SOLOPOS.COM - Sukma Larastiti/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Siang itu, beberapa hari lalu, saya memaksakan diri berangkat naik bus Batik Solo Trans (BST) menuju kawasan Purwosari dan Kerten, Laweyan, Kota Solo untuk melihat kawasan yang sedang dibersihkan demi pembangunan flyover atau jalan lintas atas.

Saya ke sana karena lupa tidak mendokumentasikan hari-hari terakhir lanskap Purwosari bebas dari dinding penghalang. Perjalanan ke sana terasa seperti harus berangkat ke pemakaman orang terdekat saya. Berat. Menyedihkan.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Beberapa pekan terakhir saya memang menghindari kawasan ini karena merasa sesak melihat dahan-dahan yang dipenuhi daun yang rimbun berguguran satu demi satu ke tanah. Di Purwosari pembersihan pohon masih terus berjalan.

Di dekat halte bus, pembatas diletakkan untuk memberi tanda bagi lalu lintas yang mendekat agar berhenti. Empat orang atau lima orang laki-laki, bermandikan cahaya matahari dan peluh, menarik potongan pohon yang roboh ke jalan.

Saat bus kembali berjalan melintasi rel di Purwosari, saya disambut hamparan tanah kosong berwarna oranye kemerah-merahan. Debu berterbangan ketika sepeda motor berkecepatan tinggi melintasi wilayah yang dulu rimbun oleh pepohonan itu. Hamparan tanah tersebut seolah berteriak,”Aku siap!”

Saya termasuk sedikit orang yang menentang seluruh rencana pembangunan flyover atau jalan lintas atas di Kota Solo. Kota ini tidak butuh dan tidak bisa dipasangi flyover karena tak memungkinkan dari segi tata ruang dan sistem transportasi, tetapi penolakan ini laksana buih di lautan.

Ekspedisi Mudik 2024

Saya mengikuti isu pembangunan jalan lintas atas Purwosari sejak 2017. Selama itu pula saya mencoba mencari tahu apa yang akan terjadi, tapi tidak mudah. Tak ada dokumen perencanaan konkret yang dibuka kepada publik. Publik hanya bisa tahu melalui media atau sosialisasi yang isinya tidak detail.

Video tiga dimensi seperti yang belakangan beredar bukanlah sumber data yang bisa digunakan sebagai acuan analisis karena umumnya melalui banyak proses penyederhanaan dan tidak memperlihatkan apa yang sesungguhnya terjadi.

Lagipula, apa artinya data seperti ini terbit menjelang konstruksi dilaksanakan? Rendahnya keterbukaan perencanaan infrastruktur kepada publik ini membuat proyek sulit ditelaah lebih jauh apabila ada masalah.

Kerusakan Sistematis

Ada beberapa masalah krusial yang terabaikan ketika publik sibuk dalam bius suka cita akan hilangnya satu penghalang menuju Kota Solo: lalu lintas macet di perlintasan sebidang Purwosari.

Yang pertama adalah kerusakan besar ekologi kota. Media-media, termasuk Harian Solopos, membingkai berita dengan bahasan utama pembersihan 377 batang pohon dari barat hingga timur di kawasan sepanjang satu kilometer yang sebangun dengan logika pemerintah dan diterima begitu saja.

Masalah utamanya bukan sekadar pohon ditebang atau dipindah atau hilangnya kemampuan menghasilkan oksigen, melainkan kerusakan ekosistem sepanjang satu kilometer. Bukan pohon, tapi ekosistem(!).

Pemindahan pohon, katakanlah mereka hidup setelah dipindah, tak akan memperbaiki ekosistem Purwosari yang terbentuk sangat lama. Pepohonan bukan hanya milik manusia, tetapi juga milik para hewan yang turut menyeimbangkan ekologi kota.

Hilangnya pepohonan berarti hilangnya rumah para tikus, ular, serangga, burung, kupu-kupu, tupai, dan sebagainya. Hanya karena kita tak melihat mereka, bukan berarti mereka tidak ada.

Kasus kemunculan ular yang menggegerkan warga kota beberapa waktu lalu dapat menjadi penanda hewan kehilangan rumah sehingga ”menginvasi” ruang-ruang yang dihuni manusia. Warga juga perlu hati-hati dengan hama perkotaan, seperti tikus, akibat hilangnya predator alami mereka.

Dokumen The Nature Conservacy yang berjudul Nature in the Urban Century (jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Alam dalam Abad Urban) menunjukkan pertumbuhan urban merusak ekologi mendorong terbentuknya habitat yang terfragmentasi yang memiliki konsekuensi berkurangnya keanekaragaman dan jumlah spesies serta berpotensi mendorong kepunahan spesies.

Kota Solo hingga hari ini masih punya catatan kurang baik terkait luas ruang terbuka hijau (RTH) di dalam kota yang hanya sebesar 9,72%; jauh dari target 20% RTH publik dan 10% persen RTH swasta. Catatan ini belum memasukkan aspek lingkungan lain, seperti pendataan pepohonan, serapan emisi karbon, dan pendataan spesies di kota.

Jadi, kalau saya boleh tahu, berapa besar kerusakan ekologis yang dicatat oleh pemerintah dari proyek ini? Sebagai kebijakan, pembangunan flyover ini justru semakin menjauhi salah satu target kebijakan transportasi berkelanjutan: nol emisi (zero emmision).

Bencana Iklim

Di tengah situasi bumi yang kini semakin sering mengalami bencana iklim akibat krisis iklim—yang dampaknya terasa riil seperti kemarau panjang tahun lalu, kebakaran hutan yang parah, dan banjir di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Lebak awal tahun ini—kebijakan ini tidak etis.

Masalah kedua adalah dalam jangka panjang pembangunan flyover di Purwosari memiliki dampak sistemtais terhadap sistem transportasi di kawasan Purwosari dan Kota Solo secara keseluruhan, yang tingkat kerusakannya lebih parah dibandingkan Manahan. Ini merusak pusat integrasi antarmoda di Purwosari.

Kawasan Purwosari saat ini adalah satu-satunya kawasan dengan sistem antarmoda paling terintegrasi di Kota Solo. Kondisi Purwosari jauh lebih baik dibandingkan integrasi stasiun Balapan dan Terminal Tirtonadi, dengan kelengkapan fasilitas transportasi yang lebih beragam, mudah, dan terjangkau.

Aksesibilitasnya lebih baik karena berada di permukaan tanah (at grade) sehingga masih memudahkan bagi semua umur dan difabel. Kawasan Purwosari juga satu-satunya kawasan di Kota Solo yang sesuai dengan prinsip pengembangan berorientasi transit (transit oriented development/TOD).

Kesesuaian ini bahkan sebelum TOD diagung-agungkan pada abad ke-21 dan mengalami penyelewengan makna di Indonesia sebagai pembangunan apartemen atau mal yang terhubung dengan stasiun, seperti yang terjadi di Jakarta.

Soal ini, Kota Solo justru lebih maju dibanding Jakarta. Sayang, kawasan yang terbentuk selama ratusan tahun ini akhirnya lenyap oleh kebijakan pemerintah. Pembangunan flyover mengurangi, kalau tidak menghilangkan penuh(?), jalur sepeda; menghilangkan aksesibilitas penyeberangan dari timur ke barat dan sebaliknya apabila jadi ditutup; dan mengacaukan sistem konektivitas bus.

Saya masih belum tahu ke mana halte bus akan digeser atau rencana gerak bergabung (merging) bus dari halte ke lalu lintas yang menuju atas flyover atau dari flyover menuju halte dengan aman dan selamat. Rencana penyediaan ruang trotoar di flyover selebar 0,6 meter tak kalah bermasalah, kendati akan dibatasi dengan pagar.

Sulit Ditolong

Coba bayangkan, Anda berjalan kaki di jalan yang berada di ketinggian lebih dari empat meter dengan jarak pengaman hanya 0,6 meter(!) di samping kendaraan yang melaju cepat dan tanpa kanopi yang melindungi tubuh Anda dari panas terik atau hujan deras!

Anda tak punya pilihan lain untuk berjalan ke arah barat selain trotoar ini atau, yang terburuk, Anda harus berjalan kaki melintasi underpass atau jalan lintas bawah di Jl. Transito. Tolong jawab saya, apakah Anda mau melakukan itu? Saya yakin perencana dan pengusulnya bukan pejalan kaki!

Masalah lain yang bagi saya belum terjawab yaitu detail perencanaan di Jl. Perintis Kemerdekaan. Apakah akan ada pelebaran jalan untuk mengakomodasi kendaraan berat, yang artinya perlu membabat trotoar dan pepohonan di sana?

Isu ini sempat mengemuka tahun lalu, tapi belum keluar detailnya. Apabila jadi dilakukan, berapa besar yang hilang dan bagaimana dengan perlindungan Omah Lawa yang berstatus bangunan cagar budaya (BCB) dari getaran lalu lintas kendaraan berat?

Perencanaan, sosialisasi, hingga peliputan proyek pembangunan flyover Puwosari cenderung mengulangi kesalahan masa lalu yang tidak mengungkap kerusakan sistem di kawasan ini hingga flyover terbangun penuh.



Pembahasan ini pun belum memasukkan masalah keamanan, keselamatan, sosial, dan ekonomi. Kejadian ini sungguh-sungguh preseden buruk dalam menjaga ekologi kota dan pengembangan sistem transportasi perkotaan yang berkelanjutan.

Nyaris tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghentikan kerusakan yang akan muncul selain menghentikan proses pembangunan. Negara lain memperbaiki sistem transportasi dan ekologi ruang jalan kota mereka dengan menghancurkan flyover yang mereka miliki, tapi kita justru membangun dan memujanya.

Ketika flyover di kota ini diputuskan dibangun tanpa melibatkan dan mempertimbangkan masukan para perencana transportasi, hanya satu yang bisa dikatakan: sistem transportasi Kota Solo sulit untuk ditolong.

Setidaknya sampai 30 tahun hingga 40 tahun mendatang, saat sudah mencapai umur puncak operasional dan mungkin untuk dibongkar. Yang mengkhawatirkan, kita justru terlambat untuk melakukan sesuatu ketika kita sampai pada masanya. Tragisnya, kita sering begitu.

 

 

 







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya