SOLOPOS.COM - ilustrasi (JIBI/dok)

Solopos.com, JAKARTA–Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan secara global indikasi resesi seperti dekade 1970an, ditunjukkan oleh eskalasi perang, gangguan pada sisi pasokan, inflasi tinggi, dan pelambatan ekonomi di negara maju serta kenaikan suku bunga yang agresif.

Hal itu dipicu pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin yang memperingatkan bahwa tekanan sanksi akan memicu ‘perang energi’.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Artinya, harga komoditas energi dan pangan akan terangkat lebih tinggi. Hal ini akan membawa tekanan inflasi pada banyak negara di dunia.

Jika kondisi geopolitik ini berlangsung lama, maka dunia diperkirakan akan jatuh ke dalam resesi di akhir 2022 hingga 2023.

“Bisa dikatakan resesinya akan panjang butuh 3-5 tahun untuk recover apalagi belum ada kejelasan kapan perang Rusia-Ukraina akan berakhir,” ujarnya.

Baca Juga: Rupiah Tembus Rp15.005 per Dolar AS, Dipicu Isu Resesi Global?

Managing Director International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva menyatakan bahwa proyeksi ekonomi global gelap secara signifikan sejak April.

Dia tidak bisa mengesampingkan kemungkinan resesi global tahun depan mengingat risiko yang tinggi.

Nomura Holdings Inc pun telah menyebutkan negara-negara yang kemungkinan jatuh ke zona resesi, yaitu Eurozone, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Kanada, Australia, dan AS.

“Tanda-tanda meningkat bahwa ekonomi dunia memasuki perlambatan pertumbuhan secara bersamaan,” tulis Nomura.

Nomura menambahkan banyak negara tidak akan mampu menyandarkan diri pada ekspor untuk tumbuh.

Baca Juga: IHSG Hari Ini Berpotensi Rebound di Tengah Melemahnya Rupiah

“Ini membuat kami memperkirakan adanya resesi berkelanjutan.”

Bhima menuturkan bahwa dampak resesi yang bisa berkepanjangan (long recession) ini akan menekan nilai tukar rupiah.

“Proyeksinya menyentuh 16.000 pada akhir tahun ini,” jelas dia.

Adapun, inflasi pangan dan energi terus mendorong terjadinya stagflasi karena kenaikan harga tidak dibarengi dengan naiknya kesempatan kerja.

PMI Manufaktur kembali alami kontraksi dibawah level 50 karena naiknya biaya bahan baku dan perlambatan konsumsi domestik maupun permintaan ekspor.

Baca Juga: Sri Lanka Bangkrut, Berdampak ke RI? DPR Sudah Ingatkan Menkeu

“Suku bunga yang naik secara agresif menghambat laju penyaluran kredit perbankan,” paparnya.

Bhima pun mengingatkan agar Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melakukan stress test terhadap perbankan, asuransi dan lembaga keuangan lainnya, terutama berkaitan dengan dampak resesi di AS, keluarnya modal asing, dan kenaikan suku bunga yang eksesif.

Seperti diketahui, Fed Fund Rate naik lebih dari empat kali setahun Dia juga berharap Bank Indonesia (BI) segera naikkan suku bunga 50 basis poin (bps).

“Ini sebagai langkah pre-emptives hadapi tekanan inflasi dan fluktuasi kurs di semester II/2022,” tegasnya.

BI juga harus menambah negara mitra local currency settlement (LCS) dan beri insentif lebih besar bagi pelaku usaha ekspor agar menukar devisa dolar dengan rupiah.

Baca Juga: Gotabaya Rajapaksa, Ahli IT yang Dipaksa Mundur dari Presiden Sri Lanka



Kemudian, pemerintah harus memperbaiki jaring pengaman sistem keuangan terutama skenario ‘bail in’.

Selain itu, pemerintah diharapkan meningkatkan serapan investor domestik dalam SBN untuk cegah volatilitas akibat keluarnya investor asing di pasar obligasi.

Berita telah tayang di Bisnis.com berjudul Siap-Siap! Resesi Datang Lagi di 2023. Rupiah Bisa Rp16.000 per Dolar AS

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya