SOLOPOS.COM - Boy Thohir membuka pintu belakang sedan listrik Lucid dalam kunjungan ke Los Angeles akhir Maret lalu.

Melihat geliat konsumen dan mobilitas masyarakat di Los Angeles, seolah membuktikan bahwa pandemi Covid-19 seakan-akan sudah sama sekali lewat di negeri Paman Sam itu. Makan di restoran pun berdesak-desakan tanpa masker. Manusia yang lalu lalang di tempat-tempat keramaian juga amat jarang yang mengenakan masker.

Yang elok lagi, saat menjelang balik ke Jakarta, kami diwajibkan untuk menunjukkan hasil test swab PCR sebagai syarat check-in di bandara. Eloknya, petugas swab PCR yang datang ke hotel tempat rombongan menginap santai sekali. Tanpa embel-embel “baju kebesaran”. Jangankan hasmat, bahkan baju perawat pun tidak dikenakannya, dan hanya mengenakan kaus santai. Begitu pengambilan sampel selesai, hasil sampel pun juga dimasukkan ke tas jinjing wanita cantik itu, tanpa pengamanan berlebihan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dan Anda tak perlu kaget, biaya test swab PCR panggilan itu sebesar US$200 per orang. Kalau dikurs ke rupiah, angkanya nyaris Rp3 juta. Kalaupun kita datang langsung ke laboratorium tempat test, biayanya berkisar US$120 dolar. Ini berkisar Rp2 juta sekali test. What? Ya. Muahaaaal sekali.

Bila merujuk pada tarif tes swab PCR itu, tarif PCR di Indonesia yang sebesar Rp275.000 jadinya “muraaah bangeettt“. Mirip tagline Indra Kenz yang menjerumuskan banyak orang ke kubangan investasi bodong.

Nah, lagi-lagi, saat banyak orang ribut atas tarif PCR di Indonesia yang dibilang kemahalan beberapa waktu lalu, jadinya kita merasa geli. Di Amerika dan banyak negara lain nyatanya jauh lebih mahal.

Tapi saya tidak ingin menceritakan lebih jauh soal PCR itu. Nanti di episode berikutnya. Kembali ke laptop saja. Poin saya, perilaku warga Amerika yang sudah tampak sangat santai dan menikmati hidup seperti sediakala hari ini, telah menjadi salah satu indikator bahwa geliat ekonomi memang sudah pulih.

Rumusan dasar bahwa geliat ekonomi identik dengan mobilitas manusia, jelas tak terbantahkan. Dan mobilitas manusia selanjutnya menghasilkan dampak berganda bagi ekonomi. Terlebih dengan campur tangan teknologi.

Karena itu, saya tak heran manakala kini terjadi perang di Ukraina, dampak bergandanya begitu cepat dan massif. Ke seluruh dunia. Mungkin baru kali ini di era revolusi industri 5.0, efek berganda dari sebuah perang terjadi secara “seketika” ke seluruh dunia.

Tatkala ekonomi sudah mulai pulih karena kembalinya mobilitas manusia pasca-pandemi, tiba-tiba ketidakpastian baru muncul dari dampak perang Ukraina. Kelangkaan energi dan pangan. Harga dari dua variabel terpenting dalam aktivitas kehidupan manusia ini ujug-ujug melonjak.

Maka, dikombinasikan dengan pergerakan manusia yang mulai pulih, hasilnya adalah inflasi. Di seluruh dunia pula. Kebutuhan akan energi dan pangan meningkat tatkala pasok dunia merosot akibat blokade terhadap Rusia.

solopos
Koran Solopos dan Harian Jogja turut mejeng bersama The New York Times di lobby Hotel Le Parc Suite, Los Angeles.

***

Di Amerika, saya menyaksikan perubahan harga bensin super (Oktan 92) yang begitu drastis hanya dalam sepekan. Dari US$6,5 saat saya tiba pada 25 Maret, menjadi US$7,5 saat mau kembali ke Jakarta. Itu harga per galon, atau 4 liter. Saya coba konversi ke rupiah, per liternya menjadi sekitar Rp28.000.

Di Indonesia ternyata juga sama. Di salah satu pompa bensin milik perusahaan minyak asing di Jakarta, saya batal membeli minyak Diesel (semacam PertaminaDex), karena terpampang harganya Rp18.000 per liter. Saya langsung balik kanan mencari pompa bensin Pertamina. Pada waktu itu bahan bakar jenis PertaDex masih dijual di bawah Rp14.000 per liter.

Lihat saja. Hanya dari satu stimulan perang di Ukraina, telah “berhasil” memporakporandakan ekonomi dunia. Padahal, menurut salah satu diplomat senior, serangan Rusia di Ukraina itu hanya sebagai sarana “cuci gudang” persenjataan dan teknologi perang Rusia yang sudah tidak up to date lagi.

Namun, dampaknya seketika. Harga komoditas naik. Harga bahan bakar naik. Harga minyak goreng naik. Dan tak terhindarkan, harga pangan dunia naik, karena sebagian besar pasok gandum, minyak matahari, minyak canola, berasal dari negara zona perang itu. Minyak sawit kini diburu sebagai pengganti, termasuk oleh negara-negara yang sebelumnya “mengharamkannya”. Akibatnya, minyak sawit Indonesia pun banyak bocor keluar dan di dalam negeri jadi mahal.

Jelas bahwa ketidakpastian dunia akan pasokan energi menjadi semakin tinggi. Dan dampaknya bisa ke mana-mana. Maka, saya memperoleh pelajaran penting dalam perjalanan bersama Boy Thohir di Amerika selama sepekan akhir Maret itu. Pengelolaan energi pun, mau enggak mau, harus bertransformasi.

Menurut Boy Thohir, Adaro sebagai perusahaan tambang batubara harus berubah agar tidak ketinggalan. Dari semula bisnis berbasis batubara alias coal-base dan fosil-base, harus mentransformasi bisnis menuju green energy. Tujuannya agar lebih sustainable dan renewable.

Bisa dipahami apabila Grup Adaro akan menggeser bisnis energi berbasis batubara secara bertahap ke sumber energi yang lain. Misalnya matahari (solar), tenaga air, dan lainnya.

Maka, jangan heran apabila Adaro membangun Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara dengan investasi US$800 juta atau belasan triliun rupiah. Proyek itu akan tuntas dalam beberapa tahun ke depan. Di dalamnya akan terdapat pemurnian alumunium berbasis energi hijau (green alumunium smelter). Juga industri baterai berbasis nikel yang juga berbasis energi hijau. Bukan lagi batubara.

Langkah itu masuk akal, mengingat transformasi di hulu menjadi bagian terintegrasi dan tak terpisahkan dari transformasi ke industri hijau di hilir dalam konteks hilirisasi industri. Ini untuk memastikan bahwa industri hilir yang dilayani juga akan memiliki kaidah keberlanjutan. Terlebih, tren hari ini memang mengarah ke sana.

***

Sekadar contoh, selama di Los Angeles, Boy Thohir sengaja mengajak kami untuk melihat dari dekat model penjualan mobil listrik dari berbagai brand. Ada Tesla, Lucid dan Toyota Mirae. Masing-masing dengan teknologi yang berbeda-beda.

Sedikit untuk memberi gambaran, Tesla adalah mobil listrik besutan dari Elon Musk, yang memang jago marketing yang unik. Umumnya satu mobil bisa melaju sejauh 400-600 km dengan sekali isi baterai. Kecepatannya juga bisa maksimal, sampai 200 km per jam. Sasis juga ringan karena terbuat dari alumunium.

Deretan mobil listrik di Toyota Santa Monica, Los Angeles (Solopos.com/ Arif Budisusilo)

Untuk membeli Tesla, konsumen Amerika harus inden setidaknya 6 hingga 9 bulan. Jelas bahwa mobil Tesla laku keras, sehingga tak heran kapitalisasi pasar Tesla sudah melampaui US$1 triliun dolar hingga hari ini. Lucid tentu lain lagi. Begitu pula Toyota Mirae, yang diklaim sebagai mobil listrik tetapi dengan penggerak awal bahan bakar hidrogen.



Karenanya, berbagai kekhasan mobil listrik tersebut, mulai dari bodi dan sasis yang berbasis alumunium, serta baterai yang berbasis nikel, begitu menarik perhatian Boy Thohir. Indonesia, dengan segala kelebihan bahan baku dan sumberdaya alam untuk memproduksi alumunium dan baterai nikel, diharapkan mampu menjadi pemain utama.

Boy tidak ingin kehilangan momentum. “Memang, transformasi tidak serta merta seperti orang membalikkan telapak tangan. Akan butuh waktu, butuh transisi,” katanya saat berbincang di sela-sela kunjungan.

Melihat realitas industri mobil listrik di Amerika itu membuka mata bahwa Indonesia memiliki potensi besar. Pasalnya, Indonesia memiliki bauksit, nikel, tembaga, dan alumina. Kebutuhan terhadap komponen-komponen ini ke depan akan semakin besar.

Ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Bisa jadi, konsumen masa depan akan mempertanyakan, mobil listrik yang beredar di Amerika nanti, asal muasal baterainya dari material yang ramah lingkungan atau tidak? Sasisnya terbuat dari alumunium yang diproduksi dengan standar ramah lingkungan atau tidak? Itulah yang berkecamuk di kepala Boy Thohir.

Maka, Adaro telah bersiap dari sekarang. Apalagi, hampir semua brand otomotif dunia sudah masuk ke mobil listrik. Tak hanya Tesla, Lucid, dan Toyota, tetapi juga Hyundai, Ford dan Volks Wagon. Jadi dapat diperkirakan, kebutuhan dunia akan besar sekali.

Dengan bersiap dari sekarang, Indonesia lebih berpeluang untuk memimpin pasar pemasok ke depan. Dan bagi Adaro Group, maknanya juga jelas: transformasinya akan menghasilkan kontribusi pendapatan yang cukup besar, bukan semata berasal dari bisnis berbasis batubara, melainkan dari green energy dan green industry. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya