SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Time is money. Tijd is geld. Waktu adalah uang. Tiga kalimat itu adalah hasil saya mengetik di mesin pencari Google dengan memberikan dua kata yang bermakna sama. Time dalam bahasa Inggris dan tijd dalam bahasa Belanda serta waktu dalam bahasa Indonesia.

Kata kedua merupakan kata penghubung, yaitu ”adalah” atau ”is” dalam bahasa Inggris dan Belanda. Setelah dua kata itu saya ketik, kata yang keluar secara otomatis di urutan pertama ternyata sama. Money dalam bahasa Inggris, geld dalam bahasa Belanda, dan uang dalam bahasa Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Keisengan tersebut memberi saya pencerahan baru, fakta mikro yang mendukung pembacaan makro saya atas konsep ini. Jadi, menurut saya, tak perlu berbeda negara, berbeda bahasa, atau berbeda kesejarahan nasional, untuk memaknai soal waktu ini secara khusus--yang baru saya sadari--ternyata sifatnya sungguh umum dan bahkan populer.

Sudut pandang orang-orang mengenai waktu di tiga negara ini ternyata sama saja, yakni uang. Pandangan umum tersebut mengindikasikan mayoritas, jadi memang belum tentu semua orang memegang pandangan yang sama.

Ekspedisi Mudik 2024

Bagaimana akhirnya kita memiliki pandangan yang sama bahwa waktu setara dengan uang? Di balik keberagaman manusia dan latar belakang mereka, kesamaan inilah yang justru membuat saya tertarik.

Waktu adalah uang. Kalimat ini terasa begitu dekat dengan saya, lebih mirip kalimat ibu, kalimat ayah, kalimat kakek, guru di sekolah, para pejabat yang tampil di media massa, selebritas, dan orang-orang yang melintasi waktu dalam kehidupan saya.

Ungkapan ini sangat familier, sangat alamiah, dan terasa masuk dengan sangat mudah dalam ruang kesadaran saya serta saya yakin ruang kesadaran kita semua. Saya bahkan merasa kalimat itu menjadi salah satu pijakan saya berproses dari masa remaja yang membingungkan hingga memasuki masa dewasa sampai kini.

Saat saya membaca terjemahan buku La Société de Consummation karya Jean P. Baudrillard, barulah saya paham bahwa konsep tersebut bukanlah sesuatu yang taken for granted. Konsep waktu adalah uang bukanlah konsep yang natural, meski akhirnya memang terasa sangat alamiah karena aksi mayoritas yang diturunkan.

Saya mencoba menyusuri dari konsep standard package (paket standar) yang diformulasikan David Riesman, yang menurut saya sangat menarik. Konsep tersebut membahas komparasi dua atau tiga generasi mengenai pandangan dunia, khususnya soal status.

Setidaknya, lewat konsep itu saya bisa menganalisis diri saya sendiri. Riesman sungguh tepat ketika mengatakan generasi sebelum kita mewariskan standar nilai mengenai kehidupan, khususnya kehidupan sosial kemasyarakatan, kepada keturunan mereka masing-masing.

Jika dia mengatakan American way of life, untuk kelas menengah, misalnya, yang disimbolkan dengan pekerjaan mapan, rumah, mobil, AC, mesin cuci, dan berlibur di pantai, konsep itu diteruskan dari generasi ke generasi.

Secara sederhana, begini pemikiran Riesman menurut saya. Kalau kau ingin menjadi kelas menengah maka bekerja keras dan milikilah itu semua. Pilihan lain adalah keluar dari kelas menengah, makin buruk jika kau berada dalam kategori miskin dan sebuah keberuntungan apabila kau naik kelas, masuk kategori kelas menengah atas atau bisa juga kelas atas.

Nah, term kerja keras ini sungguh menarik bagi saya. Kerja keras menjadi seperti alat untuk mengeluarkan waktu karena fungsi waktu, menurut Baudrillard, selamanya memang hanyalah sebagai alat tukar, bukan nilai guna.

Waktu, kata Baudrillard, sama dengan uang. Waktu bisa keluar apabila digunakan untuk sesuatu, contohnya waktu untuk bekerja serta waktu luang. Menurut Baudrillard, waktu sama dengan tinja, sesuatu yang dikeluarkan atau setidak-tidaknya, menurut saya, melekat pada aktivitas apa pun, kalau tinja terasa seperti analogi yang menjijikkan.

Waktu melekat pada aktivitas karena manusia selalu memahami aktivitas, bukan waktunya. Kerja keras bagi kelas menengah (termasuk juga kelas bawah yang bukan menjadi fokus narasi ini) berarti pengorbanan waktu yang tidak sedikit.

Gaji adalah ukuran atau standar waktu yang kita jual kepada pengusaha atau pemberi kerja. Semakin banyak waktu yang kita jual, makin banyak pula nilai tukar yang masuk sebagai pendapatan kita. Dengan uang yang banyak itu, kita juga bisa bisa mengonsumsi untuk mempertahankan kelas kita dalam sebuah sistem ekonomi maupun sistem sosial kemasyarakatan.

Yang menjadi persoalan adalah waktu untuk bekerja, menurut saya, tidak hanya berelasi dengan ketentuan delapan jam atau 10 jam atau 12 jam kerja. Waktu kerja tidak akan saya formulasi sesederhana itu. Untuk memahami waktu kerja secara lebih mendalam, sebenarnya kita bisa bertanya kepada diri kita mengenai waktu itu sendiri.

Misalnya, seberapa banyak sebenarnya waktu bebas yang kita punya? Seberapa banyak waktu yang benar-benar milik kita? Seberapa banyak waktu yang bisa digunakan sebebas-bebasnya? Seberapa banyak waktu kita yang tidak terikat dengan kepentingan orang lain?

Apabila jawabannya hanya berpusat pada waktu luang, waktu berlibur, dan waktu cuti, maka kita tetap menjadikan pekerjaan sebagai parameter hidup kita. Waktu libur, waktu cuti, dan waktu senggang muncul pada saat kita tidak bekerja.

Acuannya tetap waktu bekerja, waktu milik orang-orang yang bertanggung jawab atas kehidupan mereka masing-masing. Di luar waktu kerja, kita menjadi orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas pemakaian waktu.

Kita akan bersenang-senang, melepaskan tanggung jawab harian, menjadi diri kita sendiri. Benarkah kita menjadi diri sendiri pada waktu liburan? Sekarang mari kita lihat bagaimana pergerakan manusia pada saat liburan akhir tahun, liburan Natal, libur Idulfitri, atau cuti bersama.

Cita-Cita Absurd

Hotel-hotel penuh, restoran padat, pantai sesak dengan orang dan sampah, sementara kawasan wisata di puncak pegunungan atau perbukitan riuh sekali. Bersenang-senang dan menjadi diri sendiri, benarkah itu? Kenapa orang-orang justru kian mirip pada saat liburan tiba?  Apakah menjadi diri sendiri lebih mirip mitos atau sejenis cita-cita absurd?

Saya bisa memahami alur pemikiran Baudrillard bahwa waktu luang sejatinya tidak memberikan gambaran apa pun, kecuali penggambaran yang keras tentang waktu bekerja. Waktu luang bukan berarti kita tidak melakukan apa-apa.



Saya pikir, seumur hidup kita, tidak pernah kita benar-benar tak melakukan apa-apa. Waktu luang pada zaman ini ternyata juga waktu bekerja, namun dalam bentuk yang lain. Apa yang kita konsumsi pada waktu luang menjadi gambaran upaya kita mempertahankan status dalam sistem.

Saya kini berpikir bahwa sebagian besar kegiatan konsumsi yang kita lakukan hanya sebagian kecil yang benar-benar berlandaskan motif ekonomi. Kegiatan konsumsi kita justru lebih banyak yang berlandaskan motif sosial. Waktu luang dan waktu libur adalah waktu produksi kita, waktu kerja kita, untuk meneguhkan status sosial kita dalam sebuah sistem yang diakui masyarakat maupun negara.

Pantai (parade bikini dan bergelas-gelas es buah), hotel (kolam renang privat, pemandangan buatan), mal (tas, outfit, sepatu bermerek, food court untuk display penampilan dan makanan), puncak gunung dan bukit (jaket-jaket mahal, sepatu, penginapan), hingga tempat-tempat dengan udara segar menjadi lokasi tujuan orang-orang kelas menengah dan kelas atas mempertahankan status sosial mereka. Semua harus kelihatan!

Di satu sisi, bisa saja kita mengatakan bahwa kita berproduksi untuk mempertahankan sistem negara supaya stabil, tempat kita berada dalam sistem tersebut. Sementara di sisi lain, negara mengapresiasi tindakan konsumsi kita untuk mempertahankan kestabilan sistem itu. Tindakan konsumsi dalam pandangan kapitalis menjadi tindakan patriotis, semacam bela negara, yang melenakan.

Jadi, saya kini bertanya lagi kepada diri sendiri. Seberapa banyak sebenarnya waktu yang saya punya? Seberapa banyak sebenarnya waktu yang Anda punya? Tentu saja itu adalah waktu yang tidak perlu terdeskripsikan dalam kata verbal, benar-benar keinginan dari hati yang landasannya bukan dalam kerangka bersaing dengan orang-orang di dalam maupun di luar kelompok serta untuk menstabilkan status.

Bukankah kebebasan dan kebahagiaan sejatinya tidak perlu diobjekkan dan dimasukkan dalam indikator-indikator yang kelihatan? Sejak kapan bahagia dan bebas harus kelihatan? Anehnya, semakin saya mengajukan lebih banyak pertanyaan kritis itu kepada diri saya sendiri, semakin terasa semuanya menggema di gua kosong.

Barulah saya menyadari, seperti juga gua kosong, saya ternyata tidak mengenali diri saya sendiri, kebutuhan saya sendiri, maupun kebahagiaan saya sendiri. Saya adalah makhluk produktif sosial yang dengan mengenaskan memaknai hidup saya dalam ideologi time is money, tijd is geld, atau waktu adalah uang.

Kini saya memandang lagi rak-rak sepatu, lemari baju, dan wadah tas koleksi sambil mencoba mengingat latar belakang mereka semua sampai di rumah ini karena kebutuhan atau karena keinginan?

Beruntunglah saya karena Baudrillard memberikan jawaban. Saat menjual mobil terasa lebih sulit ketimbang membelinya, pada saat itulah manusia memang kesulitan mengenali kebutuhan hidupnya.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya