SOLOPOS.COM - Deretan warung hik atau angkringan di kawasan Alun-alun Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. (Solopos.com/Akhmad Ludiyanto)

Solopos.com, SOLO – Belum lama ini ada video viral di TikTok yang memperlihatkan seorang pria mengomel akibat menghabiskan banyak uang saat makan di angkringan. Dalam video itu dia mengaku membayar Rp106.000 untuk makan berdua di kedai rakyat tersebut.

Seperti diketahui, selama ini angkringan identik menjual aneka makanan dengan harga murah meriah. Menu yang dijajakan di kedai tersebut bervariasi, seperti nasi bungkus atau nasi kucing, nasi goreng, nasi oseng, bakmi, dan capjay yang semuanya dikemas dalam ukuran mini.

Promosi Meraih Keberkahan Bulan Syawal, Pegadaian Ajak Masyarakat Umrah Akbar Bersama

Sementara lauk pendampingnya terdiri dari berbagai jenis gorengan, aneka sate, tahu serta tempe bacem, dan berbagai camilan tradisional lainnya.
Meski demikian, tanpa disadari banyak orang yang niatnya makan hemat di angkringan justru berujung sekarat karena membayar harga yang cukup mahal. Entah mengapa aneka makanan itu membuat pembeli tergoda, sehingga tanpa disadari di akhir harus membayar harga yang cukup mahal.

Baca juga: Keturunan Pedagang Sebut Hik Bukan Akronim

Sebagai informasi, angkringan yang seolah memiliki daya magis itu sudah ada sejak era sebelum kemerdekaan. Orang-orang di Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, diyakini sebagai pencetus warung yang kini merambah ke berbagai daerah di Indonesia tersebut.

Dari generasi ke generasi, warga Ngerangan aktif berjualan angkringan yang mulai dirintis sejak 1930-an. Tak hanya di Pulau Jawa, persebaran warga Ngerangan membuka usaha angkringan hingga ke luar Jawa.

Sejarawan Solo Heri Priyatmoko mengaku pernah melakukan riset mengenai hik dan angkringan. Ia pun menemukan bukti bahwa hik maupun angkringan, meski sudah menyebar ke berbagai daerah dengan nama berbeda, merupakan budaya asli Solo.

Baca juga: Viral Makan di Angkringan Habis Rp106.000, Netizen Bandingin Sama Solo!

Awalnya angkringan tersebut dijajakan dengan pikulan. Pada kotak pikulan bagian depan digunakan untuk menaruh barang dagangan salah satunya nasi kucing serta perkakas. Pada pikulan bagian belakang digunakan untuk membawa cerek wadah minuman.

Di sepanjang perjalanan, pedagang kerap menyerukan kata-kata untuk mengundang konsumen berdatangan. “Lho gelo, hiiikk…turrr!!! anget-anget,” kenang Warno, salah satu perintis angkringan pikulan, saat ditemui Solopos.com di rumahnya Dukuh Sawit, Desa Ngerangan, Rabu (3/11/2021).

Baca juga: Museum Angkringan Meneguhkan Gaya Hidup dan Simpul Ekonomi

Kalimat itu pula lah yang kemudian menjadi ciri khas sekaligus menjadikan usaha tersebut dikenal warga Kota Solo saat itu dengan nama hik. Jika dulu hik atau angkringan dijajakan dengan pikulan, kini konsepnya pun berubah menjadi warung tenda bahkan menjelma sebagai kafe.

Harga makanan di angkringan pun perlahan ikut naik karena perubahan konsep pedagang dalam berjualan. Apalagi konsep makanan di hik disajikan dalam ukuran mini, jadi biasanya pembeli cenderung tidak puas jika hanya makan satu bungkus nasi dengan satu tempe bacem, sehingga membuat biaya makan di sana terkesan menjadi lebih mahal daripada di restoran lainnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya