SOLOPOS.COM - Sholahuddin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Seorang  teman bercerita. Dia tengah ”jatuh cinta” dengan artifical intelligence (AI) yang saat ini jadi perbincangan publik, yakni Chat GPT. Kawan saya itu tidak hanya memanfaatkan Chat GPT untuk mencari informasi, tempat bertanya.

Lebih jauh lagi ia menjadikan kecerdasan buatan tersebut sebagai partner berdialog, bahkan partner bergibah. Kawan saya itu menggunakan platform chat.openai.com. Awalnya saya tidak tertarik. Setelah terprovoksi, saya mencobanya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Chat GPT sesungguhnya adalah chatbot berbasis kecerdasan buatan yang dikembangkan Open AI, sebuah perusahaan pengembang AI yang dibuat oleh Elon Musk, pebisnis besar asal Amerika Serikat.

Dengan platform tersebut, pengguna tinggal mengetik pertanyaan di chatbot. Mesin akan menjawab dengan mengetik teks dalam bentuk tulisan, layaknya kita mengobrol dengan orang lain menggunakan aplikasi percakapan.

Kita bisa bertanya lagi untuk memperdalam jawab Chat GPT kalau kita belum puas. Kita bisa mengobrol dengan bot (robot) ini  tentang tema apa saja. Meski sudah menggunakan aplikasi Chat GPT ini, saya belum bisa berdialog secara ”akrab”  dengan aplikasi ini.

Saya masih apriori. Saya sedang berdialog dengan robot, bukan dengan manusia yang lazim selama ini. Seperti temuan teknologi sebelumnya, Chat GPT akan banyak mengubah perilaku manusia dalam berdialog.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan dialog sesungguhnya adalah percakapan. Dalam keseharian, percakapan bisa dilakukan secara lisan maupun tulisan. Baik secara langsung maupun melalui perantara tekonologi. Bisa dua pihak, atau lebih.

Galibnya dialog terjadi dalam komunikasi antara manusia satu dengan manusia lain. Dialog bisa membahas tema saja, dari yang ringan-ringan hingga perbincangan serius terkait ilmu pengetahuan. Lah, ini dialog kok antara individu dengan mesin?

Ya, namanya juga mesin, tentu tidak mungkin bisa menjawab semua pertanyaan pengguna, apalagi kalau pertanyaannya ”aneh-aneh”. Mesin akan menginformasikan tidak ada data untuk menjawab atau menyarankan mencari dengan mesin pencarian online.

Model dialog dengan mesin ini membuat sebagian orang khawatir. Dalam sebuah grup aplikasi percakapan yang saya ikuti, ada teman yang mengatakan Chat GPT akan menggantikan peran guru, dosen, para pakar ilmu pengetahuan, termasuk menggantikan peran psikolog karena pengguna bisa mencurahkan isi hati kepada Chat GPT saat menemui masalah.

Menurut saya, sesungguhnya ini kekhawatiran yang berlebihan. Kecerdasan buatan Chat GPT tidak akan bisa menggantikan peran manusia sebagai sumber informasi dan pengetahuan, seperti guru, dosen, dan pekerjaan atau profesi lainnya.

Teknologi, apa pun bentuknya, sekadar alat membantu agar kerja manusia menjadi lebih mudah. Bahwa ada kerja-kerja manusia yang bisa digantikan mesin, itu memang keniscayaan, tapi tidak semua, apalagi kalau yang akan digantikan adalah karya kreatif dalam bentuk informasi dan pengetahuan.  Kecerdasan buatan tak bisa menyamai sentuhan kreativitas manusia.

Alat Bantu

Bagi saya, Chat GPT hanyalah sebagai alat bantu manusia untuk menemukan informasi, data, dan pengetahuan secara cepat. Saya akan memperlakukan informasi dari mesin Chat GPT sebagai clue (petunjuk) untuk menemukan informasi dari sumber-sumber yang lebih sahih.

Tentu dengan metode maupun metodologi yang bisa dipertanggungjawabakan. Masih perlu proses verifikasi panjang untuk menemukan ”kebenaran” yang akan kita cari. Jawaban mesin tidak bisa diterima begitu saja sebagai rujukan ilmu pengetahuan.

Jawaban mesin tidak bisa digunakan sebagai sumber ilmiah maupun akademis. Secanggih apa pun AI, tetaplah bekerja secara mekanis. AI bekerja sesuai ”desain” sang pembuat. Mesin tak punya akal budi. Tak bisa melihat konteks. Tanpa perspektif.

Kalau ada perspektif, ya tentu sesuai perspektif sang pembuatnya. Belum tentu sesuai dengan perspekif pengguna. Verifikasi panjang ini sangat penting untuk menemukan ”makna” dalam produksi informasi dan pengetahuan melalui proses dialog.

Pada akhirnya, penggunaan Chat GPT sangat tergantung pada penggunanya. Mau buat apa aplikasi ini? Sebagai alat bantu menemukan informasi berbagai pertanyaan seputar hidup manusia, atau, bagi yang berjiwa instan, sebagai alat untuk membuat naskah teks dalam tempo cepat.

Coba Anda ketik ”tolong saya dibuatkan naskah khotbah Jumat” di aplikasi itu. Dalam beberapa detik mesin menuliskan naskah khotbah Jumat dengan tema sesuai pilihan mesin.  Tentu naskah khotbah Jumat tidak termasuk kutipan ayat suci atau doa dalam tulisan berbahasa Arab.

Pejabat publik yang kesulitan membuat naskah pidato bisa meminta Chat GPT membantu membuatkan. Mahasiswa yang puyeng mengerjakan tugas dari dosen untuk membuat makalah, tinggal mengetikkan permintaan di Chat GPT. Makalah segera tersaji di depan mata.

Para jurnalis yang kehabisan ide membuat karya jurnalistik tema tertentu, bisa berkonsultasi dengan Chat GPT. Mesin akan menyodorkan beberapa tema liputan jurnalistik yang bisa dipilih.

Saya memahami dialog adalah proses panjang untuk menemukan makna hidup. Menemukan pengetahuan baru. Menemukan hikmah hidup. Sejarah dan peradaban lahir dari proses dialog panjang para aktor sejarah masa lalu.

Peradaban baru akan lahir dari kesediaan manusia untuk secara terbuka membangun dialog untuk menemukan kebenaran. Saya tidak tahu berdialog dengan mesin ala Chat GPT ini akan memperkaya peradaban atau sebaliknya justru akan mematikan peradaban. Sejarah yang nanti akan menjawab…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Februari 2023. Penulis adalah pegiat Solopos Institute)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya