SOLOPOS.COM - Rombongan berfoto bersama di depan hunian para pesohor dunia di Beverly Hills, Los Angeles, AS. (Istimewa)+

Baru kali ini saya merasa deg-degan ketika bertugas keluar negeri. Bukan apa-apa. Persyaratan perjalanan mengharuskan tes PCR 1 x 24 jam sebelum jam keberangkatan pesawat (departure). Betapa tidak deg-degan. Meskipun badan merasa sehat, tidak memiliki gejala spesifik seperti batuk, pilek dan demam, banyak kasus Covid generasi Omicron sejak akhir tahun lalu terjadi tanpa gejala. Banyak teman merasa badan tidak mengindikasikan gejala apa-apa, eh begitu tes PCR hasilnya positif.

Itulah yang membuat saya deg-degan saat menunggu hasil tes PCR sebelum berangkat ke Los Angeles, Amerika Serikat. Atas bantuan Dokter Wisnu, Direktur RS JIH Solo, dan Mbak Listria, Manajer Penunjang RS JIH, saya menjalani tes PCR pada Rabu (23/3/2022) pagi. Perasaan saya begitu lega, tatkala menerima pemberitahuan hasil tes PCR via WhatsApp, hasil tes tersebut negatif.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Namun, tes tanggal 23 ternyata tidak bisa dipakai sebagai syarat perjalanan. Sudah lebih dari 24 jam. Terpaksa tes lagi tanggal 24 pagi sebelum berangkat ke Jakarta, mengingat jadwal keberangkatan dari Soekarno Hatta adalah pukul 07.00 WIB esok harinya. Saya kembali lega karena hasilnya negatif.

Maka, dengan penerbangan Japan Airlines, saya bersama rombongan, yang dipimpin Garibaldi ‘Boy’ Thohir, terbang ke LA. Kami transit di Bandara Narita, Tokyo. Penerbangan JL-720 Jakarta-Narita makan waktu sekitar 6,5 jam. Lanjut dengan penerbangan JL-062 ke Bandara LAX di Los Angeles sekitar 9,5 jam.

Relatif nggak terlalu lama karena LA terletak di pantai barat Amerika. Berbeda dengan New York dan Whasington DC yang terletak di pantai timur yang lebih jauh. Namun, lazimnya apabila terbang langsung ke New York, penumpamg dari Indonesia memilih tidak transit via Jepang. Umumnya via Dubai, Uni Emirat Arab, atau Frankfurt, Jerman, untuk menyingkat waktu.

Kami mendarat di Bandara LAX sekitar pukul 11, Jumat siang, waktu setempat. Saat kami mendarat, di Solo sudah tengah malam, bahkan sudah Sabtu dini hari. Kesan pertama, salah satu bandara terbesar dan tersibuk di Amerika itu tidak terlalu ramai, meski juga tidak bisa dibilang sepi. Mobilitas manusia sudah tampak padat.

Setelah resmi masuk Amerika melalui imigrasi, dan berkemas masuk mobil van menuju kota LA, kesan yang muncul adalah “kebebasan”. Di sepanjang perjalanan, saat menatap situasi di luar kendaraan, kebanyakan bule sudah tidak pakai masker.

Pemerintah Amerika memang sudah membebaskan warganya dari kewajiban protokol kesehatan. Kita bisa menyaksikan, di berbagai tempat keramaian, terutama di kafe-kafe dan tempat makan, orang bebas berkerumun dan tidak memakai masker.

Maka, terus terang, kembali saya deg-degan. Pasalnya, ini adalah perjalanan pertama ke luar negeri semenjak pandemi Covid-19. Masih kikuk rasanya, berpapasan dengan orang asing yang nggak kita kenal. Tanpa masker. Dan dalam kerumunan.

Di kafe tempat nongkrong banyak orang, tempat duduk berdesakan dan berkerumum tanpa masker. Saya melihatnya aneh, tapi barangkali mereka melihat rombongan kami yang bermasker justru yang aneh.

Boy Thohir.
Breakfast di IHop bersama Boy Thohir.

***

Sesampai di hotel, setelah check-in, kami langsung jalan-jalan sebentar sembari ngabuburit menunggu jadwal makan malam. Setelah dinner dengan menu masakan Thailand yang maknyus, saya bisa tidur di Le Parc Suite Hotel dengan cukup lelap karena hampir tidak merasakan jetlag. Saya memang sengaja banyak tidur di pesawat dalam dua penerbangan tersebut.

Paginya, bangun pukul 6 pagi dan langsung Salat Subuh dengan kebingungan karena info awal waktu Subuh adalah jam 7, ternyata yang benar adalah jam 6. Setelah itu, bersama Om Whay, panggilan akrab Wahyu Muryadi (Komisaris Independen Hutama Karya Tbk dan Stafsus Menteri Kelautan dan Perikanan), serta Arifin Asdhad, Pemimpin Redaksi dan Direktur Kumparan, kami jalan kaki bertiga.

Nggak terasa jalan kaki selama satu jam membawa kami ke Beverly Hills, kompleks perumahan orang-orang top dan para pesohor Hollywood. Dan orang-orang top dari seluruh dunia. Orang Indonesia yang memiliki rumah di Beverly Hills termasuk di antaranya Boy Thohir, pemilik Group Adaro. Rosan P. Roslani, mantan Ketua Umum Kadin Indonesia yang kini menjabat Dubes di Amerika, pernah pula memiliki rumah di kawasan para pesohor dunia itu.

Setelah berfoto-foto dan saling bantu foto, kami kembali ke hotel karena ingat jam 9 harus berangkat mengikuti agenda resmi perjalanan. Hotel tempat kami menginap, Le Parc Suite, itu memang berada di titik strategis ke mana-mana, meski berlokasi dalam lingkungan perumahan (apartemen).

Manajemen hotel ini mengklaim sebagai tempat beristirahat yang apik dan bergaya bagi para pembuat tren dan orang-orang canggih. Banyak musisi papan atas dunia dan selebritas papan atas yang pernah check-in di hotel tersebut. Beberapa langkah dari hotel dengan mudah kita menemukan tempat perbelanjaan, dan makan, serta live music yang glamor di Los Angeles.

Farhat, salah satu Direktur di Le Parc Suite Hotel, bercerita bahwa sejumlah artis Indonesia pernah menginap di hotel tersebut. Luna Maya adalah satu nama artis yang disebutnya. Farhat kebetulan berasal dari Jakarta.

Dia mengaku sudah 30 tahun bermukim di Amerika, dan tinggal di LA, yang menurutnya memiliki iklim dan cuaca relatif lebih nyaman dibandingkan dengan bagian Amerika yang lain. Namun demikian, Farhat bertutur kepada saya, setelah pensiun dia ingin kembali ke Indonesia menikmati masa tuanya.

***

Los Angeles adalah kota turis dan selebritas. Saat sightseeing di hari pertama tiba di kota itu, nggak tahunya kami sampai di suatu tempat yang ternyata adalah Hollywood Boulevard. Banyak turis yang berdatangan untuk sekadar foto-foto dan barangkali juga belanja.

Di salah satu kawasan itu, terlihat suasana ramai di seputar Dolby Theatre tempat penyerahan Piala Oscar 2022 pada Minggu (27/3/2022) atau Senin siang waktu Indonesia. di depan Dolby Theatre itu sudah digelar red carpet yang masih tertutup plastik. Posisinya sepanjang koridor Hollywood Boulevard, di mana para artis turun dari mobil, hingga menuju Dolby Theatre tempat penyerahan Piala Oscar oleh Academy Award.

Menjelang penyerahan Piala Oscar 2022 itu, saya mendapati fakta bahwa banyak turis yang datang entah sekadar berfoto atau berbelanja di seputar Hollywood Boulevard. Suasananya memang relatif ramai, bahkan tak kalah heboh dengan panggung Piala Oscar 2022 yang ternyata sempat diwarnai tragedi pemukulan atas presenter Chris Rock oleh komedian Will Smith. Pasalnya, Smith tidak terima atas lelucon Rock yang menyebut istrinya, Jada Pinkett Smith, dengan kata “botak”. Smith menganggap joke Rock di atas panggung itu keterlaluan.

wisata Los Angeles
Saya bersama (dari kiri ke kanan): Wahyu Muryadi (mantan Pemred Tempo, kini Stafsus Menteri KKP), Dubes Rosan P. Roslani, Arifin Asdhad (Pemred Kumparan), dan Budi Soenjoto (Direktur Adaro Group), di depan Griffith Observatory di Los Angeles.

Namun, di luar itu saya belajar, Los Angeles dengan gegap gempita “Hollywood related industry“-nya, bukan saja tersohor. Namun, terbukti bahwa kecanggihan dalam mengemas “storytelling industry” ke dalam berbagai aspek kehidupan dan kebutuhan manusia (baca konsumen) keseharian, telah menjadi motor penggerak ekonomi yang luar biasa. Dan juga konsumsi yang luar biasa, sehingga Amerika cepat sekali pulih dari pandemi.

Catatan saya, data ekonomi AS sangat mengesankan, tumbuh 7% pada 2021 lalu, yang bahkan jauh lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi Covid-19. Pada tahun ini, perkiraan awal ekonomi AS akan tumbuh 4%, kemudian dipangkas menjadi 2,8% karena risiko inflasi dan dampak perang di Ukraina. Kendati demikian, level itu masih berada di atas pertumbuhan sebelum pandemi yang umumnya di kisaran 2%.



Mantan Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat, Budi Bowoleksono yang menyertai rombongan menyebutnya, di Los Angeles dan Amerika pada umumnya, mobilitas manusia dengan segala aktivitasnya menjadi hidup dan feasible bagi bisnis, karena telah memiliki economic of scale sejak lama.

Dalam kacamata Dubes Sonny, begitu panggilan akrabnya, dasar economic of scale yang kuat itulah yang menjadikan pasar di Amerika begitu kuat. Tak tergoyahkan oleh aneka krisis dan gonjang-ganjing yang menimpa ekonomi dunia.

Dalam perspektif Boy Thohir, posisi sebagai negara kaya membuat daya beli warga Amerika tinggi. Ini seperti lingkaran viral, di mana negara yang maju dan kaya, akan membuat produk perusahaan terserap pasar karena daya beli yang tinggi. Apalagi dibanjiri turis-turis dari berbagai penjuru dunia, yang pasti berdaya beli pula.

Dan yang tampak di depan mata, meski belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19, setiap masuk ke kafe dan pergi makan malam, harus selalu antre untuk mendapatkan tempat duduk. Bahkan di tempat-tempat makan yang maknyus dan mahal sekalipun.

Barangkali, itulah yang disebut The American Dream, mimpi Amerika. Mimpi ini semestinya bisa pula menular ke Indonesia. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya