SOLOPOS.COM - Sih Yuanti, bersama ayahnya, mendiang Sri Joko, membidani kelahiran BPR Artha Sari Sentosa yang lahir di tengah situasi krisis di Tanah Air pada 1997. (Cahyadi Kurniawan/Solopos)

Solopos.com, SUKOHARJO–Krisis menjadi tantangan sekaligus guru yang baik dalam mengasah kepiawaian Sih Yuanti, 51, menggeluti dunia perbankan. Tangan dinginnya berhasil mengantarkan BPR Artha Sari Sentosa tetap eksis pada usianya yang hampir seperempat abad itu.

Yuyun, panggilan akrab Sih Yuanti, bersama ayahnya, mendiang Sri Joko, membidani kelahiran BPR Artha Sari Sentosa yang lahir di tengah situasi krisis di Tanah Air pada 1997. Suku bunga bank yang melangit membuatnya tak bisa menyalurkan kredit. Sangking tingginya, ada bank yang memberikan bunga hingga 55 persen per bulan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Minimnya pengalaman mendorong lulusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini harus cermat membaca situasi. Ia membidik pedagang kecil sebagai nasabah yang saat itu belum banyak kompetitor. Peluang itu makin kuat lantaran sosok ayahandanya dikenal dekat dengan para pedagang pasar Tawangsari, Sukoharjo.

“Kami berangkat dari pasar. Almarhum Bapak [Sri Joko] sangat dikenal di pasar, sehingga kami bisa mengalurkan kredit kecil-kecil,” kata Yuyun yang menjabat Komisaris Utama BPR Artha Sari Sentosa, saat berbincang dengan Solopos.com di kantornya, beberapa waktu yang lalu.

Ekspedisi Mudik 2024

Baca Juga: UMKM Indonesia Dinilai Susah Ekspor, Ini 5 Biang Keladinya

Selamat dari krisis ekonomi ’98, ketangguhan Yuyun menakhodai BPR Artha Sari Sentosa kembali diuji pada 2005/2006. Saat itu, booming bank-bank konvensional mulai menggarap sektor mikro, sektor yang selama ini digarap para BPR.

Bahkan, bank-bank konvensional ini merekrut karyawan-karyawan BPR dengan tawaran gaji yang lebih tinggi. Kabar buruknya, bukan hanya SDM, data-data nasabah yang dibawa SDM juga ikut “hijrah” ke kantor barunya. Para nasabah lalu digelontor kredit yang lebih besar pula.

Yuyun bingung. Lebih dari separuh karyawannya pindah ke bank konvensional. Ia komplain kepada Bank Indonesia (BI) soal bank konvensional yang menggarap sektor mikro. BI menolak komplainnya dan menyatakan ini merupakan persaingan sempurna.

“Kami harus punya bargaining position. Harus kuat. Internal kami benahi. Saya wawancara sendiri calon karyawan. Dari situ sudah mulai terbentuk orang-orang loyal, handarbeni, dan percaya sama kami,” kenang dia.

Baca Juga: OJK Ungkap Orang Indonesia Belanja Asuransi Hanya Rp145.000 Per Bulan

Fintech dan Pandemi

BPR Artha Sari Sentosa sukses melewati gelombang besar serbuan bank-bank konvensional ke sektor mikro. Namun, itu bukanlah tantangan yang terakhir. Kini, ia harus menghadapi pesaing yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya, financial technology (fintech).

Perempuan kelahiran Sukoharjo, 23 Januari 1970 ini sebetulnya ingin memanfaatkan situasi ini untuk mengembangkan aplikasi digital perbankan. Pada 2018, ia menggagas bikin BPR Link. Aplikasinya dikembangkan oleh perusahaan IT miliknya, PT Wijaya Pura Digital Solusi di mana ia menjabat posisi direktur.

Saat itu, ia menemui berkonsultasi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal gagasannya. OJK mengapresiasi, namun aplikasi besutannya masuk kategori payment gateway. Artinya, Yuyun harus mengurus perizinan ke kantor BI di Jakarta. “Hlah kapan ini bisa dapat? Itu tiga tahun lalu ha-ha-ha,” tutur Yuyun sembari tertawa.

Baca Juga: Citi Tutup Bisnis Ritel Di Indonesia, Ini Tanggapan Bos OJK

Sebagai gantinya, ibu tiga anak ini membikin aplikasi sederhana untuk simulasi kredit bagi nasabah di laman resmi BPR Artha Sari Sentosa. Ia kini tengah mengembangkan aplikasi digital banking. Aplikasi ini hanya bisa melihat saldo, tapi tidak bisa payment gateway lantaran dibatasi aturan.

Setelah fintech, Yuyun harus kembali mengencangkan ikat pinggang pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Dampak ini makin dalam dirasakan seiring kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemerintah meminta perbankan menangguhkan angsuran kredit hingga setahun ke depan.

“Kami tertolong relaksasi yang dikeluarkan OJK. Ada restrukturisasi, ada subsidi bunga, dan itu tidak termasuk NPL [non-performing loan]. Secara riil kan kami terganggu. Kami harus gaji karyawan, bayar iuran, dan lainnya. Kami harus mikir sendiri,” ujar perempuan penyuka soto ini.

Baca Juga: Neraca Jahe Dalam Negeri Masih Positif, Ini Penjelasan Kementan

Pandemi juga berimbas kepada masyarakat kecil yang menjadi nasabah BPR Artha Sari Sentosa. Ia terpaksa mengerem penyaluran kredit lantaran sulit mencari bisnis yang tidak terdampak. Selama ini kredit lazim disalurkan kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah di bidang pertanian, perkebunan, perdagangan, dan lainnya.

Sebaliknya, dana yang dihimpun dari nasabah justru meningkat. Ia membikin produk simpanan senilai Rp10 juta berhadiah sepeda yang saat itu sedang tren. Syaratnya, simpanan ini harus mengendap dalam jangka waktu tertentu. “Ini laku karena pada saat bersamaan orang senang gowes,” tutur perempuan penyuka sejarah ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya