SOLOPOS.COM - Joko Yuliyanto (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO — Beberapa waktu lalu lini masa Twitter ramai dengan perdebatan seputar materi lawakan atau komedi yang menyinggung feminsime. Dimulai dari cuitan Popon Kerok (@poponkerok) yang menggugah kalimat ”feminis sejatinya hanyalah sekumpulan cewek males dan ribet.”

Unggahan di Twitter ini berdampak pada hilangnya kontrak kerja dengan salah satu brand. Popon menganggap cuitannya tentang feminisme sebenarnya tidak akan menjadi sorotan publik apabila tidak ada serangan masif dari banyak orang pengguna Twitter.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Belum kelar kontroversi cuitan Popon tentang gerakan feminisme di Indonesia, muncul Patra Gumala (@patragumala) yang mengatasnamakan solidaritas sesama komika (sebutan pelaku stand up comedy). Ia mengunggah beberapa potongan video tentang feminisme, termasuk menganalogikan parkir khusus perempuan dengan parkir khusus difabel.

Patra mempertanyakan esensi eksklusivitas perempuan dalam hal parkir kendaraan bermotor yang tidak punya tendensi pelecehan seksual seperti pengkhususan gerbong penumpang kereta api. Dua konteks cuitan mengenai feminisme yang dibungkus narasi komedi itu membuat warganet punya perspektif yang unik dan menarik mengenai kasus tersebut.

Dari kalangan yang mendukung mengemuka pendapat komedi adalah soal selera. Di dalamnya ada konsekuensi atas apa yang disampaikan di panggung (ruang publik). Kalangan yang kontra mengatakan kebebasan berkespresi menjadi dalih perilaku kelompok superior mengejek kelompok inferior yang dapat menyebabkan konflik sosial.

Dalam kasus feminisme, komika memberikan opini dari sudut pandang laki-laki yang menjadi subjek ”mengolok-olok” perempuan sebagai objek. Perempuan sebenarnya punya ruang untuk menyampaikan keresahan kepada lali-laki, namun faktor dominasi panggung (ruang publik) oleh laki-laki membatasi ruang perempuan untuk melempar opini balik.

Kalaupun ada kesempatan, adu argumen saling merendahkan antarkelompok tidak akan pernah berakhir. Dampaknya adalah kesenjangan sosial yang mengarah pada konflik dan kekerasan. Masih banyak yang tidak sadar Internet atau media digital merupakan sarana mengekspresikan gagasan atau opini yang pasti dikonsumsi oleh publik.

Risiko ketersinggungan dan ancaman nonverbal gampang dialami oleh seseorang yang dianggap menyerang pihak lain. Sedangkan pencarian kebenaran atas opini yang disampaikan tidak akan pernah ketemu sebab kebenaran yang sudah bersinggungan dengan emosi manusia akan hilang.

Kebenaran yang dilihat akan menjadi perspektif dan kebenaran yang diucapkan akan menjadi opini. Sifatnya subjektif. Mendiskusikan perihal feminisme tidak akan pernah menemukan kebenaran sebab kedua belah pihak punya argumen masing-masing berdasarkan perspektif dan opini yang subjektif.

Komedi Cerdas

Saya pengagum stand up comedy di Indonesia. Selain menyajikan aneka ragam teknik komedi, komika juga bisa menyampaikan keresahan yang relate dengan kehidupan banyak orang. Meskipun bukan pelaku, saya pemerhati stand up comedy sejak 2013.

Stand up comedy kemudian makin dikenal luas setelah muncul di banyak film dan acara gelar wicara di televisi. Perkembangan stand up comedy cukup pesat di industri hiburan di Indonesia. Para komika mudah melebur dengan komedian senior—nonstand up comedy—yang awalnya terlihat ada perselisihan karena menganggap stand up comedy adalah komedi cerdas dibandingkan jenis komedi lain.

Tentu argumen tersebut relevan ketika komika ”diwajibkan” menulis materi sebelum dibawakan di panggung. Kebiasaan menulis dan memahami konteks komedi bisa dijadikan parameter bahwa komika punya sisi kecerdasan menggali komedi yang absurd dan sarkastis. Dari variabel menulis, ada nilai wawasan dan kecermatan melihat sudut pandang untuk dijadikan materi komedi.

Penulis yang baik adalah mereka yang paham etika, harus memuat unsur cover both side. Penulis harus mengabaikan fanatisme kelompok dan melihat segala sesuatu secara objektif. Melakukan riset yang mendalam mengenai isu sosial yang akan dibicarakan. Komika yang dianggap cerdas masih tetap relevan dengan masyarakat.

Cuitan Ge Pamungkas di Twitter mengutip rumus komedi dari Abdur Arsyad bahwa yang sebaiknya dilakukan komedian adalah melihat kekacauan ditambah komedi untuk menciptakan kedamaian. Bukan sebaliknya, bahwa kedamaian ditambah komedi malah menciptakan kekacauan.

Kasus Popon dan Patra menjadi pelajaran bagi komika lain bahwa komedi memang erat dengan ketersinggungan sehingga setiap materi besar kemungkinan menimbulkan konsekuensi. Penulis komedi yang dianggap cerdas harus mampu menerapkan prinsip kebijaksanaan, bahwa segala keresahan harus dilihat dari dua perspektif.

Memaksakan argumentasi secara egois sudah pasti akan menimbulkan konflik ketika dibawa ke ranah publik. Setiap orang punya keresahan. Komedi seharusnya membungkus keresahan agar bisa dinikmati semua orang. Bukan malah memercik sensasi atas nama solidaritas sesama komika, apalagi pada era teknologi informasi kini mulai banyak menyadari ihwal pentingnya kesetaraan.

Di sisi lain, kasus ini setidaknya mengangkat popularitas Popon dan Patra yang kurang begitu dikenal di layar televisi. Menurut saya, terlalu naif mengalihkan motif perang konsep feminisme dengan misi engagement komika yang kurang terkenal.

Beragam tanggapan komika senior terhadap kasus ”guyonan” tentang feminisme tersebut menjadi angin segar bagi saya (penikmat stand up comedy) untuk memahami tentang batas keresahan yang patut dijadikan materi komedi atau dijadikan bahan lawakan di panggung.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 September 2022. Penulis adalah penggagas komunitas seniman Nahdlatul Ulama)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya