SOLOPOS.COM - Pajak beras. (Freepik.com)

Solopos.com, JAKARTA — Pemerintah nekat mengenakan pajak pertambahan nilai untuk bahan pokok seperti beras dan sembako lainnya. Pemerintah perlu mewaspadai lonjakan angka kemiskinan menyusul rencana otoritas fiskal mengenakan pungutan PPN untuk bahan pokok tersebut.

Rencana pengenaan pajak pertambahan nilai untuk kebutuhan pokok termasuk beras dan sembako itu diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Risiko itu kian besar sejalan dengan dihapuskannya sejumlah program bantuan sosial untuk kebutuhan pokok pada tahun ini dan tahun depan.

Promosi BRI Lakukan Penyesuaian Jam Operasional Selama Ramadan, Cek Info Lengkapnya

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai penerapan PPN untuk kebutuhan pokok yang tidak diimbangi dengan bantuan sosial bakal meningkatkan angka kemiskinan. Pasalnya, bahan makanan menyumbang 73,8 persen dari total komponen garis kemiskinan.

Baca Juga: Ini Jadwal Siaran Langsung Euro 2020 & Stasiun Televisinya...

“Sensitivitas harga makanan ke jumlah orang miskin perlu dicermati. Daya beli bisa langsung turun dan kontraproduktif dengan upaya mengurangi angka kemiskinan selama pandemi,” kata dia seperti dikutip dari koran Bisnis Indonesia, Selasa (9/6/2021).

Menurutnya, pengenaan pajak petambahan nilai secara otomatis akan mengerek harga jual barang kebutuhan pokok baik itu beras atau sembako lain. Adapun kelompok yang paling terdampak dari kebijakan ini adalah masyarakat miskin.

Bhima menambahkan, risiko lain yang juga perlu dicermati oleh pemerintah dalam menyusun kebijakan ini adalah adanya lonjakan inflasi kebutuhan pokok yang tidak terkendali. “Dampaknya berisiko meningkatkan inflasi kebutuhan pokok. Barang kebutuhan pokok yang sebelumnya dikecualikan dari objek PPN kemudian dikenakan PPN harga akan bertambah mahal,” ujarnya.

Pertumbuhan Ekonomi 2%-3%

Menurutnya, jika pemerintah bersikeras melaksanakan kebijakan PPN yang baru, maka pertumbuhan ekonomi pada tahun depan diperkirakan berkisar 2%-3% di bawah asumsi APBN, yakni di atas 5%.

Jika terealisasi, kebijakan fiskal ini kontradiktif dengan target-target pemerintah dalam menekan angka kemiskinan yang dipatok ke level 9,2 persen pada akhir tahun ini. Faktanya, selama pandemi Covid-19 angka kemiskinan di Tanah Air melejit.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin pada September 2020 mencapai 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada periode September 2020, tingkat kemiskinan menjadi 10,19 persen atau meningkat 0,97 poin persentase (pp) dari 9,22 persen pada September 2019. Dampak pandemi mulai dirasakan pada kuartal I/2020 yaitu persentase penduduk miskin naik menjadi 9,78 persen atau naik 0,37 pp dibandingkan dengan Maret 2019.

Secara jumlah orang, penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta orang, meningkat 2,76 juta orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adapun secara spasial, persentase penduduk miskin perdesaan per September 2020 naik menjadi 13,20% dari 12,6% pada September 2019.

Persentase penduduk miskin perkotaan mengalami kenaikan menjadi 7,88% dibandingkan dengan September 2019 yang hanya 6,56%. Hal ini sebagai akibat terjadinya penurunan aktivitas ekonomi di seluruh wilayah.

Berdasarkan berkas rumusan RUU Ketentuan Umum Perpajakan yang diperoleh Bisnis, ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN barang kebutuhan pokok ini. Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1 persen.

KLIK dan LIKE untuk lebih banyak berita Solopos

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya