SOLOPOS.COM - Ilustrasi membaca (Nicolous Irawan/JIBI/Solopos)

Warga buta aksara di Indonesia masih tersisa 3,4 juta.

Solopos.com, JAKARTA— Warga buta aksara di Tanah Air tersisa 2,07% atau sebanyak 3,4 juta orang. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakankan angka bebas buta aksara di Tanah Air mencapai 97,93 persen.

Promosi BRI Group Buka Pendaftaran Mudik Asyik Bersama BUMN 2024 untuk 6.441 Orang

Tersisa 3,4 juta warga (2,07%) yang masih belum mengenal huruf dan mampu membaca seperti dilansir Antara, Senin (11/9/2017).

Jumlah buta aksara di Tanah Air pada usia 15 tahun-59 tahun tersebar di 11 provinsi. Sebanyak 28,75% warga di Papua belum mengenal huruf dan membaca. Akibatnya Papua menjadi provinsi yang paling tinggi angka buta hurufnya.

Ekspedisi Mudik 2024

Selain Papua, sejumlah provinsi di Indonesia juga menghadapi persoalan warga buta huruf dan belum mampu membaca. Perinciannya sebesar 7,91% di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), 5,15% di Nusa Tenggara Timur (NTT), 4,58% di Sulawesi Barat, 4,50% di Kalimantan Barat, 4,49% di Sulawesi Selatan, 3,57% di Bali, 3,47% di Jawa Timur, 2,90% di Kalimantan Utara, 2,74% di Sulawesi Tenggara, dan 2,20% di Jawa Tengah.

Mengacu kepada indeks buta huruf di dunia berdasarkan riset Rektor Universitas Central Connecticut State di New Britain, John Miller, pada 2016 lalu Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara. Riset ini menekankan pada hasil ujian mengenal huruf serta karakteristik sikap terpelajar.

Contohnya adalah jumlah perpustakaan dan koran di sekolah serta ketersediaan komputer di sebuah negara. Riset tersebut tidak hanya melihat kemampuan penduduk negara dalam membaca dan menulis, namun juga perangkat pendukung dan sikap terpelajar warganya.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih, mengaku perihatin. Dia mengatakan pemerintah terutama Kemendikbud, Kemenristekdikti, dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) perlu berupaya menekan tingginya angka buta huruf.

“Program pemberantasan buta aksara di Ditjen PAUD dan Dikmas Kemendikbud. Namun, yang terus memantau tingkat buta huruf negeri ini adalah Perpurnas. Sayangnya koordinasi di antara kedua pihak belum terlihat,” kata Abdul Fikri.

Di sisi lain, anggaran untuk meningkatkan daya masyarakat mengenal huruf dan membaca tergolong rendah dibandingkan di negara-negara ASEAN. Singapura mengalokasikan dana untuk institusi seperti Perpusnas hingga Rp1,7 triliun per tahun, Malaysia Rp66,8 triliun, sementara Indonesia hanya Rp500 miliar.

“Padahal jumlah penduduk mereka lebih sedikit dibandingkan kita,” kata dia. Faktor lain yang menjadi pemicu tingginya angka buta huruf di Indonesia adalah rendahnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Seharusnya pemerintah daerah saling melengkapi, tidak harus terus bergantung kepada pemerintah pusat.

“Faktanya pemerintah daerah masih tergantung kepada pemerintah pusat, terutama dari sisi anggaran karena memang pendapatan asli daerah [PAD] maksimal hanya 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah [APBN].”

Pada 8 September yang diperingati sebagai Hari Aksara Internasional, Abdul Fikri berharap menjadi kesempatan bagi pemerintah dan seluruh masyarakat merenungkan kembali tentang keaksaraan, termasuk tingginya angka buta huruf di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya