SOLOPOS.COM - Eddy J Soetopo (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Seorang rekan wartawati blasteran Rusia-Vietnam, mengaku pemeluk Katolik Ortodoks, dalam perbincangan melalui internet, menggunakan bahasa gado-gado Inggris-Rusia. Entah ingin ngeledek atau bertanya beneran, menjelang hari pencoblosan tahun lalu dia bertanya. “Apakah benar di negaramu banyak hantu sehingga televisi gemar menayangkan acara ghost buster?”

Lama saya tercenung di depan layar monitor hingga dengan santun dia menegur, “Maaf, apakah Mas Jawa, masih berada di depan komputer,” tulisnya dalam bahasa Rusia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam hati rasanya ingin berteriak, “Celaka tiga belas, matilah awak sekarang.” Sebab, sewaktu kami bertemu lima belas tahun lalu di Hanoi, saya sempat mengajukan pertanyaan konyol kepadanya. “Ngapain kamu begitu taat menjalankan ibadah agama, sedang di negaramu, mayoritas orang tidak beragama?” Apa jawabnya? ”Mana yang lebih baik, tidak beragama tetapi tidak berbuat dosa; ataukah mengaku beragama tetapi sering membunuh, menebar bom, mencuri, korupsi uang negara; dan lebih percaya pada setan daripada Tuhan?”

Kata-katanya memerahkan kuping membangkitkan nasionalisme-puritan saya yang menyebabkan napas tersengal-sengal menahan marah. Tetapi saya tidak tahu harus beradu argumentasi seperti apa, tiwas kalah. Mau menyangkal tidak mungkin, wong kenyataannya memang seperti itu. Ibarat main tinju, pertandingan menjadi tidak seimbang. Serangan taktis berbagai pertanyaan disertai fakta tak terbantahkan mencecar bak upper-cut menyilang meng-knock-out dan menyemampirkan tubuh saya sehingga ngegelesot di sudut ring tak berdaya.

Sebenarnya pertanyaan yang dia lontarkan merupakan partai tunda debat enam tahun lalu di sebuah negeri yang pernah terkoyak perang. Itulah sebabnya, ketika dia membatalkan kepergiannya ke Jakarta, tak pelak menyebabkan perasaan saya mengharu-biru.

“Maaf saya batalkan niat bertandang ke negerimu,” tulisnya. “Bukan perkara takut bom. Kalau soal bom, bukan barang asing bagiku, tetapi persoalan prinsip: tabu menonton tayangan TV pemburu hantu dan ekspose bom bunuh diri. Sungguh sangat tidak masuk akal terjadi di sebuah negara yang mengaku beradab.”

Pernyataan rekan tadi merupakan salah satu cermin pencitraan buruk budaya timur yang disebarluaskan melalui tayangan irasional. Disadari atau tidak, acara-acara yang berbau mistis memperburuk citra karakter budaya timur di mata orang barat, terutama bila dikaitkan dengan praktik-praktik mistis.

Tidak mengherankan apabila pandangan itu mendominasi sekaligus mengherankan jalan pikiran teman saya yang dibesarkan di negeri ateistis. Para pemikir barat beranggapan agama di belahan timur masih beraura panteistis, meski tersimbolisasi monistis. Dengan demikian, tidak mengejutkan bila pengikut agama di belahan timur seperti di Indonesia distigmakan sebagai penganut mistisisme. Apa pun bantahan terhadap stigma yang telah telanjur diberikan oleh para pemikir dan cendekiawan barat, mereka tetap berpendirian bahwa agama di timur kesambet mistik.

Masih lekatnya cara pandang demikian tidak lepas dari pengamatan empiris praksis keagamaan kita. Sadar atau tidak, ada banyak praktik-praktik mistik dalam ritual keagamaan seperti di Jawa. Asumsi dalam benak para pemikir barat adalah praktik keagamaan harus terpisah dari unsur atau simbol mistis. Ini merupakan sesuatu yang masuk akal dalam perspektif kaca mata mereka.

Dengan pemilahan tersebut, menurut ahli teologi Edward Burnett Tylor, agama menjadi keyakinan terhadap spiritual yang terdistorsi oleh pandangan yang hanya melulu melihat bentuk ritual semata. Dia mengabstraksikan pemahaman terhadap agama ke dalam pembeda berdasar agama wahyu dan agama mistik. Sama halnya dengan Tylor, teolog Paul Tillich berpendapat mistisisme tidaklah irasional. Ia mencirikasi mistisisme sebagai sebuah kategori, terutama saat bersinggungan dengan yang bersifat nonragawi, tak sentuh, dan tak terlukiskan.

Pertanyaannya, dapatkah mistisisme dikaji secara ilmiah? Menurut Tillich, di negara yang pernah terjajah, pendekonstruksian ruang privat bukan mustahil dilakukan oleh bangsa yang tidak menyukai kompromi untuk tujuan yang kekal di akhirat. Pendapat itu bisa diterima sepanjang mereka hanya mengejar tujuan pribadinya, tanpa melakukan pemaksaan, teror, atau mengajak orang lain juga ikut mati bersamanya. Bukankah hal seperti itu merupakan salah satu dogmatisme mistisistis?

Santri-Priyayi-Abangan

Kawan saya mencontohkan stigma trikotomis santri-priyayi-abangan yang dibuat oleh Clifford Geertz dari tesisnya di Pare, Kediri. Bukan mustahil itu juga dilakukan pekerjaan Amerika Serikat sewaktu melawan Soviet. “Saya kira, Geertz dengan Amerika punya kepentingan pada saat itu. Sebab, menurut saya, pemilahan itu rasanya memojokkan umat Islam di negerimu,” tulisnya.

Stigma mistis yang dilekatkan Geertz kepada para pengikut ajaran mistis-kejawen, meskipun mereka mengaku pemeluk Islam, bukan tidak mungkin dikaitkan oleh intelektual Barat dengan ateisme. Bisa jadi pelabelan itu dilakukan untuk membuat pembenaran secara geopolitis dalam perseteruan barat-timur.

Stigma ateis yang sengaja dilekatkan kepada kelompok abangan membawa pengaruh dan konsekuensi yang luar biasa. Ketika kelompok abangan juga diidentikkan sebagai penganut ateisme, yang muncul kemudian idiom-idiom pengucilan secara sosio-politis. Ini disebabkan eksplanasi “sesat” yang sengaja ditaburkan dalam sengketa politik.

Kita ingat eksplanasi menyesatkan yang dikumandangkan pada 1966-an. Misalnya ateis itu sama dengan tidak mengenal Tuhan, orang yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal dosa, dan sebagainya. Karena itu, para ateis dianggap jahat, pendosa, dan tidak berperikemanusiaan karena suka membunuh. Ujung-ujungnya dapat ditebak. Ketika terjadi konflik politik yang melibas nilai-nilai agama, para pengikut aliran mistis lah yang pertama menjadi sasaran.

Pertanyaannya, apakah stigma Geertz terhadap para kaum abangan dilandasi oleh kepentingan secara politis? Lantas apakah tayangan di stasiun televisi swasta juga bermuatan hal yang sama kalau boleh saya analogikan? Entahlah.

Peristiwa pembantaian massal di daerah Kediri, Blitar, Madiun, dan Solo pada 1960-an dituduhkan dan dilekatkan kepada penganut ateisme yang diidentikkan dengan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini mungkin tidak lepas dari upaya perebutan pengaruh kekuasaan: Amerika dan Rusia dalam konteks Perang Dingin.

Menurut saya, tugas para sejarawan, filsuf dan teolog Timur untuk meluruskan sejarah tersebut melalui studi-studi yang mengkaji mistisisme secara ilmiah. Ini untuk mencegah munculnya berbagai pertanyaan dari orang di luar negara ini. Misalnya “mengapa muncul ghostbuster di sebuah negara yang religius? Bukankah masyarakat di negeri Anda sering melakukan upacara keagamaan? Kenapa sering ambigu dan percaya hal-hal irasional?

Sebenarnya kawan saya ingin melakukan studi tentang keberhasilan gerakan mahasiswa menumbangkan rezim diktator. Tesisnya sederhana, yakni ingin melihat signifikansi gerakan mahasiswa seusai “perestroika” terhadap kehidupan rakyat dalam negara berideologi Pancasila.

Fenomena penayangan mistik di hampir seluruh tayangan stasiun televisi swasta, membuat logika yang saya bangun sontak terjungkal. Betapa tidak, hal-hal yang bersifat misteri, sangat sulit bagi saya menerangkannya secara logis dan runtut untuk mereka yang terbiasa berpikir rasional.

Stereotipe mistik yang irasional, dogmatik dan privat, sejak istilah mistis menjadi santapan sehari-hari, sebenarnya banyak digugat. Hal ini membuktikan definisi mistik secara inheren merupakan sisi kognitif dari upaya perebutan otoritas dan kekuasaan yang kini dieksploitasi habis-habisan. “Tidak lebih, tidak kurang,” katanya.

Esai ini ditulis oleh Eddy J. Soetopo, Direktur Eksekutif Institute for Media and Social Studies.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya