SOLOPOS.COM - Hari Dunia Menentang Pekerja Anak. (Ilustrasi/Freepik)

Solopos.com, SOLO--Setiap tanggal 12 Juni diperingati sebagai Hari Dunia Menentang Pekerja Anak. Namun kenyataannya di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, masih kita jumpai bocah-bocah ikut mencari nafkah.

Pemerintah Indonesia sendiri mencanangkan Indonesia bebas pekerja anak pada 2022. Namun kenyataannya hingga pertengahan 2021 ini, Indonesia masih jauh dari target.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tahun ini, peringatan World Day Against Child Labour berfokus pada tindakan yang diambil untuk penghapusan pekerja anak. Ini adalah Hari Sedunia (World Day) pertama sejak ratifikasi universal Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, dan terjadi pada saat krisis Covid-19.

Baca Juga: Viral Bocah Disunat Teriak Kesakitan, Yakin Masih Mau Nyakitin Cowok?

Bagaimana kondisi jumlah pekerja anak di Indonesia?

Kenyataannya di Indonesia justru mengalami peningkatan dalam kurun waktu tiga tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2017 terdapat 1,2 juta pekerja anak di Indonesia dan meningkat 0,4 juta atau menjadi sekitar 1,6 juta pada 2019.

Dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, belum lama ini, sebagaimana mengutip laman kpai.go.id, Ketua KPAI, Dr. Susanto, MA, menyampaikan bahwa situasi pekerja anak dalam lima tahun terakhir belum menunjukkan penurunan signifikan. Penarikan pekerja anak dianggap berhasil pada 2015, namun meningkat kembali pada 2016 hingga kini.

Memasuki 2020, persoalan buruh cilik ini semakin kompleks manakala wabah pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap ekonomi dan sosial, terutama bagi mereka yang rentan secara ekonomi. Hal ini menimbulkan dampak domino pada pekerja anak dan keluarganya.

Baca Juga:  Waspadai Bahaya Kandungan Ini dalam Hand Sanitizer

International Labour Organization (ILO) menggambarkan anak yang harus bekerja akan terampas masa kecilnya bahkan potensi dan martabatnya. Situasi tersebut berbahaya bagi perkembangan fisik dan mental mereka.

Namun, jumlah pekerja anak di Indonesia belum mendekati "nol" meski tenggat kian dekat. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2019 mendata masih ada sekitar 1,6 juta bocah berusia 10-17 tahun yang "terpaksa" mencari nafkah.

Data Profil Anak Indonesia pada 2019, menunjukkan ada 10 provinsi di Indonesia yang memiliki angka buruh cilik ini di atas rata-rata nasional, di antaranya yaitu Sulawesi Barat sejumlah 16,76%, Sulawesi Tenggara 15,28%, Papua 14,46%, Nusa Tenggara Timur 13,33%, Sumatera Utara 13,38%, Sulawesi Tengah 12,74%, Sulawesi Selatan 12,45%, Bali 11,57%, Nusa Tenggara Barat 11%, dan Gorontalo 10,97%.

Baca Juga: Di Tengah Gugatan Cerai, Unggahan Teh Ninih Jadi Sorotan

Mengutip laman kemenpppa.go.id, Sabtu (12/6/2021), Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Kemen PPPA, Valentina Gintings, menjelaskan penyebab utama si kecil mengalami putus sekolah, yaitu karena adanya faktor kemiskinan yang menghimpit dan menghambat pemenuhan pendidikan si kecil, sehingga persyaratan untuk bisa melanjutkan sekolah pun tidak bisa dipenuhi. Belum lagi saat bocah dengan sendirinya bekerja karena diajak orang tua membantu perekonomian keluarga, akhirnya si bocah pun tidak mau lagi bersekolah.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya