SOLOPOS.COM - Dokter spesialis kejiwaan RSJD dr. RM. Soedjarwadi, Cahyadi Azhari Nurdin, memaparkan materi saat digelar forum group discussion (FGD) implementasi Pasal 44 KUHP dan penanganannya di salah satu rumah makan di Klaten, Jumat (2/3/2018). (Taufiq Sidik Prakoso/JIBI/SOLOPOS)

Tak semua orang dengan gangguan jiwa bebas dari hukuman.

Solopos.com, KLATEN – Tak semua orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang melakukan pelanggaran hukum bebas dari hukuman. Hasil observasi pun menjadi rujukan aparat penegak hukum memutuskan penanganan kasus hukum yang melibatkan ODGJ.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Hal itu disampaikan dokter spesialis kejiwaan RSJD dr. RM. Soedjarwadi, Cahyadi Azhari Nurdin, saat ditemui seusai forum group discussion (FGD) implementasi Pasal 44 KUHP dan penanganannya di salah satu rumah makan di Klaten, Jumat (2/3/2018).

“Jika ada ODGJ melakukan pelanggaran hukum tentu saja dinilai dulu apakah mampu bertanggung jawab dengan tindakan hukum yang dilakukan atau tidak. Kalau gangguan jiwanya oleh halusinasi atau pola pikirnya tidak sampai berarti dia tidak mampu mempertanggungjawabkan. Dia nanti dirawat di RSJ atau sarana lainnya. Yang perlu diingat itu tidak semua ODGJ melanggar hukum bebas dari hukuman,” kata Azhari.

Menurutnya, penentuan kondisi kejiwaan seseorang dilakukan oleh dokter spesialis kesehatan jiwa. Hanya, dokter baru bisa melakukan observasi setelah ada permintaan dari aparat atau lembaga penegakan hukum seperti kepolisian, KPK, kejaksaan, dan lainnya.

“Setelah dilakukan pemeriksaan, hasil apa adanya diserahkan ke penegak hukum. Dari penegak hukum melanjutkan prosesnya apakah dia dibebaskan atau dirawat atau menjalani hukuman,” paparnya. (baca juga: Observasi Kejiwaan Ibu Seret Anaknya di Bayat Klaten Butuh 14 Hari)

Observasi kondisi kejiwaan seseorang dilakukan paling lama 14 hari. Hanya, waktu pemeriksaan bisa diperpanjang tergantung tingkat kesulitan.

“Pemeriksaannya tidak harus sampai 14 hari. Namun, bisa diperpanjang 14 hari kemudian tergantung tingkat kesulitannya seperti orang yang pura-pura mengalami gangguan jiwa itu butuh pemeriksaan dengan waktu lebih,” urai dia.

Disinggung tren dugaan ODGJ melakukan penyerangan, Azhari menilai masih banyak yang belum memahami tentang ODGJ.

“Tidak semua ODGJ menyerang orang lain. Justru banyak ODGJ yang bisa berkontribusi positif ke masyarakat. Ini menjadi tugas bersama-sama untuk membahas bagaimana membantu ODGJ tersebut agar tidak membahayakan dengan segera diobati hingga pulih. Intinya, jangan ada stigma ODGJ. Saya lihat kasus yang belakangan muncul itu dibesarkan aspek negatifnya. Kalau ada pembunuhan ada yang menyebut pelakunya orang gila,” ungkapnya.

FGD implementasi Pasal 44 KUHP itu digelar Satbinmas Polres Klaten. Kegiatan diikuti kapolsek serta tokoh agama dan ormas di Kabupaten Bersinar. Salah satu tujuan kegiatan tersebut digelar guna menyikapi isu soal penyerangan terhadap tokoh agama yang dilakukan ODGJ.

Ditemui beberapa waktu lalu, Kapolres Klaten, AKBP Juli Agung Pramono, menduga ada orang-orang tertentu yang memanfaatkan ODGJ melakukan penyerangan terkait maraknya isu penyerangan terhadap toko agama.

“Ada oknum yang memanfaatkan ODGJ karena sesuai Pasal 44 KUHP, ODGJ yang menjadi pelaku kejahatan itu proses hukum tidak dilanjutkan. Yang perlu diwaspadai itu ada yang pura-pura berperilaku seperti ODGJ. Makanya kami intensifkan razia,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya