Kolom
Sabtu, 24 Maret 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Interdisiplin Ilmu ala Soedjatmoko

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Rony K. Pratama (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (14/3/2018). Esai ini karya Rony K. Pratama, peneliti pendidikan literasi di Jogja. Alamat e-mail penulis adalah ronykamtis@gmail.com.

Solopos.com, SOLO –– Soedjatmoko adalah individu yang mencintai ilmu pengetahuan. Pada 10 Januari lalu ia, bila masih hidup, berulang tahun yang ke-96. Ia lahir pada 10 Januari 1922.

Advertisement

Soedjatmoko biasa disapa Bung Koko. Meskipun telah wafat, pemikiran sekaligus tulisan Soedjatmoko tetap abadi bagi lintas generasi. Soedjatmoko bergerak dari ilmu ke ilmu untuk mengukuhkan ketersambungan posisi manusia sebagai pribadi yang mustahil terlepas dari kompleksitas kehidupan.

Itu mengindikasikan suatu dorongan total agar individu menggayung disiplin ilmu secara utuh. Sikap ini bisa dilihat sebagai antitesis revolusi ilmu pengetahuan yang cenderung dikotomis.

Pemikiran Soedjatmoko soal interdisiplin ilmu itu telah digagas sejak usia 20-an tahun. Masa muda ia gunakan untuk merenungi filsafat ilmu dan bagaimana implikasinya terhadap kehidupan manusia.

Advertisement

Bejibun buku bekas yang ia beli dengan harga murah di pasar loak membuat Soedjatmoko tumbuh menjadi pemuda yang rajin membaca. Tiada hari tanpa menbaca, merenung, dan menulis.

Sekalipun catatan harian atas bacaan yang telah dia lahap kini tak lagi ditemukan generasi milenial, pemikiran Soedjatmoko bisa diketahui lewat ratusan tulisan yang dibukukan dan kini berangsur-angsur menjadi klasik.

Selanjutnya adalah: Bagi Soedjatmoko sifat ilmu itu universal

Advertisement

Universal

Bagi Soedjatmoko sifat ilmu itu universal. Ilmu bisa dinikmati siapa pun tanpa mengenal batas identitas. Di balik universalitas ilmu, Soedjatmoko menyadari niscaya terikat kepentingan tertentu.

Anggapan itu kemudian memunculkan tesis ilmu bisa bersifat objektif, tapi pada praksisnya tak netral. Siapa penggunanya akan berdampak ilmu dapat dipeyorasikan sesuai kepentingan individu maupun kelompok.

Pemikiran Soedjatmoko era 1970-an tersebut secara implisit menampar anggapan kontemporer—meskipun sudah dimulai seabad lampau—ihwal superioritas ilmu pasti ketimbang ilmu sosial dan humaniora.

Advertisement

Dimensi eksak dianggap lebih empiris dampaknya daripada disiplin sosial dan humaniora. Akibatnya, pemegang kuyasa politik pilih kasih terhadap ilmu tertentu. Politik identitas dan kultus ilmu eksak sebagai komponen primer dalam cakupan kebijakan pembangunan menjadi dominan.

Ini terpampang jelas dalam praktik pendidikan dewasa ini. Diskriminasi ilmu pengetahuan sesungguhnya merupakan kesalahan fatal yang dilakukan setelah revolusi industri. Positivisme dianggap penting ketimbang naturalisme.

Hal ini jelas membahayakan bagi perkembangan dan kesimbangan ilmu pengetahuan. Telah banyak kasus yang diakibatkan oleh sikap serampangan demikian ini. Bayangkan bila ilmu pasti dibiarkan berkembang secara bebas nilai.

Boleh jadi akan terjadi kesenjangan menganga di tataran sosial. Jika artificial intelligence dikembangkan total tanpa analisis dampak di masyarakat, posisi manusia akan teralienasi.

Advertisement

Konsekuensi logisnya dunia bukan lagi mengakomodasi kepentingan manusia sebab robot meneken peran dan fungsi manusia dan kemanusiaan. Ini sekadar contoh faktual yang sedang dihadapi manusia modern.

Selanjutnya adalah: Peringatan futuristis Soedjatmoko sejak empat dekade lampau

Futuristis

Peringatan futuristis Soedjatmoko sejak empat dekade lampau mulai menunjukkan tanda-tanda kebenaran, sekalipun baru sebatas fenomenologis. Suatu ketika ia pernah menulis hari depan dunia lebih banyak ditentukan moralitas keputusan kita sekarang.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah moralitas versi siapa? Kalau Soedjatmoko masih hidup barangkali akan menimpali sebagai moralitas universal yang dipegang penduduk bumi, jawaban imajiner yang terlalu klise dan sentimentil.

Advertisement

Perenungan panjang Soedjatmoko mengenai dimensi manusia dan kemanusiaan merupakan bentuk keprihatinan terhadap kecenderungan pembangunan yang berporos pada kepentingan ekonomi.

Secara terang-terangan ia mengkritik model pembangunan Orde Baru yang lebih mengutamakan aspek ekonomi ketimbang kebudayaan. Soedjatmoko menghendaki suatu keseimbangan pembangunan, baik dimensi ekonomi maupun kebudayaan semestinya diposisikan sama.

Tanpa ekonomi yang sehat suatu bangsa akan dirundung kecemasan fisik. Sedangkan tanpa kebudayaan suatu bangsa akan terjebak kegelapan psikis. Dua hal tersebut harus diprioritaskan pemerintah manakala hendak menarasikan pembangunan jangka panjang.

Kritik konstruktif Soedjatmoko direspons ilmuwan sosial sebagai hipotesis yang terbuka luas untuk diteliti lebih lanjut. Tak mengherankan pada awal 1970-an hingga akhir 1980-an tulisan ilmiah maupun populer membanjiri media dengan narasi-narasi pembangunan berbasis kebudayaan di samping ulasan pembangunan yang didasarkan atas pertimbangan ekonomi.

Selanjutnya adalah: Sebagai seorang humanis Sedjatmoko mengawali diskursus akademis

Humanis

Sebagai seorang humanis Soedjatmoko mengawali diskursus akademis yang menyehatkan bagi perkembangan intelektual manusia. Mendedah rekam jejak Soedjatmoko lewat tulisan-tulisan di pelbagai forum akan mengungkap betapa tema-tema besar di renungi secara mendalam.

Dengan lincah Soedjatmoko mampu mempertautkan antarpokok masalah secara sistematis dan komprehensif. Ia bukan tipe cendekiawan yang duduk dalam satu disiplin ilmu, melainkan justru mendialogkan, bahkan mengelaborasikan, antardisiplin ke dalam tema partikular.

Ignas Kleden pernah mengatakan bahwa orang yang terbiasa terkotak-kotakkan ke dalam disiplin ilmu tertentu niscaya akan sukar memahami tulisan-tulisan Soedjatmoko. Hal ini karena Soedjatmoko menyikapi segala sesuatu di luar dirinya sebagai fenomena kehidupan yang sedemikian kompleks.

Tanpa perspektif yang luas seseorang akan kerepotan menganalisis dan menjelaskan realitas kehidupan dalam teropong ilmu pengetahuan. Itulah kenapa Soedjatmoko dikenal publik sebagai intelektual multidimensi: diplomat, dosen, penulis, kepala penerbitan, dan konsultan perencanaan kebudayaan.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif