SOLOPOS.COM - Ilustrasi soto. (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Soto menjadi salah satu sajian kuliner paling populer di Nusantara. Belum lama ini, soto ayam dinobatkan sebagai salah satu sup terbaik di dunia versi CNN. Namun, tahukah Anda bagaimana sejarah dan asal-usul soto?

Dikutip dari laman Indonesia.go.id, Selasa (28/12/2021), soto rupanya termasuk maakanan siap saji bagi kalangan menengah ke bawah. Soto merupakan salah satu makanan yang dapat ditemukan dengan mudah di berbagai kota di wilayah Jawa.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Baca juga: Mbok Giyem, Awal Nama Soto Seger Hj. Fatimah Malah Jualan Satai Kambing

Asale Soto

Ary Budianto bersama dengan Intan Kusuma Wardhani, antropolog dari Universitas Brawijaya mencermati catatan kaki yang ditulis Indonesianis asal Prancis Denys Lombard yang menyebut soto berasal dari makanan populer abad ke-19 yang aslinya bernama Caudo atau Jao To.

Artinya, soto bukanlah makanan asli Indonesia, tetapi berasal dari China. Dalam dialek Hokkian, Caudo atau Jao To berarti ‘rerumputan’ jeroan atau jeroan berempah. Naskah sejarah yang dicermati Lombard memperkirakan makanan ini kali pertama populer di Semarang sekitar abad ke-19.

Seorang peneliti lain bernama Aji “Chen” Bromokusumo mengartikan soto berasal dari kata Shao Du atau Sao Tu yang artinya memasak jeroan. Dua versi terjemahan yang berbeda ini sama sekali tidak mengubah pengertian tentang satu bentuk makanan yang berbahan dasar utama perut binatang yang kayak akan kaldu (lemak) berempah yang sangat harum. Soto pada abad ke-19 adalah sebutan yang sangat populer dari para pelanggan kepada penjual yang biasanya menggunakan pikulan saat menjualnya.

Baca juga: 5 Wisata Kuliner Lezat Khas Kota Purwokerto, Yuk Icip!

Soto Makanan Kelas Bawah

Jika dilekatkan pada kondisi sosial abad ke-19, Ary mengatakan soto adalah makanan khas yang siap saji dan siap antar bagi kalangan menengah ke bawah. Sangat sulit untuk membayangkan kalangan kelas menengah atas abad 19 mau memakan makanan yang cenderung “tidak higienis”, penuh debu, dan sangat berlemak. Bagi kalangan kelas menengah atas era akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 isu higienitas dan kualitas makanan sangat menjadi perhatian.

Rudolf Mrazek dalam bukunya Engineers of Happy Land (2018) banyak bercerita tentang kalangan kelas atas Hindia Belanda yang lebih “borjuis” daripada sepantarnya di Eropa. Gaya hidup mewah dan super higienis bahkan rasis sering ditunjukkan dalam sajian makanan yang memandang rendah makanan orang pribumi.

Baca juga: Resep Sroto Sokaraja, Soto Pengobat Rindu Bumi Ngapak

Oleh karena itulah menurut penelitian Ary, dalam buku resep makanan yang sangat populer pada akhir abad 19 yakni Drukkerij Lie Tek Long Batavia, menu soto tidak ditemukan. Sejarah menunjukkan bahwa menu makanan rakyat yang sangat populer ini baru tercatat dalam buku resep Mustika Rasa (1967) yang digagas oleh Bung Karno.

Tumbuhnya kalangan kelas menengah ke bawah atau tumbuhnya lapisan borjuis kecil dan kelas buruh di kota-kota pesisir Jawa pada abad 18 dan 19 adalah buah dari skema industrialisasi berbasis metalurgi berteknologi tinggi dan tenaga mesin uap yang menuntut tersedianya lapisan kelas pekerja yang akan meningkatkan produktivitas.

Perpaduan antara berbagai etinis dalam semangkuk soto adalah konsekuensi dari budaya kosmopolitan yang berkembang bahkan sejak lama. Model penyajian cepat saji dan kepraktisan saja yang menguatkan hipotesis bahwa soto memang berasal dan berakar dari abad 19.

Baca juga: Warteg Dulu Tempat Sarapan Kuli, Kini Jadi Ikon Kuliner Ibu Kota

Perkembangan

Pertumbuhan ekonomi yang semakin besar menimbulkan gaya hidup yang serba cepat. Makanan harus mampu disajikan dengan praktis dan mudah. Menurut berbagai riwayat yang dikumpulkan oleh Ary, awal mula penjaja soto ini selalu menggunakan pikulan. Menu siap saji yang didagangkan oleh pekerja pribumi selalu bisa ditemukan di tempat-tempat yang ramai. Persimpangan atau pasar adalah tempat yang menjadi tempat pembawa pikul meletakkan dagangannya.

Seiring berjalannya waktu keranda yang dipikul berubah menjadi kedai atau warung. Satu hal yang penting dicatat oleh Ary adalah kecenderungan penjual soto yang legendaris selalu dekat dengan kawasan pecinan. Mulai dari Panjunan di Kudus hingga Bangkong di Semarang atau Senggol di Tegal semuanya tidak jauh dari kawasan Pecinan.

Dalam perkembangannya, soto menyebar ke penjuru Nusantara. Ada berbagai varian soto dengan keunikan khas daerah masing-masing. Penamaan soto juga tidak semuanya sama. Seperti di Jawa Tengah bagian barat seperti Banyumas, soto dikenal dengan sebutan sroto. Sementara di Sulawesi dinamakan coto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya