SOLOPOS.COM - Sholahuddin/Dokumen Solopos

Solopos.com, SOLO — Saya terkejut saat kawan saya, Ayu Prawitasari, membuka acara dialog tentang toleransi dengan kalimat pembuka “Assalamu’alaikum…”  Tidak kelirukah teman saya ini? Ini kan di gereja? Begitu pikir saya. Saya khawatir warga gereja itu tidak berkenan.

Kawan saya ini fasilitator workshop jurnalistik untuk perdamaian di tiga SMPN di Sragen yang berlangsung  belum lama ini. Workshop itu merupakan kerja sama Program Harmoni (konsorsium program untuk perdamaian), sekolah, serta Solopos Institute.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dalam salah satu rangkaian workshop itu—di salah satu SMPN di Sragen—para  siswa diajak berdiskusi tentang toleransi di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodingratan Solo yang berdempeten dengan Masjid Al-Hikmah.

Kekhawatiran saya ini tidak berlangsung lama. Si tuan rumah, pendeta Beritha Setyo Nugroho, saat diberi kesempatan pertama untuk bicara mengawalinya dengan ucapan ”Assalamu’alaikum…”  pula. Saya meyakini ini penghormatan kepada hadirin yang sebagian besar muslim itu.

Tiba-tiba saya merinding.  Merasakan sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan. Diskusi antara para siswa, guru, pengurus gereja, dan takmir masjid ini sungguh mengesankan. Ini adalah protret keindonesiaan yang sesungguhnya, walau saya dan sebagian siswa awalnya merasa kikuk masuk gereja.

Bagi sebagian siswa ini adalah pengalaman pertama mereka. Setelah diskusi berlangsung, suasana kian cair itu. Penuh kebersamaan. Rasa kikuk sirna. Lega. Dialog berlangsung sangat menarik. Pendeta Beritha dan pendeta Nunung Istiningdya selaku tuan rumah tampil dengan sangat ramah melayani pertanyaan para siswa SMPN itu.

Pendeta menguraikan implementasi toleransi yang dibangun di dua tempat ibadah yang berbeda agama ini. ”Selama ini tidak pernah ada konflik di antara dua pihak ini,” kata. Ketua Takmir Masjid Al-Hikmah, Muhammad Nasir Abu Bakar, juga mengatakan senada.

Tidak Punya Beban

Para tokoh agama yang berbeda itu sangat akrab. Ustaz Nasir tidak terlihat punya beban sedikit pun saat diajak berdiskusi di dalam gereja. ”Oh, sudah biasa. Sudah sering berdiskusi di sini,” ujar ustaz Nasir kepada saya.

Ustaz Nasir mampu memberi pemahaman yang bagus tentang makna toleransi dalam perspektif Islam. Saya menilai Nasir adalah orang berpandangan sangat moderat. Sesuatu yang kian langka di negara ini.

Saya berkhayal sekiranya semua tokoh agama di Indonesia bisa seperti ustaz Nasir, pendeta Beritha, dan pendeta Nunung, alangkah damainya Indonesia. Mereka yang berbeda agama ini bisa menjalankan keyakinan dengan semangat toleransi yang tinggi. Tidak saling serang.

Kelihatannya sepele, bagi sebagian orang, nyatanya toleransi masih menjadi barang mahal, apalagi di tengah makin menguatnya identitas kelompok di Indonesia. Mereka cenderung membentuk komunitas-komunitas atas dasar identitas. Gerakan penyeragaman ini acap kali mengundang pertentangan dan konflik yang tidak produktif.

Kuburan khusus agama tertentu. Kompleks perumahan khusus agama tertentu. Di beberapa daerah mulai menimbulkan friksi. Penyeragaman ini bertolak belakang dengan realitas sosiologis masyarakat kita yang dari sananya memang plural.

Makin sempitnya kesadaran tentang ruang perbedaan ini yang mendorong terselenggaranya workshop jurnalistik untuk perdamaian bagi anak-anak tiga SMPN di Sragen ini. Kegiatan yang difasilitasi Program Harmoni ini menggabungkan pendekatan pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan pada dua ranah: perdamaian dan jurnalistik.

Tujuanya membangun kesadaran para siswa tentang arti perdamaian, perbedaan, konflik, toleransi, sekaligus membekali siswa terampil memproduksi konten jurnalistik yang berperspektif  perdamaian. Kesadaran tentang perdamian dan keterampilam jurnalistik ini menjadi kebutuhan penting, khususnya bagi anak-anak.

Makin mudahnya orang membuat konten informasi tanpa dibarengi keterampilan jurnalistik dan pemahaman yang cukup tentang nilai perdamaian akan berimplikasi berbahaya. Ketidakpahaman atas  beragamnya masyarakat Indonesia akan menghasilkan situasi yang tidak nyaman bagi semua.

Konten Berperspektif Konflik

Alih-alih mendamaikan, banyak konten yang berseliweran di media sosial justru berperspektif konflik. Konten yang dirancang bukan untuk menyampaikan pesan damai, tapi sengaja dikonstruksi untuk memantik konflik.

Jika sedari awal anak-anak menyadari akan hal ini, sesungguhnya kelak tidak perlu lagi tokoh agama menyerang simbol agama lain yang sungguh tidak mengenakkan.  Seperti kata ustaz Nasir, setiap pemeluk agama punya Tuhan masing-masing.

Mereka dituntut taat kepada Tuhan itu, sehingga memberi manfaat bagi masing-masing pemeluk, dan pada akhirnya membawa kebaikan bersama. Kebaikan bersama itulah yang menjadi hakikat agama. Kegaduhan yang sering terjadi karena minimnya semangat untuk menghargai keyakinan orang lain.

Saya senang karena dari berbagai hasil testimoni para siswa SMP tersebut, mereka mengaku mendapatkan pencerahan. Kegiatan ini mampu mengubah pola pikir dan paradigma tentang makna perdamaian, perbedaan, dan toleransi. Mereka mendapatkan kesadaran tentang perbedaan sehingga dalam hidup. setiap  orang mesti saling melengkapi dengan rasa kemanusiaan yang tinggi.

Ada peserta workshop mengatakan acara itu dapat melurusksn pemahaman tentang toleransi. Sebelumnya ia menganggap toleransi bukan hal penting sehingga tidak perlu dipedulikan. Ternyata toleransi sangat perlu untuk menjaga kerukunan dan ketenteraman masyarakat.

Seperti kehidupan di GKJ Joyodiningratan dan Masjid Al-Hikmah. Meski berbeda, mereka tetap rukun. Para siswa SMP itu juga meminta agar gerakan penyadaran ini bisa diperluas kepada siswa dan anggota masyarakat lainnya.

Saat ditanya apa yang akan dilakukan seusai acara ini?  Ada siswa yang menyatakan siap menjadi agen-agen toleransi. Dia akan menempatkan diri secara tepat tentang menghadapi perbedaan.



”Kalau ada teman yang intoleran atau tidak paham tentang toleransi, saya siap untuk menjelaskan,” kata dia. Ah, andai saja di Indonesia masyarakatnya seperti anak-anak SMP ini. Saya yakin bangsa ini akan baik-baik saja. Yang mayoritas tak perlu berada di posisi superior, yang minoritas tak perlu  inferior. Semoga…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya