SOLOPOS.COM - Dodik Bintoro, seorang penjual taoge di Pasar Darurat Karanganom, Klaten Utara, sujud syukur setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIB klaten, Kamis (24/3/2022). Dodik yang sempat terseret kasus penganiayan memperoleh keadilan restoratif dari Kejaksaan Agung (Kejagung). (Istimewa/LP Kelas IIB Klaten)

Solopos.com, KLATEN — Sebanyak dua perkara diselesaikan Kejaksaan Negeri (Kejari) Klaten melalui pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif. Kedua perkara itu masing-masing perkara penganiyaan serta penggelapan.

Kepala Seksi Pidana Umum (Kasipidum) Kejari Klaten, Adi Nugraha, mengatakan kedua perkara itu terjadi pada tahun 2022. Perkara pertama, yakni penganiayaan dengan tersangka Dodik Bintoro, seorang penjual taoge di Pasar Darurat Desa Karanganom, Klaten Utara yang disangka melanggar Pasal 351 ayat 1 KUHP tentang Penganiayaan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Perkara kedua dengan tersangka Suharsono, seorang makelar di Karanganom yang disangka melanggar Pasal 372 KUHP atau Pasal 378 KUHP tentang Penggelapan atau Pencurian.

“Kedua perkara ini sudah disetujui semua [oleh Kejaksaan Agung diselesaikan melalui restorative justice],” jelas Adi saat ditemui di Kantor Desa Nglinggi, Kecamatan Klaten Selatan, Kamis (2/6/2022).

Ekspedisi Mudik 2024

Adi menjelaskan tak semua perkara pidana bisa diselesaikan melalui program keadilan restoratif. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sesuai peraturan yang berlaku.

Baca Juga: Nglinggi Jadi Pilot Program Rumah Restorative Justice di Klaten

“Kami melihat kasusistik perkara itu. Maksudnya, ketika perkara itu layak dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, bisa diselesaikan dengan itu. Program ini [keadilan restoratif] ditujukan ke orang-orang yang tidak mampu yang tersangkut perkara,” jelas Adi.

Kepala Kejari (Kajari) Klaten, Suyanto, menjelaskan restorative justice atau keadilan restoratif merupakan mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Proses penyelesaian melalui dialog dan mediasi melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku maupun korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

“Pelaku diberi kesempatan untuk mengungkapkan rasa penyesalannya dan meminta maaf serta siap bertanggung jawab dan menanggung kerugian yang dilakukannya kepada korban. Sedangkan korban dapat menerima penyesalan dan permintaan maaf dari pelaku tanpa syarat maupun tuntutan,” kata Suyanto.

Keadilan restoratif diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Tak semua perkara pidana bisa diselesaikan melalui program keadilan restoratif.

Baca Juga: Keadilan Restoratif, Tersangka Penganiayaan Klaten Ini Lolos Jeratan

Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, seperti terdakwa baru kali pertama melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima tahun. Nilai kerugian terhadap korban tidak lebih dari Rp2,5 juta.

“Syarat selanjutnya ada perdamaian dari pelaku dan korban tanpa ada paksaan. Ada respons positif dari tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah termasuk ada rekomendasi kepada Kejari bagaimana perilaku sehari-hari pelaku, layak dilakukan restorative justice atau tidak. Dalam rangka kebijakan, program ini lebih dititikberatkan kepada pelaku tindak pidana dari masyarakat kurang mampu,” kata Suyanto.

Suyanto menjelaskan ada beberapa tahapan untuk proses keadilan restoratif dan dilakukan sangat ketat. Dalam proses tersebut, ada pengawasan langsung dari Kejaksaan Agung untuk menghindari penyalahgunaan program oleh orang tidak bertanggung jawab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya