SOLOPOS.COM - Perajin Gerabah di Desa Melikan Klaten. (Istimewa/klatenkab.go.id)

Solopos.com, KLATEN — Siapa sangka ternyata sosok di balik tradisi pembuatan gerabah di sentra kerajinan gerabah di Desa Melikan adalah Sunan Pandanaran. Hingga sekarang, Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah terkenal sebagai sentra kerajinan gerabah yang proses pembuatannya dengan teknik putaran miring.

Dilansir dari laman klatenkab.go.id, Selasa (29/11/2022), tradisi membuat gerabah di Bayat tak bisa lepas dari peran seorang Sunan Pandanaran atau biasa disebut Sunan Tembayat alias Pangeran Mangkubumi. Sunan Pandanaran adalah tokoh penyebar agama Islam di Kabupaten Klaten, khususnya di Bayat.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Lantaran hal itu, gerabah dari Desa Melikan sering di sebut dengan gerabah Bayat. Hal tersebut terjadi karena Desa Melikan berbatasan langsung dengan Kecamatan Bayat.

Sunan Pandanaran merupakan putra dari Ki Ageng Pandan Arang yang merupakan Bupati pertama Semarang. Walaupun tidak ditemukan sejarah mengenai awal terjadinya kerajinan gerabah di Bayat, namun para perajin meyakini jika kerajinan gerabah ini sudah ada saat Sunan Pandanaran menyebarkan agama Islam pada abad ke-15 di Bayat.

Keyakinan tersebut berdasarkan keberadaan Gentong Sinogo yang merupakan tempayan berisi air yang digunakan berwudu.

Baca Juga: Keren! 4 Budaya Asli Klaten Ini Ditetapkan sebagai Warisan Tak Benda Nasional

Pada umumnya teknik putaran miring dalam membuat gerabah menggunakan roda putar datar banyak ditemui di banyak wilayah. Tapi, kerajinan gerabah di Bayat ada sedikit perbedaan, yakni roda putar yang dipakai tidak datar (horisontal) melainkan miring ke depan beberapa derajat. Teknik membuat gerabah itu disebut dengan teknik putaran miring.

Sumilih selaku ketua desa wisata gerabah di Melikan, mengatakan banyak perajin di Bayat menggunakan teknik putaran miring. Hal itu bermula saat di zaman dahulu, para perajin gerabah banyak yang berasal dari kalangan perempuan dengan tradisi menggunakan baju adat Jawa, yakni kebaya serta kain jarik.

“Guna menjaga kesopanan, para perajin perempuan yang menggunakan teknik putaran miring mengharuskan mereka semua duduk miring. Posisi miring ini berguna untuk menjaga etika kesopanan dengan tidak membuka paha saat bekerja. Teknik putaran miring juga memberikan kemudahan bagi para perempuan yang mengenakan kain jarik panjang karena tak harus menekuk kakinya,” kata Sumilih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya