SOLOPOS.COM - Stasiun Tanggung, Kabupaten Grobogan (Instagram/@diary.tour)

Solopos.com, GROBOGAN — Stasiun Tanggung (TGG) adalah sebuah stasiun kereta api kelas III/kecil yang terletak di daerah Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan dan termasuk dalam Daerah Operasi (Daops) IV/Semarang. Stasiun ini hanya memiliki dua jalur kereta api dengan jalur 2 sebagai sepur lurus.

Karena kendala akses transportasi, stasiun ini akhirnya beralih fungsi sebagai stasiun pemantau. Di depan bangunan stasiun, didirikan monumen roda dan sayap bertuliskan “Di Bumi Inilah Kita Bermula” serta dibuka bagi masyarakat yang ingin mengetahui sejarah perkeretaapian di Indonesia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Mengutip dari Wikipedia, Rabu (18/8/2021), stasiun ini merupakan yang tertua keempat di Indonesia, setelah Semarang NIS, Alas Tuwa dan Brumbung. Stasiun ini pertama dibuka pada 10 Agustus 1867 dan jalur pertama yang dibuka adalah Tanggung-Semarang yang berjarak 25 kilometer. Jalur ini dibuka oleh Gubernur Jenderal Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van de Beele.

Baca Juga : Mengulik Pesona Waduk Pertama Indonesia di Grobogan

Mbah Sarmi, saksi sejarah Stasiun Tanggung di masa penjajahan
Mbah Sarmi, saksi sejarah Stasiun Tanggung di masa penjajahan (Detik.com)

Karena berdiri di masa pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, stasiun ini tentunya banyak menyimpan kisah bagi warga yang tinggal di sekitar stasiun tersebut. Salah satunya adalah Mbah Sarmi. Dikutip dari Detik.com, Mbah Sarmi menceritakan bagaimana pengalamannya dirinya sebagai warga sekitar terkait dengan masa penjajahan.

Diceritakan saat itu Mbah Sarmi masih muda dan setiap kereta api uap tiba di stasiun tersebut dirinya dan warga lain langsung lari ke dalam gua bunker sambil membawa bekal makan agar tidak kelaparan. Wanita lansia yang sudah berusia 100 tahun ini sudah terbiasa mendengar suara tanda tibanya kereta api pembawa pasukan penjajah.

Mbah Sarmi dan warga lain bersembunyi di bunker karena takut ditembak oleh tentara penjajah atau dipaksa untuk ikut kerja paksa. Mbah Sarmi juga menjelaskan kalau bunker itu adalah tempat buatan warga dan bisa ditempati lebih dari lima orang. Di dalam bunker itu hanya ada meja, kursi dan lampu teplok atua lampu sentir.

Baca Juga : Lupa Mematikan Api Tungku, Dapur Rumah Warga Toroh Terbakar

Para warga ini bersembunyi dari siang dan baru akan keluar saat maghrib tiba. Mbah Sarmi sendiri tidak pernah menempuh pendidikan di masa penjajahan tersebut karena dirinya hanyalah kaum pribumi biasa sehingga kegiatannya saat itu hanyalah  berkebun, memasak dan bersembunyi ke dalam bungker saat tentara penjajah tiba.

Meskipun hidup di masa penjajahan, Mba Sarmi mengaku tidak pernah mendengar suara tembak-tembakan ataupun bom namun dirinya pernah tahu ada tentara Belanda yang membawa tank.

Mbah Sarmi mengetahui berita tentang Kemerdekaan Indonesia dari siaran radio. Setelah mendengar berita kemerdekaan itu, barulah Mbah Sarmi dan warga lain berani mendatangi Stasiun Tanggungharjo atau Stasiun Tanggung.

Baca Juga: 6.571 Nakes di Grobogan Dapat Vaksinasi Ketiga Jenis Moderna

Sejak kemerdekaan, dirinya dan warga lain baru berani berkeliaran di kawasan stasiun tersebut. Mbah Sarmi mengaku sejak Indonesia menyatakan kemerdekaan itu, dirinya berani masuk ke kereta untuk ke Semarang menjual barang dagangannya, berupa nasi, daun pisang, dan kayu bakar.

Sejarawan sekaligus dosen Metodologi Sejarah Universitas Negeri Semarang, Prof Dr Warsino MHum, menambahkan pergi ke Kota Semarang dengan kereta api merupakan salah satu kehidupan baru warga desa setelah kemerdekaan. Masyarakat desa biasanya pergi ke kota untuk menjual hasil alam, seperti kayu, dedaunan, dan rempah-rempah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya