SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi menyebutkan delapan orang Papua ditangkap dan ditahan oleh Polda Metro Jaya pada 30-31 Agustus 2019. Penangkapan itu terkait tuduhan makar terkait Papua.

Dalam keterangan tertulis yang dirilis, Koalisi menyebutkan kronologi penangkapan yang dilakukan secara bertahap. Salah satu orang yang ditangkap, sebut Koalisi, adalah Surya Anta, juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Hari Sabtu, 31 Agustus 2019 sekitar pukul 20.30 Surya Anta ditangkap oleh 2 orang polisi yang berpakaian preman di Plaza Indonesia. Ia kemudian dibawa ke Polda MEtro Jaya. Saat penangkapan, polisi menjelaskan pasal yang disangkakan adalah makar terkait Papua,” jelas Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Simamora, dalam keterangan tersebut, Minggu (1/9/2019).

Penangkapan Surya Anta, terang koalisi, adalah kejadian keempat. Penangkapan pertama terjadi pada 2 mahasiswa Papua pada Jumat (30/8/2019) di sebuah asrama di Depok. Sedangkan penangkapan kedua terjadi saat aksi solidaritas untuk Papua di depan Polda Metro Jaya, Sabtu (31/8/2019) sore.

Ekspedisi Mudik 2024

“Penangkapan ketiga dilakukan aparat gabungan TNI dan Polri terhadap tiga perempuan, pada 31 Agustus 2019 di kontrakan mahasiswa asal Kab. Nduga di Jakarta. Penangkapan dilakukan tanpasurat izin penangkapan dari polisi. Aparat gabungan juga mengancam tidak boleh ambil video atau gambar, sementara mereka boleh mengambil gambar ataupun video dan aparat gabungan sempat memukul salah satu perempuan saat meronta.”

Sejauh ini, sebut Koalisi, ada delapan orang yang ditangkap dan ditahan, yaitu.
1. Carles Kossay
2. Dano Tabuni
3. Ambrosius Mulait
4. Isay Wenda
5. Naliana Wasiangge
6. Wenebita Wasiangge
7. Norince Kogoya
8. Surya Anta

Saat keterangan tersebut dirilis, kata Koalisi, semua yang ditangkap telah dipindahkan ke Mako Brimob di Kelapa Dua.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi meminta aparat kepolisian menghentikan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap mahasiswa Papua. Sebab, hal itu dikhawatirkan justru akan memperburuk masalah yang terjadi di Papua. Nelson Simamora menilai seharusnya aparat kepolisian mengambil langkah inisiatif dalam menyeleksi konflik di Papua dengan upaya dialog dan damai. Bukan justru melakukan sweeping ke sejumlah asrama dan menangkap mahasiswa Papua dengan sewenang-wenang.

“Kami menghkhawatirkan upaya berlebihan yang dilakukan kepolisian yang dapat memperburuk masalah terkait Papua yang yang tengah terjadi,” kata Nelson lewat keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Minggu (1/9/2019).

Nelson mengungkapkan setidaknya ada delapan mahasiswa Papua yang ditangkap dengan tuduhan makar. Satu di antaranya yakni aktivis Papua yang juga merupakan juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta Ginting.

Nelson menilai penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap delapan mahasiswa Papua di lokasi yang berbeda menunjukkan adanya upaya menjadikan orang Papua sebagai target. Menurutnya, hal itu sangat berbahaya bagi nilai demokrasi di Indonesia.

“Selain dapat mengarah pada diskriminasi etnis, hal ini juga dapat meningkatkan tensi yang akan berujung membahayakan keselamatan warga sipil,” ujarnya.

Untuk itu, Nelson meminta aparat kepolisian untuk menghentikan sweeping ke asrama dan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap mahasiswa Papua. Dia juga mendesak agar aparat kepolisian dapat bertindak profesional.

“Khususnya kepolisian dapat bertindak profesional dengan mengedepankan prinsip-prinsip HAM dalam menyikapi peristiwa yang terjadi,” tegasnya.

Sementara itu, Polda Metro Jaya mengonfirmasi penangkapan tersebut. Polda mengakui 8 orang ditangkap karena diduga terkait pengibaran bendera Bintang Kejora saat berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan Jakarta Pusat. “Kita amankan dari tempat berbeda-beda,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono di Jakarta, Minggu.

Beberapa orang yang diamankan itu antara lain di asrama mahasiswa dan saat berunjuk rasa di depan Markas Polda Metro Jaya. Argo mengatakan petugas mengamankan delapan orang itu berdasarkan hasil penyelidikan seperti mengumpulkan rekaman kamera tersembunyi dan dokumentasi.

Namun, Argo mengklaim polisi menangkap delapan orang itu secara soft yang sesuai aturan dan prosedur yang berlaku. Para pengunjuk rasa itu telah ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan keamanan negara dengan sangkaan melanggar Pasal 106 dan Pasal 110 KUHP.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya