SOLOPOS.COM - Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia di Jakarta. (Bisnis-Samdysara Saragih)

Solopos.com, JAKARTA -- Polemik tentang tes wawasan kebangsaan (TWK) yang berujung pada penonaktifan 75 penyidik KPK, bahkan 51 di antaranya dipecat, belum ada tanda-tanda akan berakhir. Sejumlah fakta-fakta baru terungkap.

Seorang penyidik KPK mengaku kaget saat dinyatakan lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Sebab, ketika menjalani wawancara dengan asesor dia sempat dua kali membuatnya marah hingga menggebrak meja.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

"Saya sih jujur kaget juga, kok bisa lulus TWK, karena waktu wawancara sempat bikin asesornya dua kali marah. Yang kedua itu malah dia sampai menggebrak meja," kata si penyidik kepada detik.com setelah dilantik menjadi ASN, Selasa (1/6/2021).

Hal yang membuat si penguji marah, dia menjelaskan, adalah saat berdebat soal PKI, komunisme, dan Karl Marx. Si penguji menyimpulkan bahwa semua buku terkait Karl Marx harus dilarang karena identik dengan paham komunis. Si penyidik justru berpendapat sebaliknya karena ajaran Marx tak serta-merta identik dengan komunisme.

Baca Juga: Jaringan Masyarakat Sipil Jogja Menolak Pelemahan KPK

"Saya sampaikan bahwa Karl Marx itu melahirkan ilmu ekonomi dan hukum, juga bicara soal HAM. Ya, begitulah Pak makanya kalau ada buku itu dibaca bukan dibakar," ujar si penyidik KPK itu mengutip lagi kalimat yang pernah disampaikan dan membuat si penguji marah.

Perdebatan kedua terjadi saat dirinya ditanya soal kepatuhan terhadap pemimpin atau kepada aturan. Menurut si penguji, perintah pimpinan biasanya merupakan kebijakan terbaik untuk lembaga yang dipimpinnya. Tapi si penyidik berpendapat sebaliknya karena itu bila perintah pimpinan tak sesuai dengan aturan dan kode etik sebaiknya tidak diikuti.

Diminta Patuhi Pimpinan

Si penyidik juga menegaskan bahwa dia pernah ikut aksi menutup logo KPK dengan kain hitam bukan dalam rangka menentang Firli Bahuri menjadi pimpinan, tapi dalam rangka menolak revisi UU KPK.

"Pak, mohon maaf, kalau melawan perintah atasan itu bagian mananya wawasan kebangsaan sih. Wah, gebrak meja dia, marah lagi. Jawab aja pertanyaannya, enggak usah tanya balik," ujarnya.

Baca Juga: Mabes Polri Tarik Tiga Penyidik dari KPK, Kenapa?

Di ujung wawancara dia diberi pesan bahwa kalau sudah diangkat jadi PNS (ASN), perintah atasan itu untuk dipatuhi bukan untuk dipertanyakan kembali.

Sikap semacam itu berbeda dengan arahan Erry Riyana Hardjapamekas yang pernah menjadi pimpinan KPK periode pertama. Kepada para pegawai KPK, kata si penyidik, Erry selalu mengingatkan bahwa kesetiaan terhadap pimpinan itu yang terakhir. "Kesetiaan utama itu kepada negara, masyarakat, keluarga, diri sendiri, baru pimpinan," ujarnya mengulang nasihat Erry.

Seorang penyidik perempuan yang ditemui dalam kesempatan yang sama mengungkapkan isu soal kepatuhan atau melawan atasan sepertinya menjadi perhatian utama asesor. Dia pun berprinsip mematuhi aturan dan kode etik adalah yang utama karena pimpinan bisa subjektif dan keliru.

"Tapi kalau saya memang bilang akan mencari penengah bila antara perintah atasan dan aturan tidak sinkron," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya