SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/SOLOPOS/Dok)

Solopos.com, WONOGIRI -- Para petani khususnya yang menanam di lahan tadah hujan di Nguntoronadi, Wonogiri, dibuat galau dengan cuaca yang tak menentu. Mereka terancam gagal pada musim tanam (MT) I ini.

Setelah kerap diguyur hujan pada awal Januari, lima hari terakhir Nguntoronadi tak diguyur hujan. Hal itu membuat tanah persawahan di Kelurahan Beji, Nguntoronadi, retak-retak.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tanaman padi berusia muda itu di lahan pertanian itu terlihat layu. “Kalau konvensional terlihat layu mungkin karena tanah makin pekat dan tidak mampu banyak menyerap air,” kata Ketua Gapoktan Beji Makmur, Sularto, saat dihubungi Solopos.com, Rabu (22/1/2020).

Di Kelurahan Beji ada setidaknya 60 hektare (ha) sawah yang ditanami padi menggunakan sistem pertanian konvensional. Sedangkan sisanya sekitar 28 ha sawah menggunakan pertanian organik.

Keren! Begini Penampakan Desain Flyover Purwosari Solo

Sawah dengan sistem konvensional memiliki produktivitas hingga 7 ton per ha gabah kering panen (GKP). Sedangkan sawah organik menghasilkan 6 ton GKP per ha.

Menurut Sularto, kesulitan air pada Januari baru kali ini terjadi. Tahun-tahun sebelumnya, petani relatif tak kesulitan air pada bulan yang sama. Padahal, pada Januari ini petani baru saja memasuki MT I yang terlambat akibat kemarau panjang pada 2019.

“Padi yang layu ini masih ada harapan [selamat] kalau ada hujan setidaknya dalam 3-4 hari ke depan. Padi akan layu pada siang hari dan kembali segar pada malam,” tutur dia.

Saat ini petani kesulitan mencari sumber air untuk sawah-sawah mereka yang mengering. Sawah di Kelurahan Beji berlokasi jauh dari sumur atau sungai.

Untuk membikin sumur, petani setidaknya harus mengebor hingga kedalaman minimal 60 meter. Sumur-sumur di Beji umumnya dipakai untuk konsumsi rumah tangga.

“Kalau kesulitan air, produksi pangan kami rendah. Sebagai gantinya, kami memanfaatkan pekarangan rumah untuk tambal sulam hasil pertanian dengan menanam buah naga, mangga, markisa, dan lainnya,” terang Sularto.

Todong Pemilik Rumah, Perampok Di Sragen Babak Belur Dihajar Massa

Meski menyadari, kesulitan air di wilayahnya murni faktor alam, ia berharap ada solusi dari Pemkab Wonogiri agar petani bisa bertahan. Ia berharap petani mendapatkan bantuan pompa air atau sumur untuk mengairi sawah-sawah tadah hujan.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) Wonogiri menunjukkan tren penurunan jumlah hari hujan tahunan pada 2016-2018. Pada 2016, di Wonogiri terdapat 185 hari hujan.

Jumlah itu turun menjadi 131 hari hujan pada 2017 dan turun lagi pada 2018 menjadi 106 hari hujan. Hari hujan yang pendek juga terjadi pada 2015 sebanyak 109 hari hujan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya