SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa)

Gaduh banget. Inilah yang kita hadapi hari-hari ini. Tiada henti. Pinjam kata orang Solo, kita belum dong bener atas sebuah isu atau peristiwa, sudah bergerak ke isu atau peristiwa yang lain.

Belum tuntas apa yang sebenarnya terjadi dengan kasus Ferdy Sambo, kita sudah geser mengonsumsi info dari media yang berame-rame ngasih panggung soal isu kenaikan harga bahan bakar minyak. Dan kini, Bjorka.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tidak, atau setidaknya, belum tuntas. Tidak, atau setidaknya, masyarakat belum tercerahkan. Apa yang sesungguhnya terjadi di sekeliling kita? Blurr. Mirip pandangan Tom Rosenstiel, penulis buku dengan judul yang sama.

Kita dijejali banyak sekali informasi. Tapi kita tak tahu mana yang benar,mana salah. Tapi kebanyakan, untuk tidak mengatakan semua, ikut arus deras informasi itu. Yang di-drive oleh, terutama, media sosial.

Kala disebut trending topic, lalu kebanyakan ikut-ikutan. Kalau tidak ikutan, takut ketinggalan. Perilaku FOMO alias fear of missing out, jadi tampak dominan. Ternyata, manusia modern yang sudah diperhamba oleh gadget—akibat liberalisasi digital—tak jauh beda, maaf, dengan biri-biri.

Maafkan kalau saya pinjam istilah economic behavior: herd instinct. Naluri biri-biri. Seperti gerombolan, ngikutin saja siapa yang leading di depan. Tak peduli pembawa gerombolan (trending topic) itu akan pergi ke mana.

Buat saya, yang kita saksikan dan alami sehari-hari, kini, adalah perilaku herd instinct itu. Naluri untuk mengikuti stimulus tertentu. Dalam konteks informasi yang difasilitasi teknologi, stimulannya adalah “rangsangan keingin tahuan”. Tak dipungkiri, suka tak suka, begitulah kenyataannya.

Mungkin itulah yang disebut dinamika sosial, yang dikendalikan oleh perkembangan teknologi, hari ini. Opini publik, kini benar-benar buyar. Kata penggemar almarhum Didi kempot, “ambyar”.

Betapatidak? Cobasaja Anda googling,berselancar di mesin pencari. Dalam satu hari, tak sulit menemukan ribuan judul yang sama—setidaknya kurang lebih sama—di berbagai platform media, termasuk media digital. Juga di media sosial.

Bila informasinya benar, tentu saja masyarakat tercerahkan. Sebaliknya, apabila ternyata infonya keliru, publik menjadi korban prank massal. Kasus Ferdy Sambo adalah contoh nyata.

Hari-hari pertama kasus itu terkuak pada 12 Juli 2022, judul pemberitaan ribuan media nyaris sama. Begini kira-kira: “Brigadir J tewas ditembak karena lecehkan dan todongkan senjata ke istri Kadiv Propam“. Ribuan judul berita bernada seragam. Karena teknologi media berjejaring, atau media networking.

Tak hanya perilaku masyarakat yang FOMO, medianya juga takut ketinggalan. Akhirnya bergegas menerbitkan cerita yang seragam. Bila Anda masih ingat, kasus ini mengulang kisah “Ratna Sarumpaet dianiaya” pada tahun 2019 silam. Yang kemudian terbukti prank.

***

Sejak kemarin sore, saya iseng-iseng searching di mesin pencari Google. Dan saya tidak kaget, bila hari ini dengan mudah bisa menemukan ribuan judul berita yang juga serupa. Coba saja Anda googling dengan kata kunci: Bjorka.

Dan hasil pencarian mungkin mengejutkan Anda. Hanyadalam 0,6 detik, mesin pencari menjawab dengan lebih dari 103 juta hasil pencarian dengan kata kunci”Bjorka”. Dahsyat sekali.

Bahkan, saya bandingkan dengan kata kunci”Presiden Jokowi”, jumlahnya kalah jauh. Hanya 62,9 juta. Kendati begitu, dengan kata kunci “Jokowi”, ternyata Bjorka masih kalah. Kata kunci “Jokowi”, melontarkan 139 juta hasil pencarian dalam 0,6 detik. Maklum, Presiden Joko Widodo sudah memerintah lebih dari 8 tahun.

Bjorka juga masih kalah dari Ferdy Sambo dengan 119 juta hasil pencarian dalam 0,8 detik. Bahkan dengan kata kunci “Sambo” saja, didapat 167 juta hasil dalam 0,86 detik. Namun jangan lupa, kasus Ferdy Sambo sudah berjalan lebih dari dua bulan. Sebaliknya, cerita soal hacker Bjorka ini baru hitungan pekan.

Sebaliknya, jika dibandingkan dengan nama para tokoh dan politisi, popularitas Bjorka jauh di atas angin. Bahkan tidak satu pun nama-nama politisi yang disebut sebagai bakal calon presiden, mengalahkan kata kunci “Bjorka” di mesin pencari.

Saya coba cek, nama Puan Maharani, misalnya, hanya mendapatkan 12,4 juta. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hanya 20,2juta. Sedangkan Gubernur Jawa Tengah GanjarPranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Gubernur Jawa Timur Kofifah, masing-masing cuma11,2 juta, 16,6 juta dan 6,5 juta.

Saya coba searching nama tokoh lain, seperti Prabowo (29,3 juta), Airlangga Hartarto (4,9 juta) dan Tri Risma Harini (1,8juta). Mereka bertiga masih jauh di bawah Bjorka. Begitupun Erick Thohir (12,3juta). Tokoh yang relatif banyak ditemukan namanya di mesin pencari adalah Mahfud MD (48,7juta).

Yang pasti, jangan bandingkan dengan klub bola macam Manchester City, yang menempati 854 juta hasil pencarian. Namun City masih kalah dengan Liverpool (877 juta), dan Manchester United (896juta). Para supporter dan fans-nya berasal dari seluruh dunia!

***

Sebenarnya saya tidak ingin membahas Bjorka. Saya hanya ingin melihat fenomena yang jamak terjadi hari-hari ini. Fenomena di tengah-tengah masyarakat kerumunan (crowd society) di negeri ini.

Teknologi memang telah mengubah banyak hal. Nasihat kakek saya dulu: “Aja gampang gumunan, aja gampang kagetan, lan aja dumeh“, rupanya telah lama lenyap tersimpan di “museum” peradaban. Sudah lecek dan lusuh termakan kemajuan teknologi.



Faktanya, teknologi dan kemajuan zaman telah membuat banyak, untuk tidak mengatakan kebanyakan, masyarakat kita menjadi kagetan. Kerap gumunan pula. Dan reaktif. Dan sebaliknya, perilaku sebagian publik kita terbentuk menjadi masyarakat yang kurang pertimbangan. Nggak peduli dengan skenario “what if“, “bagaimana bila” dan “bagaimana jika”. Dan barangkali banyak yang kerap nggak peduli dengan implikasinya dari skenario tindakannya.

Maka saya tak heran dengan begitu gegap gempitanya kasus Sambo. Nggak nggumun juga kalau Bjorka menjadi sangat cepat populer. Karena rasa ingin tahu secara instan. Publik menyerap informasi secara instan, dan bereaksi pun dengan cara instan. Dan menyebarkannya secara instan pula.

Masyarakat secara mandiri telah menjadi produsen informasi, yang dimudahkan dengan jempol dan jari.Tak heran pula, bila sekeliling kita kemudian dipenuhi dengan ketidakjelasan. Bisa jadi, perilaku itu sangat dipahami oleh para buzzer dan hacktivist. Dan bisa jadi mereka semua menikmatinya.

Saya tidak ingin tahu siapa Bjorka sesungguhnya. Biar waktu yang akan menemukan jati dirinya.

Tapi saya peduli dengan lingkungan masyarakat yang begitu reaktif dibuatnya. Sama reaktifnya saat menanggapi kasus Sambo, dan aneka peristiwa lainnya. Masyarakat terkungkung oleh “gaduh virtual”, yang sedikit banyak menggerogoti energi produktif kita.

Yang pasti, liberalisasi digital, yang ditandai dengan ketersediaan infrastruktur teknologi (network atau jaringan), peranti canggih (device-gadget) dan aplikasi (apps) membutuhkan kematangan para penggunanya. Apalagi di tengah rivalitas politik yang kencang, serta demokratisasi yang masih mencari bentuk.

Bila tidak, masyarakat akan terus-menerus, dengan mudah, terombang-ambing ketidakjelasan. Liberalisasi digital memang menjadi berkah.Tapi tak kurang bukti sebaliknya, di sekeliling kita, bahwa liberalisasi telah mengirimkan bencana. Sekurangnya bencana sosial, jika kita tak segera menyadarinya.

 

Nah, bagaimanamenurut Anda?

(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya