SOLOPOS.COM - Ilustrasi Penanggalan Jawa (Instagram/@listyobudi)

Solopos.com, JEPARA – Kalender Jawa memiliki sistem yaang berbeda, karena tidak dipakai secara nasional. Dalam penanggalan Jawa juga terdapat perayaan-perayaan adat yang hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Jawa tradisional.

Dilansir dari sebuah karya imliah dari situs ejournal.unisnu.ac.id, Senin (13/12/2021), dengan melihat masa penggunaannya, kalender Jawa dibagi menjadi dua periode, yaitu Jawa Hindu dan Jawa Islam. Kalender Jawa Hindu menggunakan patokan seperti penanggalan Masehi, yaitu peredaran bumi mengelilingi Matahari.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Penanggalan ini dikenal dengan istilah penanggalan ‘Saka’ yang berasal dari India. Permulaan tahun 1 Saka ini adalah hari Sabtu, 14 Maret 78 Masehi (M), yaitu satu tahun setelah penobatan Prabu Syaliwahono atau yang dikenal sebagai Aji Saka, saat diangkat menjadi seorang Raja di India.

Baca Juga: Pulau Jawa Bakal Terbelah Lagi?

Kalender Jawa Islam

Sedangkan penanggalan Jawa Islam berpatok pada perhitungan waktu berdasarkan tahun Hijriyah (H) yang menggunakan patokan peredaran bulan mengelilingi Bumi. Pada 1633 M yang bertepatan tahun 10433 H atau 155 Saka, Sri Sultan Muhammad yang terkenal dengan nama Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Kerajaan Mataram Islam, menggabungkan dua sistem penanggalan tersebut.

Untuk tahunnya diambil dari tahun Saka, tetapi perhitungan kalendernya menggunakan tahun Hijriyah (H) yang mematok pada peredaran bulan yang mengelilingi Bumi. Sejak saat itu, sistem penanggalan ini dikenal dengan Penanggalan Jawa Islam, meskipun secara teknis tidak sepenuhnya menggunakan perhitungan Hijriyah karena seperti sudah disebutkan, untuk tahunnya masih menggunakan sistem Saka pada masa peradaban Jawa Hindu.

Keputusan Sultan Agung ini mendapat persetujuan dari Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dari Kerajaan Banten pada masa pemerintahannya, yaitu 1596-1651) hingga sejak saat itu seluruh Jawa menggunakan kalender Jawa Islam.

Baca Juga: Orang Suku Jawa Mudah Diterima, Ini Alasannya!

Pengelompokan Hari dan Pasaran Jawa

Hal yang paling ikonik pada sistem penanggalan Jawa Islam adalah mengenal pengelompokan hari yang beranggotakan tujuh dan lima. Pengelompokan hari yang tujuh, satuannya dinamakan hari dan pada dasarnya identik dalam penanggalan Hijriyah. Satuan dari hari kesatu hingga ketujuh memiliki nama yang sama dan merupakjan adopsi dari kalender Hijriyah yang sudah disesuaikan dengan lidah masyarakat Jawa, yaitu Ngahad, Senen, Slasa, Rebo, Kamis, Jumuah dan Sabtu.

Sedangkan pengelompokan hari yang lima, satunyanya dinamakan Pasaran. Kelima hari pasaran itu adalah Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Nama hari pasaran ini digunakan bersama-sama dengan hari kelompok tujuh, misalnya hari Rebo Wage, Kamis Kliwon, dan sebagainya. Daurnya akan berjalan sendiri-sendiri dan berulang dalam 35 hari yang kemudian hari ke-35 itu disebut selapan.  Setelah 35 hari berakhir (selapan), hari dan pasaran akan berulang seperti semula.

Baca juga: Jejak Mungil Suku Mante di Tanah Rencong Aceh

Ritual Budaya Jawa

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam penanggalan Jawa Islam juga terdapat perayaan-perayaan adat yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa tradisional, salah satunya di Desa Sukodono, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Masyarakat setempat hingga sekarang masih menggelar perayaan tradisi yang berdasarkan pada penanggalan Jawa Islam dengan sistem Alip Rebo Wage atau Aboge.

Aboge ini adalah sistem perhitungan tahun dan hari yang diajarkan oleh Raden Sayid Kuning, salah satu anggota Wali Songo yang menyebarkan syiar Islam di tanah Jawa. Perhitungan penaggalannya berdasarkan pada masa peredaran windu atau delapan tahunan, Satu windu menurut adat Aboge terbagi atas Tahun Alip, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba, Wawu dan Jim. Hitungan ini sudah dipakai secara turun temurun  sejak zaman Wali Song hingga sekatang.

Baca juga: Beda dari Batak, Suku Jawa Tak Punya Marga, Kenapa?

Desa Sukodono, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah sendiri memiliki banyak tradisi upacara atau ritual yang dilakukan setiap tahunnya dan biasanya diadakan di balai desa. Upacara atau ritual adat tersebut di antaranya ada Suronan, diperingati pada bulan Suro atau biasanya jatuh pada bulan antara Agustus, September atau Oktober (tergantung pada pergerakan bulan), dan diadakan setiap tanggal 8.

Ciri khas perayaan ini adalah disuguhkannya Bubur Suronan yang terbuat dari beras, kelapa, blendung jagung, pisang dan uwi yang dimasak menjadi satu dengan lauk pauk beurpa telur dadar, tahu dan tempe.

Perayaan lainnya ada Arang-Arang Kambang, ritual tolak bala yang diadakan setiap Jumat Wage bulan Bakdo Mulud. Kemudian ada Barian Tandur, Lailatul Qadar, Sedekah Bumi dan masih banyak upacara ritual lainnya yang masih dilakukan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya