SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Kekhawatiran itu akhirnya datang juga. Sesuatu yang diharapkan absen setelah 10 tahun. Polarisasi menjelang pemilu. Hampir 10 tahun kita mengalami polarisasi secara politik. Ibaratnya, darah dan air mata akibat polarisasi belum kering, kita akan kembali dihajar oleh hal sama menjelang Pemilu 2024.

Pada Pemilu Presiden 2014, lalu Pemilihan Gubernur DKI 2017, dan Pemilu Presiden 2019, kita betul-betul terbelah. Seakan orang Indonesia itu hanya ada dua jenis, kadrun dan cebong atau kampret. Keduanya saling menyerang. Teman menjadi lawan. Keluarga menjadi terpecah. WhatsApp Group (WAG) keluarga atau komunitas bubar gara-gara keterbelahan ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saya mengalami sendiri di  WAG keluarga, sesama saudara ngelek-elek gara-gara beda pilihan politik menjelang hingga seusai Pemilu 2019.

Anggota WAG awalnya mengirim konten yang menyerang capres X yang bukan pilihannya. Tentu saja anggota WAG pendukung capres X bereaksi. Caranya dengan membantahnya, sekaligus menjelek-jelekkan capres Y yang  didukung oleh anggota  lain WAG. Akhirnya  yang terjadi  tidak hanya saling menjelekken capres, tetapi juga menyinggung anggota WAG. Anggota WAG lain pada diam, malas menanggapinya. Perseteruan di antara keluarga gara-gara politik itu memaksa anggota lain WAG memilih keluar. Tak hanya anggota WAG pada keluar, admin akhirnya memilih menutupnya. WAG keluarga besar saya bubar. Tak ada manfaatnya. Lebih banyak mudaratnya.

Ah, itu masa lalu. Demikian harapan kita. Tetapi, kekhawatiran itu akhirnya datang juga. Menjelang Pemilu 2024, istilah kadrun, cebong, kampret, kembali mengemuka. Bahkan, dalam beberapa hari ini, muncul istilah baru: nasdrun. Digunakan oleh influencer di Twitter, lalu direproduksi oleh influencer politik. Nasdrun adalah akronim dari Nasdem kadrun. Istilah itu muncul setelah Partai Nasdem menjadikan Anies Baswedan sebagai calon presiden.

Saya tidak memberi komentar soal calon presiden. Itu domain politik. Yang disayangkan adalah munculnya istilah itu merupakan bibit-bibit dari polarisasi politik sebagaimana terjadi pada 2014, 2017, dan 2019. Ketika orang menggunakan istilah itu, cebong, kampret, kadrun, maupun istilah baru nasdrun, sebenarnya dia telah mendegradasikan diri ke tempat hina.

Kenapa demikian? Dia menjadikan politik sebagai alat untuk menyerang orang lain dengan cara menghina, memojokkan, hingga kalau perlu memfitnah. Semua demi kepentingan dia dan kelompoknya agar menang secara politik. Berpolitik dengan cara demikian sama saja dengan menghina diri sendiri.

Setelah partai-partai mengajukan calon presiden, dipastikan akan muncul istilah-istilah baru yang berasosiasi dengan cebong, kampret, kadrun, dan sejenisnya. Dipastikan pula, akan memuncukan ketegangan-ketegangan baru. Siapa sih yang suka disebut cebong, kadrun, atau istilah lain. Otomatis dia akan membalasnya dengan istilah sejenis.

Padahal berpolitik adalah strategi memperjuangkan aspirasi dan kepentingan demi kesejahteraan bersama. Yang kelihatan sekarang adalah politik menyerang kelompok lain yang berbeda. Di sinilah terjadi polarisasi. Polarisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Dalam Pemilu  2014 dan 2019, terjadi polarisasi antara pendukung Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Walau kemudian Prabowo bergabung dengan Jokowi dalam satu kubu, tidak serta merta polarisasi berkurang.

Polarisasi di Indonesia menjadi perhatian oleh pengamat politik dan indonesianis. Dalam buku Demokrasi di Indonesia dari Stagnasi ke Regresi, Eve Warburton menulis polarisasi ini menurunkan kualitas demokrasi. Fenomena ini  sebenarnya terjadi di berbagai negara seperti Amerika Serikat saat dipimpin Donald Trump, serta Turki pada masa Recep Tayyip Erdogan dan India yang dipimpin Narendra Modi saat ini.

Kondisi Indonesia, menurut Warburton, belum separah di tiga negara tadi. Tetapi, Pemilu 2014 dan 2019 serta Pilkada DKI 2017 menunjukkan fase baru polarisasi di Indonesia. Pembelahan terjadi antara partai dan kelompok nasionalis dan Islam. Seakan keduanya itu dua zat yang tidak bisa bersatu. Bagaikan minyak dan air.

Para pengamat Indonesia melihat polarisasi meningkat pada era Presiden Joko Widodo dibandingkan sebelum-sebelumnya. Ada tiga hal penanda polarisasi parah. Pertama, warga atau elite terbelah sehingga muncul istilah “kita versus mereka”. Tak cukup menjadikan “mereka” sebagai pesaing, juga liyan yang tidak perlu diakui keberadaannya.

Kedua, dalam kondisi masyarakat terpolarisasi, petahana atau penguasa membingkai lawan politik dengan menyebut musuh negara. Menggunakan regulasi, penguasa menekan dan mengintimidasi lawan politik.

Ketiga, eskalasi meningkat, terjadi polarisasi afektif. Polarisasi menyebabkan antipasti terhadap kelompok liyan. Orang begitu mudah mengekspresikan ketidaksukaan dan permusuhan kepada kubu lawan. Ekspresi ini terjadi di media sosial, di lingkungan masyarakat, dunia kerja, hingga keluarga.

Selain tiga hal tadi, tanda lainnya adalah merebak hoaks. Pada Pemilu 2019, menjelang pencoblosan hingga sesudahnya, Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) melihat hoaks, fitnah, dan hasut itu makin intensif muncul baik di media perpesanan hingga media sosial. Pada 2018 muncul 997 hoaks, lalu 1.221 hoaks pada 2019. Rata-rata sehari terdapat tiga hoaks yang mncul.

Ketika eskalasi polarisasi meningkat, terjadi demonisasi. Mengibliskan pihak lawan. Demonisasi yang “naik kelas” ditandai kekerasan antarkelompok meningkat. Menjadikan kelompok lain sebagai iblis akan menjadi lisensi  untuk melakukan kekerasan kepada kelompok lain. Polarisasi inilah yang akan menurunkan kualitas demokrasi.

Apakah tanda-tanda polarisasi parah itu berlangsung di Indonesia? Apakah itu terjadi pada Anda dan keluarga? Apakah tanda-tanda itu mudah ditemui di media sosial dan komunitas yang Anda ikuti. Silakan pembaca budiman menilainya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya