SOLOPOS.COM - Tradisi Dugderan Semarang (Instagram/@bpmrpk_kemendikbud)

Solopos.com, SEMARANG – Tradisi Dugderan merupakan acara tahunan yang digelar dengan meriah oleh masyarakat Semarang, Jawa Tengah dalam menyambut bulan suci Ramadan. Dilansir dari Kemedikbud.go.id, Kamis (31/3/2022), tradisi Dugderan sudah menjadi semacam pesta rakyat di mana semua masyarakat dari segala lapisan ikut memeriahkan acara ini.

Nama “Dugderan” merupakan tiruan suara letusan, yaitu “dug.” Bunyi ini berasal dari bedug yang ditabuh saat akan menjalankan salat magrib. Sementara “deran” berasal dari suara petasan atau warga setempat menyebutnya sebagai mercon yang memeriahkan acara ini melalui suara-suara bising.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tradisi ini telah diadakan sejak 1882 pada masa Semarang dipimpin Bupati R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat. Perayaan yang telah diadakan sejak zaman kolonial Belanda ini dipusatkan di kawasan Masjid Agung Semarang atau Masjid Besar Semarang (Masjid Kauman) yang berada di Kota Lama Semarang, dekat Pasar Johar.

Baca juga: Bajong Banyu, Tradisi Perang Air Saat Padusan di Magelang

Warak Ngendog

Perayaan tradisi Dugderan di Semarang dalam bentuk pasar malam ini sangat meriah. Di sana banyak dijumpai pedagang yang menjual berbagai macam produk, dari makanan hingga kerajinan. Salah satu produk yang paling ikonis di festival ini adalah produk mainan bernama “Warak Ngendog” yang merupakan mainan anak-anak dalam wujud hewan.

Mainan ini dulunya terbuat dari gabus tanaman mangrove dan bentuknya sudut lurus. Namun seiring berjalannya waktu, warak ngendok ini dibuat dengan material beragam. Secara filosofi, kata “warak” berasal dari Bahasa Jawa yang bermakna kambing. Namun ada pendapat lain yang mengartikan “warak” dari Bahasa Arab yang berarti suci. Selain itu juga ada interpretasi bahwa “warak” adalah gambaran seekor naga

Sedangkan Ngendog berarti bertelur, sehingga jika diartikan secara keseluruhan, “Warak Ngendog” berarti hasil pahala yang didapatkan seseorang setelah menjalani proses suci selama bulan Ramadhan dan nantinya di akhir bulan suci yang disimbolkan dalam perayaan Hari Raya Idulfitri, akan menerima pahala.

Karena ada pemahaman dari budaya yang berbeda-beda terkait Warak Ngendok, sehingga ikon festival dugderan ini digambarkan dengan sebuah boneka naga berkaki empat, seperti menggabungkan dua binatang menjadi satu.

Baca juga: Mapag Sadran, Tradisi Sambut Ramadan Sesepuh Tambaknegara Banyumas

Dalam acara ini juga diadakan kirab budaya yang dimulai dari halaman balai Kota Semarang dan diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan, sekolah, organisasi masyarakat dan lain-lain. Kegiatan Dugderan ini merupakan acara yang didukung oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Biasanya, momentum festival Dugderan ini dimanfaatkan para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) atau pedagang untuk mengais rezeki lebuh banyak lagi.

Tujuan diadakannya tradisi Dugderan di Semarang ini adalah memupuk rasa kebersamaan dalam kehidupan masyarakat. Pasalnya festival ini merupkan perpaduan tiga budaya dari tiga etnis yang mendominasi Kota Semarang, yaitu Jawa, Tionghoa dan Arab, kemudian untuk membangkitkan rasa bangga dan patriotisme terhadap budaya lokal dan juga memberi wadah bagi warga untuk meningkatkan perekonomiannya melalui pasar malam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya