SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia

Kesuksesan menggelar hajatan besar oleh pemerintah Indonesia dalam menjamu para tetamu kehormatan dari negeri jiran—pemimpin negara anggota ASEAN—menyisakan setitik noda yang tampaknya akan sulit dihapus. Noda seperti itu selayaknya tidak perlu terjadi seandainya panitia ASEAN Summit sedikit lebih cerdas.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Dari sisi penyelenggaraan pertemuan kepala pemerintahan anggota ASEAN itu sendiri, praktis mulus-mulus saja, nyaris tanpa cacat berarti. Noda tersebut justru terjadi akibat ketidakberesan panitia yang menangani akreditasi media yang akan meliput Konferensi Tingkat Tinggi 10 Pemimpin ASEAN di Jakarta.

Hingga hari-H acara pra-KTT mulai digelar pekan lalu, baik wartawan domestik maupun luar negeri mengeluh belum menerima konfirmasi atas registrasi yang mereka lakukan untuk meliput rangkaian acara yang diagendakan sebagai salah satu peristiwa amat penting oleh setidaknya media regional Asia Tenggara maupun Asia.

KTT yang digelar di Jakarta kali ini, sehubungan dengan posisi Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini, menandai sebuah milestone baru untuk memantapkan kesiapan bangsa-bangsa se-Asia Tenggara dengan jumlah penduduk keseluruhan sekitar 600 juta jiwa ini menjadi Masyarakat ASEAN pada 2015. Kendati masih ada perselisihan antarnegara—misalnya sengketa Thailand dan Kamboja, ke-10 negara sudah bersepakat bahwa pembentukan Masyarakat ASEAN tidak akan ditunda lagi.

Karena arti strategis ASEAN itulah, tidak sedikit wartawan dari berbagai penjuru dunia datang meliput acara tersebut dan ternyata mereka merasa masygul karena proses akreditasi untuk meliput acara tersebut tidak seperti pada berbagai event internasional di mana pun yang selama ini tampak rapi-jali.

Mengikuti pemberitaan maupun cerita langsung dari rekan-rekan peliput KTT tersebut, saya sungguh membayangkan betapa tidak cerdasnya panitia yang khusus menangani proses akreditasi bagi 600-an wartawan peliput acara tersebut. Belum lagi kisah tentang amburadulnya media center yang seharusnya menyediakan fasilitas bekerja berstandar internasional bagi media peliput.

“Dibandingkan dengan ketika Vietnam menjadi tuan rumah KTT ASEAN tahun lalu, kita kalah jauh… Mereka benar-benar profesional menangani registrasi maupun dalam penyediaan fasilitas peliputan. Saya heran apakah di negeri ini nggak ada lembaga yang profesional yang mampu menangani proses akreditasi media peliput acara besar…” kata seorang rekan peliput dari Bisnis Indonesia.

Berdasarkan catatan The Jakarta Post, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengalokasikan anggaran sekitar Rp 20 miliar untuk penanganan urusan media ini dan bahkan menyewa perusahaan event organizer segala. Namun, banyak wartawan yang mendaftarkan diri untuk acara tersebut mengaku tidak menerima konfirmasi setelah mendaftar secara online.

Promosi tak langsung
Saya jadi teringat ketika meliput KTT Konferensi Negara-negara Islam (OKI) di Dakkar, Senegal, beberapa tahun silam. Selain urusan pendaftaran yang tanpa cela, fasilitas peliputan juga di luar dugaan, tidak banyak berbeda dengan ketika meliput
event internasional lainnya seperti KTT APEC di Korsel, KTT OPEC di Riyadh dan banyak lagi.

Panitia pada berbagai acara berstandar internasional itu sadar bahwa wartawan yang datang meliput acara tersebut tidak menuntut untuk dimanjakan, tapi cukuplah disediakan identitas resmi, kemudahan untuk mengikuti jalannya acara, serta sekadar tempat dengan fasilitas yang dapat memudahkan mereka bekerja dan mengirimkan hasil pekerjaan ke media masing-masing.

Biasanya, apabila seorang wartawan puas melaksanakan pekerjaan di negara tertentu, tidak jarang dia juga akan menuliskan hal-hak positif tentang negara yang dikunjunginya itu dan ini merupakan promosi tidak langsung bagi negara tersebut. Sebaliknya, kalau mereka kecewa, bisa-bisa mereka akan ”bernyanyi” tentang berbagai ketidakberesan di acara itu sendiri maupun cerita-cerita tidak sedap tentang negara yang dikunjunginya.

Di sinilah kiranya hal yang sangat perlu disadari oleh siapa pun di negeri ini ketika berkesempatan menjadi tuan rumah suatu event internasional. Toh Indonesia bukan sekali ini bertindak sebagai tuan rumah acara berskala internasional. Berbagai acara KTT pernah terselenggara di negeri ini, diawali sejak Koferensi Asia Afrika di Bandung, yang gaungnya tak kunjung hilang beberapa dekade kemudian.

Setidaknya, kesan baik itu akan menjadi kampanye gethok tular (word-of-mouth campaign) yang relatif murah dan efektif bagi aneka produk yang dihasilkan bangsa ini.

Kita harus mampu untuk tidak hanya menjadi tuan rumah yang baik, melainkan tuan rumah yang cerdas. Imbas positif pastilah akan diperoleh jika tamu kita—termasuk anggota delegasi, bukan hanya awak media, tentunya—terkesan atas layanan yang kita berikan kepada mereka.
Setidaknya, kesan baik itu akan menjadi kampanye gethok tular (word-of-mouth campaign) yang relatif murah dan efektif bagi aneka produk yang dihasilkan bangsa ini. Kita sudah cukup kenyang dengan citra negatif negeri ini di berbagai media internasional, kendati pemimpin bangsa ini berusaha habis-habisan melakukan pencitraan positif bagi diri masing-masing.

Janganlah kita menambah pencitraan negatif bangsa Indonesia dengan tindakan tidak profesional maupun tidak cerdas lainnya. Jadikan pengalaman seperti yang terjadi pada kasus akreditasi media untuk KTT Asean kali ini sebagai pembelajaran yang mahal untuk berbagai international events mendatang di negeri ini.

Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya