SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (FOTO/Dok)

Bandung Mawardi (FOTO/Dok)

Pengelola Jagat Abjad Solo

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Budi Utomo adalah sejarah adab dan bahasa Jawa. Nama Budi Utomo muncul dalam percakapan intim antara Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo. Mereka bergairah membicarakan soal pendidikan-pengajaran di Hindia Belanda. Wahidin Soedirohoesodo berpamitan pada para pelajar STOVIA. Tokoh fenomenal itu ingin melanjutkan perjalanan ke Banten demi mewartakan misi pengumpulan dana pendidikan.
Soetomo memberi tanggapan dalam bahasa Jawa halus: Punika satunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi utami (Itu suatu perbuatan baik dan menundjukkan keutamaan budi). Ungkapan ”budi utami” itu diusulkan oleh Soeradji untuk dipakai sebagai nama perkumpulan mereka (Imam Supardi, Dr Soetomo: Riwajat Hidup dan Perjuangannja, 1951: 28). Ungkapan itu dalam masyarakat Jawa juga terbaca sebagai ”budi utomo”. Kita pun mengenal nama Budi Utomo sebagai titik penting sejarah politik di negeri terjajah.
Sejarah bahasa turut membentuk makna Budi Utomo. Komunikasi ke kaum priayi dan rakyat biasa menggunakan bahasa Jawa. Soetomo (1934) dalam buku Kenang-kenangan: Beberapa Poengeoten Kisah Penghidoepan Orang jang Bersangkoetan dengan Penghidoepan Diri Saja menjelaskan: ”Soeradji adalah seorang moerid di antara kita jang pandai pengetahoeannja di dalam bahasa Djawa, sehingga karenanja, ia jang mendjadi perantaraan kita dengan saoedara-saoedara jang hanja dengan bahasa itoelah maka mereka itoe dapat diambil hatinja, soepaja dapat dipengaroehi oleh gelombang moeda jang ada dalam roh Boedi Oetomo itu.”
Budi Utomo memang mempertemukan elite terpelajar dan kaum priayi. Bahasa Jawa menjadi penentu ikhtiar mereka untuk mengabarkan ”kemadjoean” dan menggerakkan misi pendidikan-kultural.  Soetomo adalah tokoh kunci di Budi Utomo. Sosok ini representasi pribadi Jawa dan ”manusia baru”. Kejawaan mengental melalui pendidikan di keluarga dan interaksi di kalangan priayi Jawa.
Konstruksi diri sebagai manusia baru merupakan konsekuensi dari model pendidikan kolonial. Soetomo pun membentuk diri dengan bahasa Jawa dan Belanda. Bahasa adalah urusan identitas dan strategi menggerakkan ide-ide di awal abad XX saat Hindia Belanda mendapati embusan modernitas. Soetomo dan Budi Utomo memberi narasi pelik tentang makna bahasa.
Kaum elite terpelajar memang identik dengan bahasa Belanda. Bahasa penjajah ini menjadi modal takziah pengetahuan dan pembentukan identitas kemodernan. Kefasihan bahasa menentukan harga diri intelektualitas dan kesanggupan mengucap nasib di negeri terjajah. Bahasa Belanda mengandung gairah untuk perubahan. Makna bahasa Belanda berbeda dengan polemik kaum elite terpelajar tentang bahasa Jawa. Relasi bahasa Jawa dan pergerakan politik modern mengesankan dilema.
Para tokoh Budi Utomo turut menggagas Congres voor Javaansch Cultuurontwikkeling (1918) di Solo. Agenda semaian kebudayaan Jawa diselenggarakan dengan suguhan tulisan-tulisan berbahasa Belanda. Percakapan para pemikir Jawa juga kerap menggunakan bahasa Belanda. Bahasa Jawa memang masih diagungkan kendati mengalami keterpencilan politik.
Makna Budi Utomo dan nasionalisme Jawa justru menjadi sasaran kritik. Tirtodanoedjo dari Djawa-Dipa mengusulkan bahwa demokratisasi bahasa Jawa merupakan misi penting ketimbang nasionalisme Jawa (Shiraishi, 1986). Bahasa masih menjadi urusan pelik di Budi Utomo dan kaum pergerakan radikal.

Diskursus
Budi Utomo adalah diskursus Jawa di jalan kemodernan. Sanggahan atas pengentalan Jawa di Budi Utomo diajukan Tjipto Mangoenkoesoemo selaku pengurus. Sang revolusioner ini tak menampik Jawa tapi menginginkan ada agenda kemodernan demi martabat manusia di negeri terjajah. Tjitpo mengakui diri sebagai Jawa tanpa harus mematut diri dalam angan Jawa silam, kolot, kaku. Jawa mesti bergairah menapaki abad XX.
Budi Utomo justru memperlambat takdir perubahan alias ”kemadjoean”. Pemaknaan Jawa di tubuh Budi Utomo adalah ”dunia keraton-feodalistis” dan ”kaki tangan kolonialisme Belanda”. Jawa bagi Tjipto Mangoenkoesoemo mesti menggairahkan politik (Balfas, 1952).
Kritik pedas Tjipto Mangoenkoesoemo mengabarkan tentang perdebatan sengit soal Jawa dalam narasi politik, adab, identitas, bahasa, sejak pendirian Budi Utomo. Penggalan sejarah itu luput dari mata kita saat rezim Orde Lama dan Orde Baru mengakui secara politis bahwa 20 Mei 1908 sebagai Hari Kebangoenan Nasional atau Hari Kebangkitan Nasional. Diskursus Jawa seolah menjelang punah.
Selebrasi mengingat Budi Utomo di abad XXI mungkin terus mengaburkan makna Jawa. Kita memang bisa membuat perbandingan dengan masa silam. Soetomo dan para penggerak Budi Utomo memang mengurusi Jawa menggunakan adonan nostalgia-klasik dan penampilan Barat. Mereka menguak dan mengumumkan keagungan adab Jawa dalam godaan nalar-imajinasi modern.
Mereka fasih berbahasa Belanda dan mengenakan pakaian Barat untuk ”melantunkan” Jawa sebagai pijakan hidup. Mereka tumbuh di institusi pendidikan kolonial tapi mendamba Jawa lama terus mengalir di zaman ”kemadjoean”. Kontradiksi makna Jawa itu semakin mengental di abad XX saat dunia bergerak memusat ke pencerabutan akar identitas kultural. Jawa di abad XXI tentu memerlukan kelenturan dan adaptif melampaui strategi ala Budi Utomo.
Bahasa Jawa memang sempat mencuat dalam agenda pendidikan-kultural Budi Utomo. Ikhtiar itu rancu saat elite dan kaum terpelajar di Budi Utomo cenderung memilih bahasa Belanda untuk mengucap-menulis pelbagai ide. Bahasa sebagai lambaran adab Jawa perlahan terabaikan saat arus pergerakan nasionalisme menemukan dan membentuk ulang bahasa Indonesia untuk seruan politik dan identitas. Budi Utomo dan Jawa semakin lirih.
Kesan itu tampak saat Ki Hadjar Dewantara (1936) mengajukan usulan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar di jagat pendidikan di Jawa. Afirmasi dan sebaran bahasa Jawa bisa melanggengkan identitas Jawa tapi tak ingkar atas kemodernan. Tokoh ini turut membesarkan Budi Utomo tapi tak betah menganut misi kolot dari kalangan tua dan moderat. Keputusan meninggalkan Budi Utomo justru memberi gairah mendefinisikan Jawa dengan progresif dan konstruktif.
Kita memperingati Budi Utomo tak sekadar sulut nasionalisme dan pembesaran makna (politik) Indonesia. Sejarah Budi Utomo sejak mula adalah sejarah adab dan bahasa. Pemaknaan Jawa di awal abad XX dalam naungan nilai-nilai kepriayian dan nalar-imajinasi Barat menimbulkan sengatan atas pribadi Jawa di zaman modern.
Budi Utomo mengingatkan narasi biografi pribadi Jawa saat ingin mendefinisikan Jawa di mata kolonial dan rakyat. Sejarah itu bakal jadi ingatan kita untuk menafsirkan ulang Jawa di abad XXI. Jawa tentu tak mesti mengartikan kesilaman-kekunoan. Jawa mesti terus bergerak menapaki masa depan dengan kontradiksi dan kerancuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya