SOLOPOS.COM - Terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Richard Eliezer (kanan) menyapa pengunjung sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (5/12/2022). (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.)

Solopos.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) berseteru pendapat tentang status justice collaborator Bharada Richard Eliezer.

Kejagung menyebut Richard Eliezer merupakan pelaku utama pembunuhan Yosua sehingga tidak bisa disematkan status justice collaborator.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sementara LPSK kukuh Richard Eliezer bisa menyandang status justice collaborator lantaran mengungkap skenario jahat mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.

Dua lembaga negara itu berbeda pendapat meskipun acuan hukum yang digunakan sama.

Dua acuan hukum tersebut yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Whistleblower dan Justice Collaborators.

Berikut rujukan hukum dua lembaga negara tersebut, seperti dikutip Solopos.com, Kamis (19/1/2023).

1. Kejagung

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, I Ketut Sumedana, menegaskan Richard Eliezer adalah pelaku utama pembunuhan Yosua sehingga tidak bisa diberi hak justice collaborator.

Rujukannya adalah Pasal 28 Ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal tersebut berbunyi,”Perlindungan LPSK terhadap saksi pelkau diberikan dengan syarat sebagai berikut c) bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya.”

“Beliau pelaku utama sehingga tidak bisa dipertimbangkan juga sebagai yang harus mendapatkan justice collaborator,” ujar I Ketut Sumedana, seperti dikutip Solopos.com dari siaran KompasTV, Kamis.

Kapuspenkum juga beralasan, kasus pembunuhan berencana tidak termasuk yang diatur berdasarkan Pasal 28 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Whistleblower dan Justice Collaborators.

Pasal 28 ayat (2) huruf a berbunyi,”Perlindungan LPSK terhadap Saksi Pelaku diberikan dengan syarat sebagai berikut a) tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai
dengan keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).”

Sedangkan SEMA No.4/2011 poin 1 berbunyi,”Tindak pidana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lain yang terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.”

“Memang UU Perlindungan Saksi dan Korban serta SEMA No.4/2011 memang tidak secara tegas menyebut apakah pembunuhan berencana termasuk yang bisa diberikan justice collaborator,” ujar Kapuspenkum.

2. LPSK

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi, meminta Kejagung membaca kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Tentang justice collaborator, secara spesifik ia menyebut yakni Pasal 28 ayat 2 huruf a dan Pasal 5 ayat 2 dan 3 beserta penjelasannya.

Bunyi Pasal 28 ayat 2 huruf a,”Perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku diberikan dengan syarat tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (2)”.

Pasal 5 Ayat 3 berbunyi,”Selain kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.”

“Dalam penjelasan (Pasal 5 Ayat 2) disebutkan tindak pidana yang tidak definitif tapi disebutkan tindak pidana yang mengakibatkan posisi saksi dan atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya,” kata Edwin.

Pasal 10A ayat (3) dan (4) berbunyi:

(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. keringanan penjatuhan pidana; atau

b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.



(4) Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya