SOLOPOS.COM - Muh Kholid AS, Alumnus Ponpes Al-Mukmin, Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo

Muh Kholid AS, Alumnus Ponpes Al-Mukmin, Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo

Umat Islam dipastikan berbeda hari dalam menyambut Ramadan 1433 Hijriyah, 20 dan 21 Juli 2012. Perbedaan ini dikarenakan hilal sebagai penanda kedatangan bulan baru berstatus “kritis” dengan posisi kurang dari dua derajat. Bagi yang berpegang pada wujudul hilal, kondisi ini tidak mempengaruhi keyakinan akan kedatangan bulan baru. Sebaliknya, kalangan rukyat dan imkanurukyat, mustahil akan menerima klaim tersebut karena syarat ilmu pengetahuan yang menandai “keterlihatan” hilal belum terpenuhi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Perbedaan kriteria tentang awal bulan baru Hijriyah sebenarnya bukan sesuatu yang baru, bahkan jarang menimbulkan “kegaduhan”. Baru dalam satu tahun terakhir, terutama setelah geger sidang isbat (penetapan) Idul Fitri 2011, penghormatan atas perbedaan itu mulai luntur dengan tameng persatuan umat. Sama halnya menjelang penetapan awal Ramadan 2012, sikap non-tasamuh (toleransi) itu juga mulai terlontar ke publik dengan cara mengecam pihak yang berbeda dengan mainstream.

Upaya “mempersatukan” umat Islam dalam menyambut festival keagamaan seperti Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha, memang patut dihargai. Namun, apresiasi ini tentu bukan legitimasi untuk pemaksaan pemahaman, apalagi menyeret institusi negara diikutsertakan sebagai institusi keagamaan. Sebab, masing-masing kalangan yang berbeda itu memiliki dalil dan dalih yang bisa dipertanggungjawabkan.

Merujuk pada sumber primer Islam, kata (imkanur) rukyat maupun hisab, sebenarnya tidak tersurat dalam Alquran. Perintah berpuasa maupun berhari raya tercantum dalam kalimat faman syahida minkum al-syahra falyashumh (QS al-Baqarah: 185). Kata kunci yang digunakan adalah bulan baru (new month), bukan cara “melihat atau mengetahui” hilal, yang kemudian hari berkembang pada metode hisab, rukyat dan imkanurrukyat.

Berangkat dari diktum ini, kalangan (imkanur) rukyat memaknai syahida sebagai melihat dengan mata kepala (bi al-‘ain) –juga teropong–, maupun dengan kriteria tertentu yang mempersyaratkan hilal kemungkinan bisa terlihat. Sementara bagi yang berpegang hisab, kata syahida tidak bisa dipersempit hanya melihat dengan mata kepala tetapi juga dengan penalaran ilmiah (bil ‘aqli wa al-ma’rifatih). Sebab, meminjam istilah al-Ashfahani dalam al-Mufradat fiy Gharib al-Quran, syahida ternyata bisa berarti melihat dengan al-bashar (mata) dan al-bashirah (penalaran ilmu).

Jika dalil pokoknya telah melahirkan perbedaan, perbedaan lebih banyak juga muncul dari bayan ayat puasa (hadis) yang berbicara rukyat. Perbedaan ini adalah lumrah mengingat Alquran sendiri memberi ruang terjadinya multitafsir. Dalam penelitian T Saksono (2001), rukyat (ra’a) dengan segala variannya disebut Alquran sebanyak 297 kali: 75,08 persen bermakna melihat secara kognitif, dan 24,92 persen yang bermakna melihat secara visual.

Secara doktrin maupun sosiologis, sikap terbaik untuk menyikapi perbedaan melihat hilal adalah saling mengapresiasi. Selama kedua metode yang sama-sama punya dalil naqli dan aqli itu belum bersepakat maka yang perlu dikembangkan adalah sikap saling menghormati dalam suasana kesatuan dan persatuan (bukan sekadar bersama-sama) serta saling membantu, meskipun berbeda hari. Merujuk QS al-Hujurat: 10, sepanjang iman masih dalam dada maka seberapa besar perbedaan di antara paham dalam Islam pasti dapat dipersaudarakan.

Selain itu, argumentasi sosiologis bahwa perbedaan penentuan awal bulan menimbulkan disharmoni di kalangan umat Islam, juga pantas dipertanyakan. Sebab, perbedaan dalam menjalankan ibadah bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini. Selain pengalaman perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha yang sudah berulang kali, juga ada perbedaan jumlah rakaat Salat Tarawih, kunut dalam Salat Subuh dan masih banyak lagi. Nyatanya, perbedaan itu berjalan biasa bahkan hampir tidak menimbulkan gejolak berarti.

Ketidakmasalahan atas perbedaan di tingkat awam ini karena mereka cukup dewasa dalam memahami ijtihad penentuan awal bulan Hijriyah. Perbedaan justru mencuat menjadi penyebab perseteruan kalau dibesar-besarkan oleh para elite yang seperti tidak bisa menerima perbedaan. Seperti yang terjadi dalam penentuan Idul Fitri 1432 H, “gejolak” hanya terjadi di sekian elite yang saling tidak bisa menjaga etika berbeda pendapat. Mereka sering kali berkoar atas nama keresahan umat meski kenyataan lapangan justru memperlihatkan realitas sebaliknya.

Jika alasannya adalah menimbulkan gejolak di internal komunitasnya, masalah ini justru tantangan bagi mereka untuk memberi pencerahan dan pencerdasan. Sebab, keberadaan mereka sangat mempengaruhi untuk membangun kerukunan di masyarakat serta mempererat jalinan interaksi dan komunikasi antar warga. Sehingga, kalangan umat yang tidak bisa menerima perbedaan seharusnya disadarkan bahwa masalah itu masih dalam koridor Islam, yang tentunya harus dihormati.

Yang jelas, keyakinan kedatangan hilal yang terkait erat dengan pelaksanaan ibadah mahdlah seperti puasa Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha, tentu tidak bisa diberangus demi “kebersamaan” waktu. Sebab, tidak mungkin seseorang yang meyakini hari tertentu sudah bertanggal 1 Ramadan, harus menunda puasa. Karena, dalam dirinya sudah tertanam keyakinan bahwa hukum berpuasa 1 Ramadan adalah wajib. Begitu juga sebaliknya, tidak mungkin seseorang dipaksa berpuasa jika dirinya masih berkeyakinan bahwa hari itu belum masuk Ramadan.

Karena perbedaan hisab dan rukyat tersangkut dengan keyakinan keagamaan, siapa pun boleh setuju atau tidak setuju. Sebab, keyakinan itu terkait dengan kesadaran Ilahiah yang autentik dan tidak bisa dibatasi oleh rumus-rumus legal dan formal. Keinginan membangun ukhuwah tentu tidak dimaksudkan untuk menyamakan semua masalah dalam Islam yang sejatinya memang memiliki perbedaan.

Sementara pemerintah harus bertindak adil dan bijaksana dalam memberikan kemudahan, perlindungan dan pengamanan yang sama kepada masyarakat yang berbeda pendapat dalam penentuan awal bulan qamariyah. Sebab, institusi negara bukanlah aktor keagamaan yang memihak, melainkan birokrat yang tidak bertugas mengurusi praktik keagamaan. Jika memang ada prinsip yang belum bisa dipersatukan, yang harus dilakukan adalah menjamin kebebasan beragama/kepercayaan warga negaranya secara adil. Allah a’lam bi al-shawab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya