SOLOPOS.COM - Maria Y. Benyamin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Farel “menggoyang| Istana. Rabu (17/8/2022). Dengan lirik jenaka Ojo Dibandingke karya Abah Lala. Ditingkahi goyangan khas, dia berhasil menyedot perhatian. Semua larut dalam kegembiraan. Di Hari Kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia.

Ini tentu pemandangan tak biasa dalam perayaan Hari Kemerdekaan RI di Istana. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Yang biasanya resmi. Tanpa aksi “goyang-goyangan”. Di depan Sang Presiden tentunya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kali ini, Farel mendobrak kebiasaan sebelumnya. Semua bergoyang. Tidak sedikit yang mendekati Farel, lalu ikut bergoyang di sekitarnya. Yang lain, kendati masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing, tak ketinggalan pula menggoyang badan.

Boleh dikatakan pemandangan yang tercipta dari aksi Farel mahal harganya. Farel yang polos berhasil membuat semua orang larut dalam satu suasana. Gembira. Penuh tawa.

Untuk sesaat, semua lupa pada masalah yang sedang dihadapi. Upaya pemulihan dari pandemi Covid-19. Pun tekanan geopolitik yang sedang memanas. Sejenak, semua kegundahan, kegalauan, kekhawatiran, kecemasan, hilang seketika. Meski Covid-19 belum sepenuhnya beranjak pergi. Dari negeri tercinta.
Farel bahkan mendobrak semua batasan. Tidak ada sekat. Sama sekali. Semuanya menyatu. Dalam satu identitas. Bangsa Indonesia.

Perayaan Hari Kemerdekaan di Istana kali ini memang berbeda. Sungguh berkesan. Dan, Farel adalah bintangnya. Bintang yang memersatukan. Selanjutnya, tugas kita adalah jangan membanding-bandingkan dengan penampil yang lain. Semua punya peran. Dalam menghidupkan suasana perayaan di Hari Kemerdekaan.

***

Sehari sebelumnya. Selasa (16/8/2022). Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan, yang boleh dibilang sarat kewaspadaan. Isyarat ini setidaknya terlihat dari 11 kata “krisis” yang terucap dalam pidatonya.

Kendati demikian, ada sejumlah catatan positif yang berhasil ditorehkan sejauh ini. Pertama, ekonomi Indonesia dalam tren menguat. Walau masih berjibaku menghadapi pandemi Covid-19, perekonomian masih tumbuh 5,44% pada kuartal II/2022, melanjutkan pertumbuhan kuartal I/2022 yang sebesar 5,01%.
Capaian tiga bulan kedua pada tahun ini ditopang oleh sejumlah sektor strategis, yaitu manufaktur dan perdagangan. Tentunya, hal tersebut dipengaruhi oleh konsumsi masyarakat yang mulai pulih.

Kedua, kinerja ekspor semakin solid dan mengantar neraca perdagangan pada Januari-Juni atau semester I/2022 menembus rekor tertinggi dalam sejarah, yakni US$24,89 miliar. Bahkan, tren surplus masih terus berlanjut.

Pada Juli 2022, neraca perdagangan masih mencatat surplus US$4,23 miliar, melanjutkan tren surplus yang telah berlangsung sejak Mei 2020. Ini berarti, neraca perdagangan telah mengalami surplus selama 27 tahun berturut-turut.

Ketiga, kinerja sektor manufaktur yang ekspansif. Hal ini terlihat dari indikator Purchasing Managers Index (PMI) yang pada Juli 2022 berada di level 51,3. Angka di atas 50 menunjukkan bahwa sektor manufaktur berada di level ekspansif.

Peningkatan ini didorong oleh permintaan baru yang lebih tinggi dari pasar domestik, sehingga mendorong produksi manufaktur. Sebuah capaian yang tentu saja sangat menggembirakan di tengah kondisi saat ini.

Keempat, laju inflasi Indonesia yang ternyata masih jauh lebih moderat dibandingkan dengan negara lain. Di saat sejumlah negara lainnya mencatat inflasi tinggi, Indonesia bisa menjaga tingkat inflasi pada level yang masih terbilang rendah. Per Juli, tingkat inflasi Indonesia sebesar 4,9% (year-on-year).

Di antara negara ASEAN lainnya, inflasi Indonesia memang relatif terkendali, bila dibandingkan dengan Laos (23,6%), Myanmar (17,78%), Kamboja (7,8%), Thailand (7,61%), Singapura (6,7%), dan Filipina (6,4%). Inflasi Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam berada di bawah 4%. Adapun, sejauh ini rata-rata inflasi di kawasan ASEAN mencapai 8,47%. Tentu saja lebih tinggi dari inflasi Indonesia sejauh ini. Dibandingkan dengan negara-negara maju, kondisi inflasi Indonesia juga relatif lebih terkendali. Amerika Serikat mencatat inflasi 8,8% sedangkan Inggris 9,4%.

Kita semua patut bergembira melihat perkembangan sejauh ini. Empat indikator di atas setidaknya menjadi angin segar bagi bangsa tersebut. Capaian positif itu tentu saja menjadi kado terindah bagi kita pada usia 77 tahun ini. Apalagi, di tengah kondisi yang lagi-lagi tidak mudah dihadapi.

Ini bukan kerja orang tentu. Kementerian tertentu. Bukan pula keringat segelintir pihak saja. Ini buah kerja bersama. Di bawah orkestrasi “sang konduktor” yang piawai. Yang seharusnya pula menjadi kebanggaan bersama.

Kolaborasi pemerintah dan sektor swasta juga boleh dibilang cukup apik, sehingga mampu mengantarkan Indonesia meraih sejumlah catatan positif.
Harian ini baru saja menggelar Bisnis Indonesia Award (BIA) pada Senin (15/8/2022). Sebanyak 34 penghargaan disematkan pada perusahaan terbuka yang berhasil mencatatkan kinerja positif di tengah kondisi yang bisa dibilang sangat berat. Award ini menjadi salah satu bentuk apresiasi bagi perusahaan yang tentu saja dengan segala upaya dan strategi mampu bertahan sekaligus bangkit dari berbagai terpaan pasca-dilibas pandemi Covid-19.

Kita boleh berbangga atas berbagai capaian di atas. Namun, kewaspadaan tetap harus ada. Waspada terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi. Waspada terhadap situasi baru yang masih mungkin terjadi ke depannya. Waspada pula pada ancaman terhadap perekonomian nasional yang bisa saja muncul tiba-tiba. Seperti pencuri di tengah malam.

Tantangan memang masih mengadang di depan mata. Yang paling berat adalah risiko gejolak ekonomi global. Tekanan geopolitik telah menyeret ekonomi global ke pusaran krisis baru.

Tak ada yang bisa mengelak. Seperti peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Inilah kondisi yang terjadi saat ini. Belum juga lepas dari dampak pandemi Covid-19, dunia kini menghadapi kondisi baru, yakni perang Rusia dan Ukraina, yang tentu saja membawa dampak yang membuat negara lainnya masuk dalam lubang krisis.

Masalah paling pelik yang kini dihadapi adalah gangguan sisi suplai. Dampaknya adalah lonjakan harga pangan dan energi, yang pada ujungnya menyebabkan kenaikan inflasi di banyak negara.

Upaya mengatasi masalah di sisi suplai ini tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Obatnya pun bukan kebijakan moneter, yang masih disuarakan oleh segelintir pihak. Masalah di sisi suplai tentu tak bisa diselesaikan dengan kebijakan moneter, sebagaimana halnya problem di sisi permintaan atau demand.

Obat paling ampuh untuk mengatasi persoalan di sisi suplai adalah berakhirnya perang Rusia dan Ukraina itu sendiri. Dengan berakhirnya perang tersebut, harapannya gangguan suplai bisa kembali berlangsung normal. Siapa bisa menebak kapan berakhirnya perang tersebut? Tak ada yang tahu.

Yang pasti, dampak dari gangguan di sisi suplai ini bisa ke mana-mana. Pasokan bahan baku terancam. Ketika pasokan bahan baku terkendala, gangguan produksi semakin nyata di depan mata. Jika itu terjadi, imbasnya adalah harga barang yang semakin mahal.



Ketika harga barang melonjak tak terkendali dan menjadi tak terbeli oleh masyarakat, aksi menahan belanja jelas tak terhindarkan. Alhasil, ada bahaya lain yang mengintai, yakni penurunan konsumsi masyarakat. Kalau sudah begini, “awan gelap” berupa ancaman pelemahan ekonomi sudah pasti mengekor.

Namun, apakah kita hanya berpasrah pada kondisi? Tentu tidak. Formulasi kebijakan yang tepat mutlak disiapkan. Kolaborasi di antara berbagai pihak, lagi-lagi, harus terjalin dengan baik. Sekali lagi. Kolaborasi. Bukan berjalan sendiri-sendiri.

Kita sudah memiliki modal dasar yang kuat dalam menghadapi situasi yang serba tak pasti ke depannya. Jangan sampai, momentum tersebut hilang begitu saja. Lepas dari tangan.

***

Hari-hari ini, kita tergoda untuk membanding-bandingkan. Antara satu dan yang lainnya. Antara yang sekarang dan yang dulu. Godaan untuk membanding-bandingkan seperti kian membuncah. Apalagi di tengah kondisi sekarang ini. Ketika kian dekat pada 2024. Yang belakangan ini menyita perhatian.

Saking sibuk membanding-bandingkan antara satu dan yang lain, terkadang kita pun terjerembab pada jalur yang salah, dan akhirnya kehilangan fokus. Pada masalah utamanya. Pada problem yang jauh lebih mendesak untuk diselesaikan. Padahal, kita sedang berkejaran dengan waktu. Agar tak kehilangan momentum.

Bukan saatnya lagi membanding-bandingkan. Justru kekuatan-kekuatan yang ada harus saling mendukung. Dengan tujuan yang jauh lebih besar: untuk Indonesia. Agar pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat.

Seruan Farel, dengan kepolosannya, dari tengah lapangan Istana, lewat sebuah lagu sederhana, bisa jadi adalah pesan untuk kita semua. Yang harus kita refleksikan bersama. Di Hari Ulang Tahun Indonesia. Jelas beda yen dibandingke… Jadi, aja dibandingke!

Esai ini ditulis oleh Maria Y. Benyamin, jurnalis Bisnis Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya