Solopos.com, SOLO — Bharada E, tersangka pembunuhan Brigadir J, disebut mengajukan diri sebagai justice collaborator alias saksi pelaku kasus yang menyebabkan rekannya itu meninggal. Lalu, apa itu justice collaborator?
Nantinya Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E akan mengajukan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena dia adalah saksi kunci terkait kasus pembunuhan Brigadir J.
Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda
Hal itu disampaikan kuasa hukum baru Bharada E, yakni Deolipa Yumara, saat berada di Bareskrim Polri, Minggu (7/8/2022).
“Tentunya kami dalam kacamata konteks hukum, penting [Bharada E] untuk dilindungi sebagai saksi kunci meski tersangka. Kami bersepakat yasudah kami ajukan diri [Bharada E] sebagai justice collaborator dan kami meminta perlindungan hukum ke LPSK,” tutur Deolipa.
Nah, apa itu justice collaborator?
Baca Juga : Bharada E Mau Jadi Justice Collaborator Kasus Pembunuhan Brigadir J
Justice collaborator menjadi peran kunci dalam membuka tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh penegak hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerja sama dengan penegak hukum.
Peran kunci yang dimiliki justice collaborator ini ada tiga, seperti penjelasan kriminolog, Ahmad Sofian, yang dikutip Solopos.com dari tulisannya pada laman Universitas Bina Nusantara pada https://business-law.binus.ac.id/, Minggu (7/8/2022).
- Untuk mengungkap tindak pidana atau akan terjadi tindak pidana sehingga pengembalian aset dari hasil tindak pidan bisa dicapai kepada negara.
- Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Kedudukan justice collaborator merupakan saksi sekaligus tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan. Keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana.
Masih menurut ahli dalam perlindungan hak-hak anak ini justice collaborator kali pertama diperkenalkan di Amerika Serikat tahun 1970-an. Saat itu justice collaborator menjadi norma hukum di AS karena perilaku mafia yang tutup mulut.
Baca Juga : Bharada E Jadi Tumbal Pelaku Pembunuhan Brigadir J?
Dasar Hukum
Lalu, justice collaborator berkembang ke beberapa negara, yakni Italia tahun 1979, Portugal tahun 1980, Spanyol tahun 1981, Prancis tahun 1986, dan Jerman tahun 1989.
Dalam perkembangan pada konverensi Anti Korupsi atau United Nation Convention Againts Corruption (UNAC) Pasal 37 ayat (2) dan (3) adalah penanganan kasus khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi yang ingin bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
Kerja sama antara pelaku dengan penegak hukum dikenal dengan justice collaborator. Indonesia meratifikasi Konvensi UNAC melalui UU No.7/2006 tentang Pengesahan UNAC 2003.
Justice collaborator diatur dalam sejumlah aturan:
- UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
- UU No.31/2014 perubahan atas UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.04/2011.
- Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Baca Juga : Apakah Tersangka Bharada E Bisa Dapat Perlindungan LPSK? Begini Katanya
Selanjutnya pada SEMA No.04/2011 diberikan pedoman kepada hakim dalam menjatuhkan pidana kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria:
- Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut.
- JPU telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana.