SOLOPOS.COM - Ilustrasi pabrik. (Freepik)

Solopos.com, SEMARANG — Sekitar 100 pabrik sepatu dari Bekasi dan Tangerang pindah ke Jawa Tengah dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan karyawan dengan upah murah.

Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko. Dia mengataka perpindahan pabrik membuat pengusaha dapat menggaet karyawan baru untuk produksi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Contoh kita lihat di Tanggerang, Bekasi kan UMR-nya kurang lebih sekitar Rp4,3 juta. Kalau kita lihat di Jawa Tengah, itu ada yang Rp1,6 juta, ada yang Rp1,8 juta. Jadi perbedaan dengan jumlah karyawan yang begitu besar itu perbedaannya dengan signifikan,” ujarnya pada Market Review IDXChanel, Senin (11/10/2021), seperti dilansir Okezone.

Baca juga: Ditolak di Bonagung Sragen, Pabrik Sepatu Pernah Gagal Dibangun di Sambungmacan & Sumberlawang

Eddy mengatakan selisih gaji yang terpaut jauh dapat menutup biaya operasional. Hal ini jelas lebih hemat ketimbang mendirikan pabrik di Bekasi atau di Tangerang.

“Contoh 1.000 orang saja itu kalau selisihnya (upahnya) Rp1 juta, itu kan kurang lebih kan sekitar Rp1 miliar kita bisa hemat, apalagi kalau karyawannya 10.000,” sambungnya.

Dia menambahkan saat ini hampir semua pabrik yang berpindah itu mengalami kenaikan karyawan. Hal ini menjadi salah satu indikasi kawasan industri di Jawa Tengah mulai berkembang.

“Hampir semua pabrik yang pindah itu mengalami kenaikan karyawannya, jadi ini sebetulnya pertanda baik, bahwa dalam waktu 3 sampai 4 tahun kedepan itu justru industri itu akan ada di Jawa Tengah,” sambungnya.

Baca juga: Air Telaga Sarangan Surut, Sumbernya Dari Mana?

Pabrik Sepatu di Sragen 

Salah satu industri pabrik sepatu di Jawa Tengah berada di Kabupaten Sragen. Pada Oktober 2020 lalu dikabarkan salah satu pabrik sepatu yang baru beroperasi di Dukuh Salam, Desa Saren, Kecamatan Kalijambe, Sragen, terbakar. Asap hitam akibat kebakaran ini membumbung tinggi dan mencemari udara di wilayah sekitar.

Selain itu pada masa yang sama, investasi pabrik sepatu senilai Rp1,8 triliun yang rencananya dibangun di Kecamatan Sumberlawang, Sragen, batal.
Investasi yang diperkirakan menyerap 30.000 tenaga kerja itu batal karena masalah sengketa lahan tak kunjung selesai akibat warga enggan melepas tanah.

Sebelumnya pada Agustus 2020 petani di Desa Bonagung, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen, juga menolak pembangunan pabrik sepatu. Sementara Pemdes Bonagung justru secara terang-terangan mendukung investasi tersebut. Alasannya Desa Bonagung masuk zona industri sehingga rencana pembangunan pabrik sepatu itu dinilainya tidak melawan aturan yang berlaku.

Baca juga: Melihat Dari Dekat Calon Kawasan Industri Terbesar di Jateng

Kawasan Industri Jateng

Pembangunan kawasan industri di Jawa Tengah memang digencarkan selama beberapa tahun belakangan. Salah satunya adalah kawasan industri terpadu di Pantai Utara Jateng. Di satu sisi pembangunan kawasan industri diharapkan dapat menyerap lebih banyak lapangan kerja. Namun, di sisi lain ada bencana yang mengancam dari pembangunan tersebut.

Film dokumenter yang digarap Watchdog Documentary bertajuk Surat Cinta dari Pantura menunjukkan fakta berbeda. Pengembangan kawasan industri besar-besaran di sepanjang pantai utara Jawa yang dilakukan demi menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan umum agaknya perlu dikaji ulang.

Munculnya kawasan industri mengancam keberlangsungan hidup petani dan nelayan lokal. Mereka terancam kehilangan lahan dan mata pencaharian yang telah puluhan tahun dilakoni.

Baca juga: Rasa Teh di Solo Ternikmat No Debat, Sepakat?

Sayangnya, mereka yang menolak pembangunan industri itu kerap dianggap melawan negara dan dengan mudah mendapatkan ancaman hingga dikriminalisasi. Kejadian semacam ini telah menjadi bagian hidup masyarakat lokal yang menolak pembangunan kawasan industri.

Warga lokal yang menolak pembangunan industri itu mengaku tidak berminat bekerja di sektor tersebut. Mereka merasa dapat mencukupi kebutuhan hidup dengan mengandalkan sumber daya alam yang kini terancam hilang akibat pembangunan sektor industri.

Menanggapi hal tersebut, pengurus Sekolah Ekonomi Demokratika, Hendro Sangkoyo, menyebutkan bahwa ruang hidup masyarakat lokal justru dirusak oleh pembangunan industri.

“Jelas bahwa tumpuan metabolisme sosial rakyat Indonesia yaitu adanya kemampuan untuk bertahan hidup dengan produksi skala kecil, namun ini yang dirusak (oleh industri). Nomor satu yang dikorbankan adalah kemampuan kolektif untuk mengurus satu wilayah yang bisa menghidupi, atau ruang hidup. Ruang hidup ini malah ditumpangi dengan kegiatan yang intinya merusak semua yang bisa menghidupi,” terangnya.

Baca juga: Rekor! Lumpur Lapindo Jadi Bencana Metana Terbesar di Bumi

Sementara itu, pengamat ekonomi, Faisal Basri, mengingatkan pesan Bung Karno untuk tidak menjadikan lahan subur sebagai wilayah industri. Sebab, menurutnya kawasan pantura Jateng merupakan lahan subur yang dapat dimanfaatkan lebih baik.

“Dan ingat pesan Bung Karno. Jangan sekali-kali kita menggunakan lahan yang subur untuk industri dan kota baru. Karena industri cukup punya lahan yang tandus. Jadi yang tidak bisa dipakai untuk pertanian, industri bisa dipakai. Dan di Pantai Utara itu termasuk lahan subur dan menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduk di sana. Ketamakan ini yang menyebabkan industri menjadi seperti ini,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya