarta), dan Desa Sasewu (sebelah barat Kecamatan Bekonang).

Baca juga: Kali Samin Matesih, Bekas PLTA Mangkunegaran Kini Sering Makan Korban

Akhirnya, Desa Sala dipilih sebagai pusat pemerintahan baru karena dianggap strategis. Apalagi lokasinya dekat dengan Sungai Bengawan Solo yang merupakan pusat perdagangan dan transportasi saat itu. Setelah dipindahkan, pusat pemerintahan Mataram berubah nama menjadi Keraton Surakarta.

Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kota Solo, Selasa (1/2/2022), nama Sala diambil karena desa terpencil itu banyak ditumbuhi pohon sala. Letaknya tidak jauh dari Keraton Kartasura yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram.

Istana baru Mataram ini kemudian ditambah berbagai bangunan sebagai pelengkap. Bangunan-bangunan tersebut seperti Masjid Agung, Sitihinggil, dan Pintu Srimanganti. Pakubuwana II mendiami keraton baru ini hanya dalam waktu selama tiga tahun. Pada tahun 1749 PB II wafat. Ia digantikan oleh putranya yang kemudian bergelar Pakubuwono III (PB III).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya